Berbagi Sebening Hati

Friday 29 April 2016

Kisah Putri Basoeki Abdullah Ketemu Nyi Roro Kidul

Cicilia Sidhawati, putri kedua pelukis Basoeki Abdullah, membeberkan pengalamannya  sudah terjadi lebih dari 30 tahun lalu.  Kata perempuan berusia 42 tahun ini, pengalaman pribadinya itu belum pernah ia ungkapkan kepada media massa. 


“Hanya saya ceritakan ke teman-teman saja. Itu pun karena terpancing setelah mendengar cerita mistis mereka,” kata Cicilia saat ditemui di Museum Basoeki Abdullah, Selasa 27 Januari 2015 lalu.


Ceritanya,  ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, ia diajak ayah dan ibunya, Nataya Nareerat, menginap di Hotel Samudra Beach (kini Inna Samudra Beach) di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Dia mengaku lupa kapan waktu persis kejadian ini. Ketika ayah dan ibunya sedang berada di meja penerima tamu untuk check-in, Cicilia yang sedang bermain di sekitar lobi didatangi seorang perempuan.


“Cantik sekali, ayu khas Indonesia, kulitnya putih, rambutnya panjang dan memakai syal hijau,” ujar Cicilia mendeskripsikan sosok perempuan tersebut. Yang membuat Cicilia heran, perempuan itu tidak takut mengenakan syal berwaran hijau. Padahal, dia dan semua anggota keluarga dan rombongan yang datang ke hotel itu dilarang keras mengenakan pakaian berwarna hijau.
“Perempuan itu bertanya, 'Bapakmu mana?',” kata Cicilia menirukan perempuan itu yang bertutur dengan logat Jawa yang kental. Tanpa menjawab, Cicilia berlari ke arah ayahnya untuk memberitahukan kalau ada yang mencari. Tapi, belum selesai Cicilia mengatakan kepada Daddy---panggilan sayang Cicilia untuk Basoeki Abdullah---perempuan tersebut telah menghilang.  “Daddy sih sudah paham kalau itu Ratu Kidul yang sudah menanti kedatangannya,” ujar Cicilia.

Kedatangan Basoeki Abdullah ke hotel yang pembangunannya bersamaan dengan Hotel Indonesia itu memang untuk melukis Nyai Roro Kidul atau Ratu Kidul penguasa Laut Selatan. “Daddy memang mengatakan mau melukis Ratu Kidul. Dalam bayangan saya yang masih anak-anak waktu itu, Ratu Kidul itu semacam dewi laut, yang pasti bukan berwujud manusia,” kata perempuan kelahiran Bangkok, 13 Oktober 1972 ini.

Cicilia mengaku melihat ayahnya keluar dari kamar tempat mereka menginap dan menuju kamar nomor 308 yang dipercaya sebagai kamar yang dihuni Ratu Kidul “Saya kan mau tahu jadi saya ikut saja Daddy keluar, tapi ibu saya melarang karena sudah tengah malam. Tapi saya sempat melihat Daddy sujud di depan pintu kamar itu, bukannya mengetuk pintu,” ujarnya.

Ia mengatakan tidak tahu lagi apa yang dilakukan ayahnya di dalam kamar 308 itu. “Yang pasti setelah itu Daddy kembali ke kamar dan langsung melukis. Cepat sekali selesainya dan perempuan yang ada di lukisan itu, ya perempuan yang menemui saya di lobi tadi,” ujar Cicilia sambil mengusap lengannya. “Nih, saya masih merinding, lho,” dia menambahkan...


Share:

Naik Haji Berkali-kali Pengabdi Setan!


Inna lillahi wa inna ilaihi raji'uun... Imam Besar Masjid Istiqlal KH Ali Mustafa Yaqub telah meninggal dunia . Beliau dikenal sebagai ulama besar yang kritis menjaga nilai-nilai Keislaman.

Salah satu kekritisannya adalah mengkritik orang yang naik haji dan umroh berkali-kali. KH Ali Mustafa heran mereka mencontoh siapa? Dia juga mengkritik para ustaz yang menjual program umroh dan naik haji berkali-kali. Menurutnya itu hanya konsumerisme, bukan lagi ibadah. Rasulullah tak pernah mencontohkan hal itu.

"Saat saya berkunjung ke masjid Sunda Kelapa pada Ramadan, ada orang mendekati saya dan bilang, "Pak Ustad, saya baru pulang dari Makkah." Saya langsung balas, "Saya tidak tanya." Dikira ke Makkah saat Ramadan itu bagus. Kalau itu bagus, Rasulullah akan mencontohkan itu. Bila perlu setiap hari akan umrah, bila itu bagus. Yang dicontohkan Rasul justru berinfak sebanyak-banyaknya. Hingga kemudian infak itu dibelokkan ke perilaku konsumtif. Akhirnya yang menonjol konsumtifnya, bukan infaknya. 

Simak wawancara yang pernah dilakukan merdeka.com dengan almarhum beberapa waktu lalu:

Saya kadang banyak mengecam. Saya menulis buku Haji Pengabdi Setan, maksudnya untuk orang berhaji ulang. Itu niatnya ikut siapa, sementara kondisi negara masih terpuruk. Indonesia kalau mengikuti indikator PBB, masih ada 117 juta orang miskin. Nabi berkata, "Tidak beriman orang pada malam perutnya kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan." Berapa juta orang Indonesia masih kelaparan. 

Saya tanyakan kepada ustad-ustad yang merekomendasikan haji ulang atau umrah itu. Tidak bisa menjawab, malah dia larut dalam arus konsumerisme itu. Melihat hal ini, perlu ada revolusi moral. Saya kadang merasa sendirian dalam memberitahukan hal ini. Saya sering mengatakan berhaji ulang itu rugi. Saya katakan itu dilawan banyak kalangan dan bilang, "Berhaji kok rugi." 

Coba bandingkan biayanya itu untuk infak sebanyak-banyaknya. Padahal nanti itu jelas ganjarannya, surga bersama nabi. Kita menyantuni anak yatim, jaminannya surga bersama nabi dalam satu kompleks. Coba berhaji, itu kalau mabrur. Itu pun surganya kelas dek, kelas ekonomi.

Ini lebih kepada yang berhaji ulang. Menurut saya, itu bermasalah, sementara kewajibannya masih banyak. Kewajiban itu tidak hanya ibadah, kewajiban sosial juga banyak sekali. Tapi pura-pura buta saja. 

Siapa yang diikuti untuk berhaji ulang. Mana ada ayat Alquran dan hadis menyuruh berhaji ulang, sementara kewajiban sosial lain masih banyak. Mau mengikuti Rasulullah, sebutkan hadis yang menyatakan itu, tidak ada, maka kamu hanya mengikuti bisikan dan keinginan nafsu. Meski begitu masih banyak alasannya, ada yang bilang masih belum puas. Saya katakan, sejuta kali kamu berhaji, tetap kamu belum puas. Setan masuknya dari situ kok. Ada yang bilang masih belum sempurna, terus dan terus naik haji. Makanya itulah yang disebut sebagai haji pengabdi setan. 

Mulanya mendengar itu, banyak yang menentang, tapi setelah membaca dan memahami yang saya maksud, banyak juga yang mendukung. Opini itu pertama kali saya tulis di Majalah Gatra. Ada Kiai dari Jawa Timur dikasih orang untuk membaca itu dan berkomentar, "Ini apa-apaan, haji penyembah setan." Sama orang yang memberi opini itu disuruh baca buku saya tentang hal itu, dia bilang, "Pak Kiai, komentarnya nanti saja setelah baca buku ini." Setalah baca buku itu, dia langsung bilang, "Ini yang saya cari, ayo disalin seratus, bagi ke ulama-ulama Jawa Timur." 

Baca selengkapnya...
Share:

Tuesday 26 April 2016

'Amoy' Itu Istri Saya Koq...

Karena masalah pekerjaan jugalah kami, saya dan istri tercinta harus hidup berjauhan. Saya di kota metropolitan, dan dia di kampung halaman.

Memang pernah saya mencoba memintanya untuk pindah  kerja di Jakarta, dan tinggal bersama, sebagaimana layaknya orang berumah tangga. Tapi alasan yang ia sodorkan cukup sederhana, dan saya pun mafhum adanya. Jakarta terlalu sumpek dan panas. Sementara ia sudah terbiasa di kampung halaman yang udaranya masih bersih dan segar. Dan yang paling utama, sebagai seorang guru, ia memiliki tanggung jawab moral yang tinggi memang. Ia ingin mengabdikan diri untuk membangun kampung halaman kami yang saat itu  masih tertinggal. Hal itu telah jadi komitmennya sejak kami belum menikah, memang. Untuk melepas kerinduan, ahirnya dua minggu sekali saya mudik, menjelang Jumat petang. Dan hari minggu sore saya kembali ke Jakarta. Hanya apabila tiba musim liburan sekolah, istri saya datang mengunjungi, dan tinggal menemani saya di kota metropolitan.

Ketika baru pertama kali datang di Jakarta, sengaja saya mengundang para tetangga untuk memperkenalkan istri yang baru beberapa bulan dinikahi. Kebetulan sebagian besar tetangga saya banyak warga keturunan chinese, bahkan di antaranya, terutama yang sudah lansia, masih ada yang masih totok berbahasa mandarin.

Mereka ribut bertanya kepada saya dan  istri ,  Enci marga-nya apa?  Koq bisa ya menikah sama orang Sunda? Dan yang lucu, adalah engkong-engkong tua yang nyerocos mengajak bicara bahasa mandarin kepada istri saya. Tentu saja istri saya hanya melongo saja dibuatnya.

Betapa tidak. Istri saya yang dianggap amoy, sama sekali bukan warga keturunan. Asli lho orang Sunda, sama seperti saya. Hanya kebetulan dia memiliki kulit kuning langsat, dan mata sipit seperti mereka. Setelah saya jelaskan kepada mereka, ahirnya merekapun mafhum adanya.

Akan tetapi, hubungan kami dengan tetangga warga keturunan terasa menjadi istimewa. Setiap istri saya ada di Jakarta, para tetangga banyak yang menganggap saudara kepada istri saya. Bahkan jika perayaan Imlek tiba, walau istri saya sedang ada di kampung sekalipun, kami banyak menerima angpau dari mereka. "Untuk si Enci," katanya. Terlebih jika kebetulan istri di Jakarta, kami selalu larut ikut merayakan hari Imlek bersama mereka.

Demikian juga halnya apabila  kami sekeluarga merayakan hari besar agama kami. Terutama kalau Hari Raya Iedul Adha (Karena kalau Hari Raya Iedul Fitri, sehari sebelum tiba waktunya,  saya sudah pamit pada tetangga untuk merayakannya bersama keluarga di kampung halaman), istri saya yang kebetulan sedang liburan, memasak makanan sebagaimana kebiasaan di kampung halaman, kemudian dibagi-bagikan kepada para tetangga bersama penganan oleh-oleh yang dibawa dari kampung...


Sekarang hal itu tinggal kenangan saja. Saya telah lama tinggal bersama istri di kampung halaman. Dan jika perayaan Imlek tiba, seringkali saya dan istri tertawa, "Enci masih cantik juga ya biar sudah tua juga..." Dan istri saya pun mencubit saya dengan mesranya...


Share:

Benarkah Jati Diri Orang Sunda Identik dengan Si Kabayan?

SEORANG Jakob Sumardjo, budayawan Sunda kelahiran Klaten Jawa Tengah, dalam artikelnya yang pernah di muat dalam koran harian Pikiran Rakyat (5/01/2008) dengan judul Kabayan Sebagai Cerita Rakyat, menyebutkan tokoh Si Kabayan dalam cerita rakyat Jawa Barat bisa jadi simbol Sunda–air dan Sunda-gunung sekaligus, serta menjadi jati diri sunda secara budaya.

Dalam cerita rakyat Parahiyangan (nama lain dari tatar Sunda/Jawa Barat), tokoh Si Kabayan yang kerap disejajarkan dengan tokoh Abu Nawas dan Koja Nasrudin itu, digambarkan sebagai tokoh yang pintar-pintar bodoh. Maksudnya dari satu sisi begitu tampak kebodohannya, dan di sisi lain muncul pula kepintaran/kecerdasannya secara tidak diduga.

Misalnya saja kebodohan Si Kabayan dapat dilihat dalam kisah Si Kabayan Ngala Tutut . Karena airnya yang bening di sawah itu, sehingga bayang-bayang awan putih dan langit yang biru begitu jelas terlihat. Di mata Si Kabayan, sawah itu dilihatnya begitu dalam. Sehingga dia pun takut untuk turun. Dan tutut (Keong sawah) pun diambilnya dengan menggunakan ranting kayu.

Kebodohan si Kabayan, menurut Jakob Sumardjo, merupakan kebodohan yang merupakan simbolik rohani. Kita ini bodoh spiritual. Dalam hal ini bukan hanya jati diri Sunda, tetapi juga jati diri manusia sendiri.

Sementara pintarnya Si Kabayan, di dalam setiap kisahnya terkandung filosofi hidup yang memiliki bobot intelektual dan nilai sastera yang tinggi. Penuh dengan simbol kehidupan yang patut menjadi bahan perenungan. Hanya saja sayangnya, kita sebagai penikmat cerita rakyat itu cenderung  melihat dari sisi guguyonan (humor)-nya saja.

Sehingga lebih jauh Jakob Sumardjo menyebutkan,  bahwa tokoh Si Kabayan merupakan tokoh paradoks. Bodoh tapi pintar. Sebagaimana sikap hidup urang Sunda sendiri yang konon memiliki karakter ‘halus’, bukan kasar.  Kalau harus ‘kasar’, tetap ‘halus’. Tidak keras, tapi lembut. Tidak agresif, tapi diam.

Pada dasarnya, sikap hidup urang Sunda agak ganda dalam arti positif.  Paradoksal.

Akan tetapi masih relevankah pendapat Jakob itu untuk kondisi sekarang ini?

Seorang tokoh masyarakat Sunda, Ginanjar Kartasasmita, malah mengatakan kalau watak urang Sunda cenderung aing-aingan (Egois). Bila saja ada salah seorang yang tandang-makalangan ( maju untuk berjuang) demi kejayaan negeri, oleh yang lainnya diantep-karepkeun (dibiarkan), dan tak jarang ditertawakan. Bahkan sampai juga dijongklokeun (dijerumuskan).

Entahlah. Hal ini membutuhkan penelitian yang lebih dalam. Hanya yang jelas, mungkin saja bagi urang Sunda hidup ini serupa panggung sandiwara. Dalam sedih, ada tertawa. Dalam marah, ada pasrah. Dan untung saja tidak seperti film dari Boolywood sana, dalam kesedihan ada nyanyian yang dibarengi dengan tarian... ***
Share:

Manusia Kamar


Cerpen Seno Gumira Ajidarma
Pada umurnya yang ke-20 ini, ia mulai memasuki periode sinis kepada dunia. Aku telah mengenalnya semenjak ia mulai mengenal dirinya sendiri. Ia muak melihat kepalsuan-kepalsuan di sekelilingnya. Aku bilang padanya, dalam kehidupan itu semua biasa. Ia bisa mengerti, tapi tak bisa menerima.Lima tahun yang lalu ia masih hidup dengan penuh harapan. Tapi yang penting mungkin bukan sekadar harapan. Yang penting adalah kenyataan, dan kenyataan telah membuatnya kecewa. Ia mulai jenuh dengan basa basi. Sikapnya mulai kasar dan terang-terangan. Banyak kawan mulai sakit hati, dan akhirnya ia tersingkir.Aku hanya sekali-sekali saja berjumpa dengannya, karena kau tahu, kesibukan makin hari makin bertambah. Mungkin cuma aku yang mengerti persoalannya. Ia menghindari persahabatan, aku maklum, persahabatan terkadang bisa membunuh. Ia terasing dan kesepian. Tampaknya ia lebih suka demikian karena telah jadi pilihannya. Ia bahagia dalam ketidakbahagiaannya  atau ia tidak bahagia dalam kebahagiaannya.Iamemang suka berfilsafat. Aku sering bingung mendengar kata-katanya, tapi tetap mencoba melayaninya. Jika sudah kenal, berbicara dengan dia amat menyenangkan. Pengetahuannya luas dan apa yang dikatakannya sering tidak terbantah. Kawan-kawan yang lain agak segan terhadapnya, karena ia terlalu sering menelanjangi kebebalan mereka di muka umum. Mereka bilang ia terlalu asyik sendiri, suka berkhayal, nyentrik dan tidak bisa bergaul.
Aku sendiri menganggap ia manusia biasa, yang sedang menjalani tahap-tahap kehidupannya. Tapi tahap itu dilaluinya dengan amat serius dan penuh makna. Aku sendiri heran kenapa bisa demikian. Selama beberapa tahun terakhir, gejala itu memang mulai tampak.
“Aku bosan lihat orang-orang itu.”
“Kenapa?”
“Munafik, penjilat, tukang onani jiwa.”
“Wah, jangan begitu dong. Itu manusiawi kan?”
“Memang, tapi sebal melihatnya. Jenuh.” Ia sangat serius, sementara banyak orang di sekelilingnya makin hari makin mencari kemudahan dan kesantaian. Ia tak mendapat tanggapan, dan marah.
Untung ia bisa menyalurkannya dalam latihan teater atau menulis puisi, namun ini tidak berlangsung lama. Rupanya dunia kesenian pun tak memuaskan. Ia ketemu lagi dengan pemimpi, pembual dan juga penjilat. Semenjak ia keluar dari perguruan tinggi dan rombongan sandiwara itu dua tahun yang lalu, aku tak pernah lagi melihatnya.
Aku teringat ketika untuk terakhir kalinya berpapasan dengan dia di jalan.
“He kampret, dari mana saja kamu?”
“Bertapa,” katanya dengan lesu.
Dalam remang senja itu, perlahan-lahan kemudian menjadi jelas, bajunya begitu kumal meskipun termasuk mahal. Juga celananya. Sepatunya sih normal, tapi heh rambutnya itu, wah seperti sapujagat: kusut dan kaku, dan entah berapa bulan tidak disisir. Dulu, meskipun ia termasuk seniman yang urakan, pakaiannya termasuk rapi dan mengikuti mode.
Pasti perubahan-perubahan semacam ini disebabkan oleh suatu hal yang sangat mempengaruhi dirinya. “Bertapa? Bertapa di mana? Gua Langse?”
“Bertapa kok di mana! Zaman sekarang orang bertapa di kamarnya
sendiri! Tahu nggak lu?” Busyet! Ketus amat.
Aku kurang bisa mengerti. Kebudayaan macam mana yang menghasilkan manusia ini. Dan apakah yang dikerjakannya selama ini? “Baca buku! Hanya baca buku! Tidak makan dan tidak minum!” Wah, wah, wah, ia memang sudah berubah rupanya. Semua kitab suci dilalapnya, mulai Zabur, Taurat, Injil, Qur’an sampai Goethe, Tao, Khonghucu, Wedhatama, Wulangreh, Upanishad, Bhagawadgita, Sartre, Heidegger, Karl Marx dan Ranggawarsita. Kini di tangannya kulihat pula bukunya Erick Fromm, Schumacher dan sebuah buku tentang Zen.
Rupanya ia barusan dari toko buku.
“Masih jenuh melihat manusia?”
“O tentu, tentu. Di toko buku tadi banyak orang sok pintar. Ada orang memborong ensiklopedi. Melihat tampangnya sih, cuma buat pajangan ruang tamu. Sialan! Dasar gombal semua orang-orang model begini!”
Aku mengajaknya nonton film. Ia bertanya dulu film apa. Ia benci film action. Maunya nonton film-film Ingmar Bergman, Werner Herzog atau Wim Wenders. Tapi tentu saja tidak ada. Aku bilang ini film Indonesia pemenang Citra, namun dengan hormat ia menolak, ada hal yang lebih
penting, katanya. Iseng-iseng kuajak ia ke tempat pelacuran. Lho, ia mau.
“Ini baru namanya hidup,” katanya setelah keluar dari kamar.
Ditenggaknya segelas bir. Dan sepanjang malam itu, di tengah alunan panas musik dangdut, aku mendengar kuliah-kuliahnya tentang individualisme, eksistensialisme, kapitalisme, ekosistem, religiusitas, dan kritik budaya. Sudah melayang aku dengan berbotol-botol bir, ditambah pula dengan pikiran-pikirannya yang tinggi di awan itu, aku tiba-tiba saja tergeletak di meja, tertidur pulas.
Esoknya ia sudah tidak ada. Dan tujuh hari pun menjadi seminggu. Empat minggu menjadi sebulan. Dua belas bulan menjadi setahun. Waktu begitu saja lewat tanpa terasa. Banyak orang merasa telah menjadi tua, sementara orang-orang lain malah merasa makin muda. Kehidupan masih berjalan seperti biasa. Ada orang jujur yang tak pernah mujur, dan orang yang berjiwa bunglon masih selamat. Dunia belum betul-betul kiamat. Sungai masih mengalir, dari gunung ke desa, ke kota, ke muara, ke laut, bersama sejumlah besar sampah.
Di jendelaku masih ada burung yang bulunya kuning, yang tiap pagi masih berkicau. Mungkin tiba saatnya nanti burung tidak bisa berkicau, kehilangan bahasa. Angin masih silir. Senja masih jingga.
Fajar masih ungu. Telepon itu berdering.
“Halo? Ya? He! Telepon dari mana kamu?”
“Dari rumah.” “Di mana? Aku pengin ketemu kamu.”
“Sorry saja bung! Rahasia! Sekarang tidak ada sistem ketemu. Kalau ada perlu, telepon saja, ini nomorku, 717375.”
“Tapi ini penting.”
“Takut disadap?”
“Soalnya ini masalah pribadi.”
“Apalagi itu, sorry.”
Kami bercakap sebagaimana layaknya dua kawan yang lama tidak berjumpa. Ia bertanya tentang segala macam hal dengan suatu urutan pertanyaan yang sistematis, sehingga kalau jawaban itu dikumpulkan, mungkin bisa merupakan laporan riset. Ha! Ini perkembangan baru. Ia haus informasi, tapi begitu pelit akan informasi dirinya sendiri. Ketika hubungan itu selesai, kembali lagi ia menjadi misteri bagiku. Apalagi bagi kawan-kawan yang lain.
Dengan bodoh aku masih bertanya sama mereka di mana alamatnya. Tentu saja tidak tahu. Kutanyakan pada orang tuanya, ini pun nihil. Ternyata selama ini mereka pun hanya berhubungan lewat telepon.
Telepon? Heh, tolol sekali aku. Kutelepon dia. “Halo?” Telepon segera diangkat.
“Di mana sih rumah kamu?”
“Lu ngga perlu tau gue punye rume. Kalok perlu telepon aje bung!”
“Gue ade perlu ni ame lu!” Eh, kenapa aku jadi ikut-ikutan bergaya Betawi?
“Sampaikan saja lewat telepon!”
Ia tampak terganggu.
“Pertemuannya yang penting!”
“Maaf, aku tidak terima tamu.”
Klak.
Nging.
Tut tut tut.
Bangkek orang ini. Sombong sekali dia.
Tapi aku jadi penasaran. Seperti detektif film seri televisi, kucoba menyelusuri jejaknya. Namun ia sungguh pintar. Berbagai tabir tidak bisa disingkapkan dengan segera. Banyak juga waktu terbuang untuk mencari batang hidungnya. Mula-mula kuhubungi kantor telepon. Nomor teleponnya memang ada alamatnya, kudatangi rumah itu, ternyata sebuah rumah kecil yang kosong. Pintunya terkunci dari luar, kudobrak. Dan tetap kosong. Apa artinya ini? Kutunjukkan pada kantor telepon, mereka bilang memang itu alamatnya, dan tiap bulan menerima uang ongkos telepon. Tapi siapa yang masang? Segera petugas dicari, tapi ke mana petugas itu? Ia sudah dipindahkan ke luar kota.
Aku benar-benar penasaran. Segala alamat rumah di kantor kotamadya kucek dan cek kembali, kalau-kalau ada namanya. Tapi sungguh rumit.
Biasa, administrasi yang kacau. Jadi? Nihil. Lantas bagaimana? Ha!
Malam hari! Ia suka keluar malam, aku harus begadang sepanjang malam menelusuri kota ini.Maka ketika malam dengan jubahnya yang hitam telah tengkurap menelungkupi kota.
Ketika dingin mulai menyerbu jalanan yang mulai basah oleh gerimis, dengan krah jas hujan yang tegak menutupi telinga, dengan topi model bandit Itali, lengkaplah aku sebagai intel Melayu yangamatiran.Tapi jadinya aku lebih mengenal kehidupan. Aku tahu apa yang terjadi di hotel-hotel, aku tahu dari desa mana pelacur jalanan itu berasal, aku bisa mengendus mobil pejabat siapa yang diparkir di motel itu. Kutelusuri segala tempat hiburan malam, perpustakaan, restoran, kompleks gelandangan, warung-warung kopi, tempat banci-banci mangkal, tempat homo-homo berkencan, mesjid, gereja, vihara, klenteng …
Bermalam-malam sudah dan hasilnya nol besar.
Tak terasa sebetulnya aku mendapatkan sesuatu yang lain, sesuatu yang berharga. Malam memang menyingkapkan kepalsuan. Di balik kekelaman itu topeng-topeng dibuka dan bentuk asli yang serba gombal itu pun bisa kutangkap, kekelaman seperti memberikan perasaan aman dan
terlindung. Bisa kudengar bisik-bisik sekongkol politik, kasak-kusuk para penyebar gosip. Bisa kulihat para penipu diri beraksi. Antara strip-tease dan lonceng gereja, antara penggarongan dan azan subuh, antara perzinahan terbuka dan perzinahan tertutup.Agaksulit mencari orang normal. sebagian terlalu fanatik, sebagian lain dekaden. Aku jadi maklum kenapa kawanku jadi jenuh. Ia tidak menerima mereka sebagaimana adanya. Ia mencari yang baik-baik saja, dan itu memang
sulit, dan bisa jadi malahan tidak ada. Sedangkan kalau ada, mungkin juga tidak menarik dan tidak menyenangkan. Kata orang, dunia memang mengecewakan. Dunia menjadi buruk karena ulah manusia. Dia memang makin lama makin pesimistis. Aku melihat ia agak kacau. Dan aku jadi
makin penasaran saja. Ke mana dia, kenapa tidak ada seorang pun yang tahu? Kenapa pula ia harus menghilang?

Jakarta, 1980
Share:

Eka Kurniawan Menjawab Pertanyaan: Darimana Datangnya Ide Menulis

Ia lahir di Tasikmalaya, 1975, menyelesaikan pendidikan di Fakultas Filsafat,
 Universitas Gajah Mada, Yogyakarta tahun 1999.
 Pada tahun itu ia menerbitkan buku pertamanya yang berasal dari tugas akhir kuliah.
 Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Ia menulis cerita pendek, novel,
maupun esai di berbagai media.
Novel-novelnya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing.
Eka berbagi tentang ide bahan tulisan untuk para calon penulis sebagai berikut:
Adalah seorang putri bernama Syahrazad yang menyerahkan dirinya untuk dinikahi sang raja lalim bernama Syahrial. Sang putri melakukan itu untuk menghindari kurban lebih banyak, sebab sang raja selalu membunuh pengantinnya selepas melewati malam pertama. Tapi dengan cara apa Syahrazad sendiri menyelamatkan nyawanya? Jawabannya: dengan bercerita. Setiap malam, Syahrazad menceritakan sederet kisah yang akan digantung ketika fajar menjelang. Sang raja akhirnya tak pernah memenggal kepada sang putri, sebab ia selalu ingin mendengar lanjutan kisah yang diceritakan Syahrazad, begitu pula besok paginya, dan besoknya, dan besoknya. Sekarang kita menyebut dongeng tersebut sebagai Kisah Seribu Satu Malam.

Sesungguhnya kita adalah pewaris Syahrazad. Tugas utama kita sebagai penulis cerita, sebagaimana Syahrazad, adalah memastikan bahwa pembaca kita akan terus mengikuti dongeng dari awal hingga akhir, atau kepala kita dipenggal sebagai taruhannya.
Selama bertahun-tahun saya mencoba menulis dan menjadi Syahrazad. Seperti sebagian besar yang lain, saya mencoba puisi, karena saya pikir lebih pendek dan lebih gampang. Belakangan saya tahu puisi tidaklah gampang, dan saya segera meninggalkannya. Lagipula saya ingin menulis cerita. Saya melirik cerita pendek, sebelum punya keberanian untuk membayangkan menulis sebuah novel.
Dan menulis cerita ternyata juga bukan perkara gampang. Saya tak tahu apa yang akan diceritakan. Saya membaca majalah dan mencoba mencari tahu apa yang mereka ceritakan. Setelah membaca lebih banyak cerita, saya mulai bisa membayangkan apa yang bisa saya ceritakan. Saya mulai menuliskannya. Tapi setelah selesai ditulis, saya baru menyadari, tulisan saya tak lebih dari ulangan dari satu atau dua cerita yang pernah saya baca. Memang tidak menjillak, tapi karena segalanya diambil dari tulisan orang lain, cerita itu segera jadi terasa basi.
Maka saya mulai berpikir tentang sesuatu yang, katakanlah, orisinil. Istilah ini sendiri sebenarnya membingungkan. Mungkin lebih baik kita sebut pura-pura orisinil. Saya mulai meninggalkan cerita-cerita di majalah, sebab saya tak ingin nanti kembali terpengaruh. Saya mencoba menjalankan nasihat-nasihat lama yang mengatakan, sumber cerita sejati adalah kehidupan ini sendiri. Saya mulai menjadi pengamat amatir. Saya memperhatikan ibu memasak di dapur, ayam jago berkokok di pagi hari, orang-orang pergi ke pasar, nenek mengantarkan rantang untuk kakek di sawah. Segala yang bisa saya lihat dan dengar saya perhatikan betul.
Tiba-tiba saya menyadari ada begitu banyak hal yang mungkin belum diceritakan orang. Begitu melimpah. Harap diingat waktu itu saya masih membaca majalah remaja, dengan cerita-cerita tentang anak sekolah jatuh cinta, bolos sekolah, berkelahi di toilet, atau bu guru yang judes. Kenapa harus menceritakan hal begitu terus-menerus? Lihat, kita bisa menceritakan ayah yang doyan pakai sarung, paman yang pergi menengok air di pagi buta, dukun beranak yang siap sedia setiap waktu, atau tukang reparasi arloji di ujung pasar.
Saya mulai memilih objek yang saya pikir paling unik, dan saya merasa ituorisinil. Saya merasa bahagia karena menemukan satu objek cerita yang belum pernah saya lihat ditulis orang lain. Segera saya ambil kertas dan mesin tik, dan mulai menulis. Begitu semangat, hingga segalanya berakhir menjelang akhir halaman pertama. Saya bingung, apalagi yang harus saya tulis? Saya mencoba berpikir lebih keras, tapi tak ada ide baru untuk melanjutkan cerita tersebut. Setelah lelah berpikir, kemudian saya mulai meragukan kehebatan objek cerita saya. Lama-kelamaan mulai tampak terlihat jelek. Saya menggulungnya dan segera membuangnya ke tempat sampah. Saya beralih ke objek lain, yang saya pikir lebih unik dan orisinil, tapi selalu menemui jalan buntu di paragraf menjelang akhir halaman pertama. Saya selalu tak tahu setelah menceritakan beberapa bagian, apalagi yang mesti saya ceritakan. Dalam kasus Syahrazad, seharusnya saya sudah dipenggal.
Setelah beberapa kali menyerah, saya kembali ke cerita-cerita yang ditulis orang lain. Saya kembali membaca mereka, kali ini bukan untuk tahu apa yang mereka ceritakan, tapi bagaimananya mereka menceritakannya. Satu cerita saya bandingkan dengan cerita lainnya. Saya mulai meraba-raba dan mulai merasa menemukan resepnya. Hmm, sesungguhnya semua cerita ternyata memiliki sturktur seperti sandiwara tiga babak di sekolah. Pertama, mesti ada masalah. Kedua, dari masalah kemudian datang konflik. Ketiga, setelah konflik mestinya ada penyelesaian. Belakangan saya baru tahu itu rumus yang sudah klasik, sudah dipikirkan sejak zaman Aristoteles!
Setelah merasa tahu, kini saya mengamati sekeliling saya dengan cara yang berbeda. Saya tak lagi mencoba melihat keunikan dan keorisinilan segala sesuatu. Saya mulai mencoba melihatnya sebagai suatu masalah. Ayam jago berkokok di pagi hari, apa masalahnya? Senja berwarna jingga, apa masalahnya? Saya kembali ke mesin tik setelah memperoleh beberapa masalah, yang saya pikir sangat menarik untuk diceritakan. Kali ini saya tak lagi memperoleh writer’s block, atau kemacetan, sebab setelah membeberkan segala masalah, saya tahu harus segera masuk ke konflik. Semua masalah pasti menimbulkan konflik! Dan kalau konfliknya sudah terpikirkan, tinggal mencari penyelesaiannya. Ah, kali ini menulis cerita tampak menjadi lebih gampang. Saya bisa menulis beberapa cerita, dari awal sampai akhir.
Tapi oh, ketika saya membacanya lagi, kembali saya menemukan fakta menyedihkan ini: cerita saya memang jalan, tapi tetap tak menarik. Ceritanya mungkin mudah ditebak. Atau kadang-kadang melelahkan, membosankan, menyebalkan. Tepatnya, sebagai penulisnya sendiri, cerita-cerita saya tak ada menariknya. Padahal saya sudah menulis berdasarkan resep yang benar, kan? Putus asa saya kembali ke cerita-cerita yang sudah ditulis orang lain, yang menurut saya berhasil dan asyik sebagai cerita. Saya mencoba mencari tahu, apa yang membuat mereka menarik. Objek cerita mereka kadang sederhana, masalahnya juga seringkali biasa saja, tapi kenapa ceritanya bisa menarik dibaca. Pasti ada resep-resep lain, pikir saya.
Begitulah, di luar semua itu, saya menemukan hal-hal lainnya. Saya menemukan di beberapa cerita, bahasanya memang begitu bagus. Kalimat-kalimat mereka demikian jernih. Peristiwa-peristiwa yang ditulis sangat terpilih. Karakter-karakter tokohnya mengagetkan. Semua itu membuat saya longsor dan menyadari, betapa masih panjang jalan yang harus saya tempuh untuk menaklukan seni menulis.
Saya juga kembali mengamati sekitar. Melihat bagaimana ayah makan, sebab cara makan ayah berbeda dengan ibu. Cara bicara penjual di pasar berbeda dengan cara bicara pak polisi. Saya belajar nama-nama binatang, nama-nama bunga. Saya belajar sejarah, filsafat, psikologi, antropologi, fisika, kimia. Tentu saja saya juga kembali ke karya-karya yang telah memperkenalkan saya dengan seni menulis ini. Saya belajar bagaimana Franz Kafka membuat kalimat pertama dalam novel-novelnya. Saya belajar bagaimana Gabriel Garcia Marquez membangun struktur novelnya, sebagaimana mencari tahu bagaimana Ernest Hemingway menyusun kalimat-kalimatnya.
Kini saya beranggapan, menulis cerita, dan kemudian menemukan dari mana cerita berawal, adalah suatu benturan tak ada henti dari apa yang kita ketahui dalam kehidupan sehari-hari, dan apa-apa yang telah diajarkan oleh para penulis terdahulu dalam karya-karya mereka. Dengan kata lain, bagi para pewaris Syahrazad, mengetahui sebanyak-banyaknya hal dalam kehidupan ini sama penting dengan terus membaca karya-karya terbaik yang telah dituliskan untuk kita.

Share:

Monday 25 April 2016

KH Wahid Hasyim: Ayahanda Gus Dur

KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH. M. Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) yang di lahirkan pada Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula memberinya nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.

KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato.Terutama sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.

Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah,PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim juga kemudian duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).

Para anggota MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr.Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain.

Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan.

Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan penerbitan Majalah ”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.    

Selama zaman kependudukan Jepang KH A. Wahid Hasyim merupakan tokoh sentraldi kalangan Umat Islam. KH A. Wahid Hasyim juga menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi In yakni semacam DPR ala Jepang. Dengan jabatan tersebut KH A. Wahid Hasyim dapat menyakinkan tentara Jepang untuk mendirikan sebuah badan yang menghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan yang bernama Shumubu, yaitu Badan Urusan Agama Islam yang susunannya terdir idari: KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua.

Oleh karena KH HasyimAsy’ari tidak dapat aktif karena memangku Pesantren Tebuireng, maka jabatan ketua sehari-hari dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim. Badan inilah yang menjelma menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17 Agustus 1945)Taktik politik yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman Jepang ialah, mengambil unsur kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. ”Kerja sama” dengan Jepang (pada tingkatan pertama) dipandang perlu sebab bangsa Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik (kekuasaan ) di zaman Belanda tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan. Kezaliman-kezaliman pemerintahan Jepang kepada bangsa Indonesia, oleh KH A. Wahid Hasyim,dijadikan pupuk keyakinan bagi rakyat, bahwa sesuai dengan Al-Qur’an segalayang batil pasti akan sirna, kezaliman tak pernah mengalami kemenangan yang panjang.

Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak revolusi. Meskipun sebagian besar waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan, seperti dua kali menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut politik yang penuh pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren.

Wafat dalam usia belum 40 tahun menyebabkan dunia Ulama dan Pesantren menjerit dan meratap. Kaum politik dan masyarakat baik tua maupun muda merasa kehilangan yang besar. Yang patah akan tumbuh akan tetapi bukan lagi A. Wahid Hasyim. Abdul

Wahid hasyim hanya ada satu dalam sejarah ummat manuasia. Namun sekalipun sudah wafat, namanya harum tidak pernah akan mati.

Baca selengkapnya...
Share:

10 Fakta Menarik Tentang Tubuh Wanita

Menjadi wanita, adalah hal paling menyenangkan di dunia. Bersyukurlah telah terlahir ke dunia sebagai wanita, dunia tidak akan lengkap tanpa adanya wanita.
Kelemahlembutan, senyuman yang manis dan bersahaja, kerlingan mata, serta sifat yang manja, membuat dunia ini jauh lebih ramah dan lembut.
Dikenal sebagai makhluk yang indah, wanita punya keunikan sendiri yang terpancar lewat tubuhnya. Sudah tahukah Anda 10 fakta unik tentang tubuh Anda sendiri seperti dilansir glam.com berikut ini?
Fakta Wanita 1.
Klitoris adalah satu-satunya bagian tubuh wanita yang didesain hanya untuk mengalami rangsangan dan kenikmatan seksual, tanpa memiliki fungsi lainnya. Klitoris terdiri dari ratusan bahkan ribuan sel syaraf, dan jumlahnya dua kali lipat dibandingkan yang ada di dalam mr. P.
Fakta Wanita 2.
Selaput dara adalah membran tipis yang menutupi bagian miss V wanita. Selaput dara ini tidak hanya bisa robek karena hubungan seksual, namun juga karena jatuh, atau gerakan yang sangat ekstrim.
Mengapa pada saat malam pertama tidak selalu mengeluarkan darah?
Selaput dara yang robek kerap ditandai dengan adanya darah, namun selaput dara juga bisa elastis sehingga tidak akan terjadi perdarahan dalam penetrasi. Ilmuwan menyatakan bahwa selaput dara bukanlah tanda keperawanan yang mutlak, karena ia bisa robek dengan tanpa disebabkan penetrasi sekalipun.
Fakta Wanita 3.
Ternyata hamil itu tidak mudah ditentukan. Sekalipun seseorang berhubungan intim nyaris setiap hari, bila Anda tak tahu kapan hari tepat berovulasi, maka kecil kemungkinan sperma dapat membuahi sel telur. Menghitung hari kesuburan wanita, juga tidak dimulai dari hari terakhir haid, melainkan dari hari pertama menstruasi dimulai.
Fakta Wanita 4.
Rahim wanita sangatlah elastis. Saat tidak hamil, rahim berukuran kecil, setidaknya tiga inci. Namun, ketika sedang hamil, tepi luar rahim bisa mencapai tepi bawah tulang rusuk saat membawa janin di dalamnya.
Fakta Wanita 5.
Uniknya tubuh wanita adalah kemampuan menciptakan susu atau disebut juga Air Susu Ibu. Pria tidak bisa melakukan hal ini karena tubuhnya tidak dilengkapi dengan kelenjar susu. Kemampuan menyusui seorang wanita tidak ditentukan oleh ukuran payudara, karena sekalipun payudara berukuran kecil, tetap saja bisa menghasilkan ASI.
Fakta Wanita 6.
Wanita memiliki kemampuan mendengar yang berbeda dibandingkan pria. Menurut penelitian yang dilakukan Indiana University School of Medicine, pria hanya dapat mendengarkan dengan satu sisi otak saja, sedangkan wanita menggunakan keduanya. Inilah mengapa wanita disebut sebagai sosok pendengar yang jauh lebih baik ketimbang pria.
Fakta Wanita 7.

Di dalam tubuh wanita, bagian usus besarnya cenderung lebih panjang ketimbang pria. Hal ini diprediksi yang juga menyebabkan wanita jadi lebih mudah gemuk ketimbang pria. Wanita yang ingin berat badannya turun haruslah melakukan 1-2 kali pembuangan air besar setiap harinya.
Fakta Wanita 8.
Rambut kemaluan wanita akan tumbuh lebih panjang di saat musim dingin. Mereka kemudian tidak bertambah lebih panjang lagi karena cenderung akan mati dan rontok setelah tiga minggu lamanya.
Fakta Wanita 9.
Di musim panas, gairah wanita jauh lebih meningkat. Penulis sains Patricia Barnes, mengatakan bahwa wanita mudah sekali terangsang oleh wewangian seperti lavender, mawar dan mint yang akan membawa keluar perasaan manis dan meningkatkan libido seksual.
Fakta Wanita 10.
Bicara soal garis keturunan, secara ajaib DNA dari nenek moyang Anda akan terbawa terus menerus hingga setiap keturunan Anda. DNA ini selain merupakan identitas juga membawa beberapa hal yang bisa diturunkan secara genetik.
Hmm... ternyata sekalipun menjadi wanita bukan berarti semua hal sudah Anda ketahui ya. Mari tingkatkan pengetahuan terhadap diri Anda sehingga bisa memaksimalkan kecantikan dan kesehatan Anda.


Share:

Gerakan 30 September: Dari Menteng ke Pusaran Kekuasaan


PERISTIWA 42 tahun lalu itu tetap saja masih menjadi tanda tanya keluarga besar Aidit: apa sebenarnya peran Aidit dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu? Peran Aidit dalam "kup" 30 September 1965 memang masih misteri. Sejumlah sejarawan, juga sejumlah kalangan militer, yakin PKI dalang penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat. Karena PKI terlibat, maka Aidit pun, sebagai Ketua Committee Central, dituding sebagai otaknya.

Murad Aidit, adik kandung Aidit, berkisah. Pada "malam berdarah" itu tak ada tanda-tanda atau kesibukan khusus di rumah Aidit. "Malah saya dipesan mematikan lampu," kata Murad. Menjelang "peristiwa Gerakan 30 September" itu, Murad memang menginap di rumah Aidit di Pegangsaan Barat, Jakarta Pusat. Rumah Aidit sepi. "Sampai sekarang saya lebih bisa menerima tragedi itu karena ada pengkhianat dalam tubuh PKI," katanya. Dia tidak yakin abangnya yang memerintahkan pembunuhan para jenderal.

Aidit mengawali "karier politiknya" dari Asrama Menteng 31, asrama yang dikenal sebagai "sarang pemuda garis keras" pada awal kemerdekaan. Di tempat ini berdiam, antara lain, Anak Marhaen Hanafi (pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Kuba), Adam Malik, dan Sayuti Melik (pengetik naskah Proklamasi). Para penghuni Menteng 31 sempat menculik Soekarno dan memaksa si Bung memproklamasikan kemerdekaan Indonesia-sesuatu yang kemudian ditolak Bung Karno. Di kelompok Menteng 31, Aidit sangat dekat dengan Wikana, seorang pemuda sosialis.

Aidit disebut-sebut juga berperan dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Pascapemberontakan yang gagal itu, ia sempat dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogya. Ketika terjadi agresi Belanda, ia kabur dari penjara dan tinggal di Vietnam Utara. Tentang kepergiannya ke Vietnam ada pendapat lain. Ada yang menyebut bahwa sebenarnya ia hanya mondar-mandir Jakarta-Medan.

Yang pasti, pada pertengahan 1950, Aidit, yang saat itu berusia 27 tahun "muncul" lagi. Bersama M.H. Lukman, 30 tahun, Sudisman, 30 tahun, dan Njoto, 23 tahun, ia memindahkan kantor PKI dari Yogyakarta ke Jakarta. Bisa dibilang, dalam kurun waktu inilah karier politik Aidit sesungguhnya dimulai.

Momentum konsolidasi partai terjadi ketika meletus kerusuhan petani di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, 6 Juni 1953. Kerusuhan yang digerakkan kader PKI itu menjatuhkan kabinet Wilopo. Kesuksesan ini memompa semangat baru ke tubuh partai tersebut.

Bersama "kelompok muda" partai, Aidit menyingkirkan tokoh-tokoh lama partai. Pada Kongres PKI 1954, pengurus PKI beralih ke generasi muda. Tokoh partai semacam Tan Ling Djie dan Alimin disingkirkan. Pada kongres itu, Aidit dikukuhkan menjadi Sekretaris Jenderal PKI. Aidit lantas meluncurkan dokumen perjuangan partai berjudul "Jalan Baru Yang Harus Ditempuh Untuk Memenangkan Revolusi".

Aidit juga membangun aliansi kekuatan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk memperkuat PKI. PNI dipilih karena, selain sama-sama anti-Barat, juga ada figur Soekarno yang bisa dipakai mengatasi tekanan lawan-lawan politik mereka. Puncak kerja sama terjadi pada masa Sidik Djojosukarto memimpin PNI. Saat itu disepakati bahwa PNI tidak akan mengganggu PKI dalam rangka membangun partai.

Menurut Ganis Harsono, seorang diplomat senior Indonesia dalam otobiografinya, Cakrawala Politik Era Sukarno, strategi ini berhasil "menyandera" Bung Karno. Ada kesan bahwa Bung Karno berdiri di depan PKI, sekaligus memberi citra PKI pendukung revolusi Bung Karno dan Pancasila.

Kerja keras Aidit membuahkan hasil. Pada Pemilu 1955, PKI masuk "empat besar" setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Di masa ini PKI menjadi partai komunis terbesar di negara non-komunis dan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Cina.

PKI terus maju. Pada tahun itu juga partai ini menerbitkan dokumen perjuangan "Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan". Bentuk pertama, perjuangan gerilya di desa-desa oleh kaum buruh dan petani. Kedua, perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh di bidang transportasi. Ketiga, pembinaan intensif di kalangan kekuatan bersenjata, yakni TNI.

Pada 1964, PKI membentuk Biro Khusus yang langsung dibawahi Aidit sebagai Ketua Committee Central PKI. Tugas biro ini mematangkan situasi untuk merebut kekuasaan dan infiltrasi ke tubuh TNI. Biro Chusus Central (demikian namanya) dipimpin Sjam Kamaruzzaman. Tak sampai setahun, Biro Chusus berhasil menyelusup ke dalam TNI, khususnya Angkatan Darat.

Pada Juli 1965, seiring dengan merebaknya kabar kesehatan Bung Karno memburuk, suhu politik Tanah Air makin panas pula. Sebuah berita dari dokter RRC yang merawat Presiden datang: Bung Karno akan lumpuh atau meninggal dunia. Di Jakarta bertiup rumor menyengat, muncul Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Bung Karno.

Dalam Buku Putih G-30-S/PKI yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, disebutkan bahwa Aidit kemudian menyatakan, gerakan merebut kekuasaan harus dimulai jika tak ingin didahului Dewan Jenderal. Gerakan itu dipimpinnya sendiri. Ada pun Sjam ditunjuk sebagai pemimpin pelaksana gerakan.

Saat diadili Mahkamah militer, Sjam mengaku dipanggil Aidit pada 12 Agustus 1965. Dalam pertemuan itu, ia diberi tahu bahwa Presiden sakit dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan bila Bung Karno mangkat. Menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia meninjau "kekuatan kita".

Sejak 6 September 1965, Sjam lantas menggelar rapat-rapat di rumahnya dan di rumah Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya). Di rapat ini hadir Letnan Kolonel Untung (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa) dan Mayor Udara Sudjono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan Halim Perdanakusumah). Rapat terakhir, 29 September 1965, menyepakati gerakan dimulai 30 September 1965 dengan Untung sebagai pemimpinnya.

Dalam wawancara dengan majalah D&R, 5 April 1999, A. Latief menyatakan, Gerakan 30 September dirancang untuk menggagalkan upaya kup Dewan Jenderal. "Kami dengar ada pasukan di luar Jakarta yang didatangkan dalam rangka defile Hari Angkatan Bersenjata dengan senjata lengkap. Ini apa? Mau defile saja, kok, membawa peralatan berat," kata Latief. Karena merasa bakal terjadi sesuatu, para perwira tersebut, yang mengaku terlibat karena loyal pada Soekarno, memilih menjemput "anggota" Dewan Jenderal untuk dihadapkan ke Soekarno.

Menurut Latief gerakan itu diselewengkan oleh Sjam. "Rencananya akan dihadapkan hidup-hidup untuk men-clear-kan masalah, apakah memang benar ada Dewan Jenderal," katanya. Tapi, malam hari, saat pasukan Cakrabirawa pimpinan Letnan Dul Arief, anak buah Untung, akan berangkat menuju rumah para jenderal, tiba-tiba, ujar Latief, Sjam datang. "Bagaimana kalau para jenderal ini membangkang, menolak diajak menghadap Presiden," kata Dul Arief. Sjam menjawab, para jenderal ditangkap. Hidup atau mati.

Keesokan harinya, Dul Arief melaporkan kepada Latief dan Jenderal Soepardjo bahwa semua telah selesai. "Mula-mula mereka saya salami semua, tapi kemudian Dul Arief bilang semua jenderal mati. Saya betul-betul kaget, tidak begitu rencananya," kata Latief yang mengaku tidak kenal dengan Aidit.

Aidit sendiri belum pernah memberi pernyataan tentang hal ini. Ia ditangkap di Desa Sambeng, dekat Solo, Jawa Tengah, pada 22 November 1965 malam, dan esok paginya ditembak mati. Sebelum ditangkap pasukan pimpinan Kolonel Yasir Hadibroto, Aidit dikabarkan sempat membuat pengakuan sebanyak 50 lembar. Pengakuan itu jatuh ke Risuke Hayashi, koresponden koran berbahasa Inggris yang terbit di Tokyo, Asahi Evening News.

Menurut Asahi, Aidit mengaku sebagai penanggung jawab tertinggi peristiwa "30 September". Rencana pemberontakan itu sudah mendapat sokongan pejabat PKI lainnya serta pengurus organisasi rakyat di bawah PKI. Alasan pemberontakan, mereka tak puas dengan sistem yang ada. Rencana kup semula disepakati 1 Mei 1965, tetapi Lukman, Njoto, Sakirman dan Nyono-semuanya anggota Committee Central-menentang. Alasannya, persiapan belum selesai. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Letkol Untung dan sejumlah pengurus lain pada Juni 1965, disepakati mulai Juli 1965 pasukan Pemuda Rakyat dan Gerwani dikumpulkan di Pangkalan Halim Perdanakusumah.

Pertengahan Agustus, sekembalinya dari perjalanan ke Aljazair dan Peking, Aidit kembali melakukan pertemuan rahasia dengan Lukman, Njoto, Brigjen Soepardjo, dan Letkol Untung. PKI mendapat info bahwa tentara, atas perintah Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Achmad Yani, akan memeriksa PKI karena dicurigai mempunyai senjata secara tidak sah. "Kami terpaksa mempercepat pelaksanaan coup d'etat," kata Aidit. Akhirnya, dipilih tanggal 30 September.

Dalam buku Bayang-bayang PKI yang disusun tim Institut Studi Arus Informasi (1999), diduga Aidit tahu adanya peristiwa G-30-S karena ia membentuk dua organisasi: PKI legal dan PKI Ilegal. Biro Chusus adalah badan PKI tidak resmi. Sjam bertugas mendekati tentara dan melaporkan hasilnya, khusus hanya kepada Aidit. Hanya, ternyata, tak semua "hasil" itu dilaporkan Sjam.

Tentang besarnya peran Aidit dalam peristiwa 30 September ditampik Soebandrio. Menurut bekas Wakil Perdana Menteri era Soekarno ini, G-30-S didalangi tentara dan PKI terseret lewat tangan Sjam. Alasan Soebandrio, sejak isu sakitnya Bung Karno merebak, Aidit termasuk yang tahu kabar tentang kesehatan Bung Karno itu bohong. Waktu itu, kata Soebandrio, Aidit membawa seorang dokter Cina yang tinggal di Kebayoran Baru. Soebandrio dan Leimena, yang juga dokter, ikut memeriksa Soekarno. Kesimpulan mereka sama: Bung Karno cuma masuk angin.

Soebandrio dalam memoarnya, Kesaksianku Tentang G-30-S, menyesalkan pengadilan yang tidak mengecek ulang kesaksian Sjam. Menurut Soebandrio, ada lima orang yang bisa ditanya: Bung Karno, Aidit, dokter Cina yang ia lupa namanya tersebut, Leimena, dan dirinya sendiri. Menurut Soebandrio, pada Agustus 1965 kelompok "bayangan Soeharto" (Ali Moertopo cs) sudah ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi untuk mendorong PKI mendahului memukul Angkatan Darat.

Njoto membantah pernyataan Aidit. Menurut Njoto, "Hubungan PKI dengan Gerakan 30 September dan pembunuhan Jenderal Angkatan Darat tidak ada. Saya tidak tahu apa pun, sampai-sampai sesudah terjadinya," katanya dalam wawancara dengan Asahi Evening News. Keterangan Njoto sama dengan komentar Oei Hai Djoen, mantan anggota Comite Central. "Kami semua tidak tahu apa yang terjadi," kata dia.

Presiden Soekarno sendiri menyatakan Gestok (Gerakan Satu Oktober)-demikian istilah Bung Karno-terjadi karena keblingernya pemimpin PKI, lihainya kekuatan Barat atau kekuatan Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme), serta adanya "oknum yang tidak benar".

Misteri memang masih melingkupi peristiwa ini. "Menurut kami, PKI memang terlibat, tapi terlibat seperti apa?" kata Murad. Setelah puluhan tahun tragedi itu berlalu, pertanyaan itu belum menemukan jawabannya. Setidaknya bagi Murad dan anggota keluarga Aidit yang lain.

Sumber
Share:

Perihal Orang Miskin yang Bahagia

Cerpen Agus Noor

1.
“AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. “Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena di-laminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dom­petnya yang lecek dan kosong.
“Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”
2.
Diam-diam aku suka mengintip rumah orang mis­kin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang me­nahan lapar. “Kelak, mereka pasti akan men­jadi orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya.
Suatu sore, aku melihat orang miskin itu me­nik­mati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan ki­sah paling lucu dalam hidup kita….”
“Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan me­reka.
3.
Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. “Barangkali aku memang run-temurun dikutuk jadi orang miskin,”ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.
Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. “Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu. “Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”
Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.
4.
Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik pada­ku. “Kadang bosan juga aku jadi orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. “Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”
“Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”
Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, “Aku kenal orang miskin yang jadi pelawak. Ber­tahun-tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”
5.
Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kos­tumnya rombeng, dan menyedihkan. Setiap meng­hibur di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya selalu menangis ketakutan.
“Barangkali kemiskinan memang bukan hi­buran yang menyenangkan buat anak-anak,” ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.
Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan la­par, orang miskin itu suka mengibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.
6.
Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Se­tiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar me­lupakan penderitaan. Atau, seringkali, orang mis­kin itu mengajak lapar bermain teka-teki, untu­k menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar da­tang ber­tandang.
“Hiburan apa yang paling menyenangkan ke­tika lapar?” Dan orang miskin itu akan menja­wabnya sendiri, “Musik keroncongan.”
Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.
7.
Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. “Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”
“Wah, hebat banget!” ujarku. “Semua kuliah, ya?”
“Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”
8.
Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang ma­sih kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang. Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan me­reka secara adil dan beradab berdasarkan Pan­casila dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda. “Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!”
Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.
9.
Pernah suatu malam kami nongkrong di wa­rung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka me­manjakan diri menikmati kopi. “Orang miskin per­lu juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, be­ginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya ba­nyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sam­bil menepuk-nepuk pundakku. “Kalau kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan pen­de­ritaan, yang bisa digunakan untuk membia­yaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pe­lan ia menyeruput kopinya penuh kenikmatan.
Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.
10.
Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.
Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, ber­jalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.
Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihat­nya tengah berusaha menyembunyikan isak ta­ngisnya.
11.
Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan. “Jangan sa­lah paham,” katanya. “Aku sedih bukan ka­rena aku miskin. Aku sedih karena banyak se­kali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.”
Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa ki­kuk dengan penampilanku yang perlente. Se­jak itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.
12.
Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan dibagikan.
13.
Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:
Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya, “Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, “Aku malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi.”
Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. “Kisah itu selalu membuatku punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita.
14.
Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai. Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan memar. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” katanya. “Di­tu­duh mencuri, dipukuli, dan dikasih duit!”
Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau ia pelakunya. De­ngan harapan ia kembali dipukuli.
15.
Banyak orang berkerumun sore itu. “Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira orang miskin itu te­was dipukuli. Ternyata bukan. “Itu perempuan yang kemarin baru melahirkan. Anaknya sudah selusin, suaminya minggat, dan ia merasa repot kalau mesti menghidupi satu jabang bayi lagi. Ma­kanya ia memilih membakar diri.”
Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.
16.
Sepertinya ini memang lagi musim orang mis­kin bunuh diri. Dua hari lalu, ada seorang ibu sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil menggendong dua anaknya. Ada lagi sekeluarga orang miskin yang kompak menenggak racun. Ada juga suami istri gantung diri karena bosan dililit hutang.
“Tak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. “Hanya orang miskin ga­dungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.”
17.
Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman sa­ja yang tak mau berponsel. Tapi aku tetap sa­ja kaget ketika orang miskin itu muncul di ru­mahku sambil menenteng telepon genggam.
“Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, “Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo….”
Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.
18.
Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu na­ma itu bertengger dengan gagah namanya, tem­pat tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.
19.
Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang mis­kin. Ia suka keliling kampung, menenteng pon­sel, sambil bersiul entah lagu apa. “Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot me­ngemis dengan tampang dimelas-melaskan,” ka­tanya. “Buat apa? Toh sekarang kami sudah nya­man jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.”
Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sam­bal terasi dan nasi—yang tambah sampai tiga kali—disantapnya dengan lahap. Sementa­ra aku hanya memandanginya.
“Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. “Karena aku telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang membayar semuanya.”
Sambil bersiul ia segera pergi.
20.
Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” batinnya, “dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.
Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sumbuh,” kata pe­rawat, lalu memberinya obat murahan.
Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.”
Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.
21.
Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.
Tak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.
22.
Suatu sore yang cerah, aku melihat orang mis­kin itu mengajak anak istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sa­kinah, batinku. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.
“Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bi­sik orang miskin itu pada istrinya, sambil me­nunjuk orang-orang yang sedang antre memba­yar dengan kartu kredit. Di kasir, orang mis­kin itu pun segera mengeluarkan Kartu Tan­da Miskin miliknya, “Ini kartu kredit saya.”
Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.
23.
Ia tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. “Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.”
Aku diam mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.
24.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.
Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya tak cukup buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat yang sudah lama menunggu mulai menggerutu.
Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali.
25.
Sejak peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.
“Dasar orang miskin keparat,” begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, “mau mati sa­ja pakai nipu.”
“Apa dikira kita nggak tahu, itu kan akal bulus biar dapat sumbangan.”
“Dasarnya dia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu ia sering keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin masjid. Padahal hasilnya ia tilep sendiri.”
“Kalian tahu, kenapa dia tak jadi mati? Kare­na neraka pun tak sudi menerima orang miskin kayak dia!”
Orang-orang pun tertawa ngakak.
26.
Nasib buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya. (*)



Jakarta-Singapura, 2009



Share:

Blog Archive