Berbagi Sebening Hati

Tuesday 15 March 2016

Dulu Angon Bebek, Kini Beternak Blog



KOMPAS.com - Orang-orang dengan profesi baru di media sosial seperti sekarang ini tidak muncul begitu saja. Mereka adalah para penyintas yang berjuang untuk bertahan hidup dan tetap eksis.

 Mereka yang semula angon bebek atau pembawa acara ulang tahun kini menjadi selebritas di dunia maya dengan penghasilan lebih dari cukup.

 Mari simak potongan kisah hidup Eko Purwanto (22), yang kini berprofesi sebagai internet marketer berpenghasilan Rp 120 juta per bulan lewat blog dan aplikasi Android. Pria kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, itu sengaja mengubah namanya di dunia maya menjadi Eka Lesmana. Biar lebih kekotaan, katanya.

 Sebagai remaja dari keluarga sederhana, Eko tak mampu melanjutkan sekolah setelah lulus SMP karena biaya. Dia lantas membantu pamannya angon atau menggembala bebek selama enam bulan. Setelah itu, bibinya mengajaknya bekerja di pabrik ragi di Solo selama setahun. Lantas pindah bekerja di toko seprai di Yogyakarta.

 Di Kota Gudeg inilah, Eko bertemu seorang pembeli yang setiap hari belanja Rp 3 juta-Rp 5 juta.

 "Saya tanya, kok, tiap hari belanjanya banyak sekali. Dia jawab, katanya jualan online (daring). Saya tertarik lalu belajar otodidak di warnet. Saya mulai dari nol karena internet saja tidak kenal," jelas Eko.

 Eko melihat internet dapat memperbaiki taraf hidupnya. Ia pun meluangkan waktu empat jam setiap malam selepas kerja untuk menjajal internet.

 Tiga bulan kemudian ia mampu membuat laman untuk jualan secara daring. Dagangannya seprai dari toko yang dijaganya. Setiap hari, ia mengeluarkan Rp 10.000 untuk biaya sewa di warnet sehingga sebulan bisa habis Rp 300.000. Padahal, gajinya hanya Rp 800.000.

 Eko kemudian nekat meminjam uang Rp 3 juta kepada majikan tokonya untuk membeli laptop yang dibayar secara cicilan dengan cara potong gaji tiap bulan. Dengan begitu, ia tidak perlu ke warnet.

 "Potong gaji Rp 300.000, masih ditambah keluar Rp 100.000 untuk pulsa internet. Sisanya Rp 400.000 hanya cukup untuk makan. Saya bertahan karena memang hobi otak-atik," kata Eko yang sempat ditegur orangtuanya karena penghasilannya tak sebesar teman-teman sebayanya di kampung.

 Kini Eka, eh, Eko bisa membuktikan bahwa ia bisa berhasil lewat internet.

 "Sampai sekarang, orangtua juga enggak paham apa itu internet. Hanya tahu saya dapat uang dengan online menghadap komputer. Makanya, di kampung saya dipanggil Eko Onlen."

 Eko masih terus bekerja di toko seprai, termasuk di cabang toko itu yang berada di Semarang. Penghasilannya dari internet saat itu baru beberapa ratus dolar AS per bulan.

 Baru tahun 2014 ia berani untuk penuh waktu berpenghasilan dari internet. Eko kembali ke kampung halaman di Jumantono, Karanganyar, dan bekerja dari rumah. Istrinya juga ia ajari internet marketing dan sudah menghasilkan. Rata-rata sehari ia menghabiskan waktu delapan jam untuk mengurusi blog-blognya, mulai dari mengisi konten hingga optimasi. Dari hasilnya ini, Eko mampu membangun rumah, membeli tanah, dan sejumlah investasi lain.

 Perjuangan serupa dialami Edho Zell Pratama (26), Youtuber. Semula dia hanya mencari jalan agar dapat bertahan hidup di Jakarta ketika jauh dari orangtua. Dengan kemampuan seadanya, dia menjadi MC di berbagai acara ulang tahun rekan-rekannya.

 Sempat mendirikan boyband, Mr Bee, tetapi tak pernah jaya. Berulang kali ikut casting untuk beberapa acara televisi, toh, tak membuahkan hasil yang bagus.

 "Hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan, he-he-he," ujarnya.

 Butuh waktu

 Di tengah beragam usaha itu, Edho juga mengunggah beberapa video, yang dia anggap lucu dan menarik, ke Youtube. Itu dia lakukan setelah melihat ledakan lipsync duo Sinta dan Jojo lewat lagu "Keong Racun".

 Akan tetapi, respons pengguna Youtube terhadap video Edho sepi-sepi saja. Edho sempat menjadi host acara komedi di sebuah stasiun televisi swasta, tetapi baginya itu kurang mendongkrak taraf hidupnya.

 Hingga suatu hari, pihak Youtube mengontak dia untuk latihan membuat video. Rupanya, video-video Edho terdahulu di Youtube mendapat perhatian. Edho pun menyambut baik tawaran itu dan terus latihan hingga bisa seperti sekarang ini.

 Dia memiliki pelanggan atau subscriber sebanyak 551.910 pengguna Youtube. Di Instagram, pengikutnya mencapai 718.000 akun.

 Semua itu adalah sumber uang yang menghidupi Edho. Dia kini mempunyai mobil, apartemen, dan tiga pegawai yang membantunya berkreasi.

 "Dulu, saya kos di bangunan tripleks, sekarang di apartemen. Semua itu dari Google atau Youtube."

 Semua butuh waktu. Seperti halnya perjalanan hidup Hanny Kusumawati (31), yang kini dikenal sebagai penulis perjalanan. Awalnya, dia penulis cerita, proposal, hasil riset, cerita pendek, artikel, dan lain sebagainya. Kecintaan Hanny kepada dunia tulis-menulis itu muncul sejak dia kecil.

 Tahun 2005, dia mulai menulis di blog pribadinya, Beradadisini.com, tentang pemikiran dan pengalamannya. Dua tahun kemudian, seiring populernya blog, tulisan Hanny dikenal banyak orang. Ketika Hanny mulai sering melakukan perjalanan, catatan pribadinya itu juga kemudian mencakup catatan perjalanan.

 "Mungkin itu sebabnya ada orang-orang yang berpikir bahwa saya adalah seorang travel writer," kata Hanny.

 Tulisan-tulisan itu yang kemudian mengantarkan Hanny ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Vietnam, Hongkong, Makau, Taiwan, India, Pakistan, Spanyol, Portugal, Ukraina, Kazakhstan, Perancis, dan Yunani. Tentu juga berbagai tempat di Tanah Air. Sebagian besar perjalanan itu didanai pengundang.

 Kunci perubahan hidup Hanny, Eko, dan Edho adalah semangat untuk belajar agar keluar dari impitan hidup, serta bergaul dengan teknologi yang terus berubah. Mereka meyakini bahwa selama mau bekerja keras, hidup pun akan melunak dan berpihak kepada mereka.

 Keyakinan itu juga yang dipegang Jumanto (40) alias Kang Jum, kuli bangunan yang merangkap sebagai bloger berkat ketekunannya belajar internet secara otodidak. Tahun 2011, sejak ia mulai belajar, Jum tertarik dengan blog dan Adsense. Adsense adalah program kerja sama periklanan yang diselenggarakan Google. Pemasang iklan akan membayar lewat Google setiap kali iklan mereka yang berada di blog, Youtube, aplikasi bergerak, atau gim diklik oleh pengunjung. Dari tulisan-tulisan yang ia unggah di blognya, Jum mulai mendapat hasil. Mula-mula hanya 1 atau 2 dollar per hari lama-lama semakin besar.

 "Saya ingin menunjukkan bahwa kuli bangunan itu bukan profesi yang rendah," kata Jum yang masih aktif menjadi kuli bangunan.

 Kini, ada 12 blog yang masih aktif dikelolanya serta beberapa kanal Youtube. Sebagian besar dalam bahasa Inggris dan membahas, antara lain, tentang metafisika, perdagangan valuta asing, dan kesehatan.

 Salah satu blognya, yakni Kangjum.com, didedikasikan bagi mereka yang ingin belajar internet marketing. Setiap malam, ada 3-20 orang yang rutin berkunjung ke rumahnya di Desa Singocandi. Jum tidak memungut bayaran. Ia juga melayani orang yang ingin belajar secara daring.

 Adapun Eko, sempat punya 12 blog yang dimonetisasi. Sekarang, ia hanya menyisakan enam blog ditambah sejumlah aplikasi yang diluncurkannya di pelantar Android. Di situlah dia mendapat kejayaan dan pengakuan. Blog menjadi angsa bertelur emas. Eko yang dulu angon bebek, sekarang "beternak" blog.... (Mohammad Hilmi Faiq, Sri Rejeki, & Dwi As Setyaningsih)

Artikel ini ditayangkan Kompas.com Jum'at, 4 Maret 2016
http://regional.kompas.com/read/2016/03/04/07000071/Dulu.Angon.Bebek.Kini.Beternak.Blog?page=all
Ilustrasi
Share:

Friday 11 March 2016

Imam Pemberontak dari Malangbong

Oleh: Bahtiar Effendy 

SEKARMADJI Maridjan Kartosoewirjo adalah tokoh menarik. Dari segi nama, penilaian subyektif saya mengatakan figur ini tidak memiliki Islamic credential yang kuat. Demikian pula jika dilihat dari sisi penampilan. Potret dirinya, seperti tampak dalam buku Cornelis van Dijk yang berjudul Darul Islam, tidak mengesankan sebagai santri dalam perspektif Clifford Geertz. Foto itu bahkan lebih tampak berkarakter abangan.

Kesan “nonsantri” ini diperkuat dengan asal-usul sosialnya yang berspektrum priayi-abangan. Ayahnya adalah, menurut Van Dijk, “mantri penjual candu, seorang perantara dalam jaringan distribusi candu siap pakai yang dikontrol dan diusahakan pemerintah”. Dan sekolahnya pun sekuler: Inlandsche School der Tweede Klasse, HIS, ELS, dan kemudian NIAS-sekolah dokter Jawa.

Menariknya, warna nonsantri itu tidak muncul dalam pembicaraan mengenai Kartosoewirjo. Sebaliknya, figur ini justru dikenal sebagai bagian penting dari pergerakan Islam, khususnya dalam kaitannya dengan gagasan dan eksperimen negara Islam.

Di Indonesia, wacana dan karya kesarjanaan tentang negara Islam sering dikaitkan dengan aspirasi ideologis dan politis “golongan agama”-yang kemudian bermetamorfosis menjadi partai Islam. Ini karena mereka, sebagaimana tecermin dalam perdebatan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (1945) dan Sidang Konstituante (1956-1957), ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Meski demikian, Kartosoewirjolah yang berasal-usul sosial nonsantri itu, yang menyatakan sikap politiknya secara lebih tegas: memaklumkan berdirinya Negara Islam Indonesia melalui gerakan Darul Islam. Sementara golongan agama atau partai Islam “hanya” berani mengusulkan Islam sebagai dasar negara, Kartosoewirjo tanpa ragu memilih mendeklarasikan negara Islam.

Terlepas dari soal nama, penampilan, dan asal-usul keluarga yang “bukan santri”, kehidupan Kartosoewirjo tidak kosong dari warna Islam. Setidaknya dia pernah dekat dengan H.O.S. Tjokroaminoto-bapak penggerak nasionalisme Indonesia melalui Sarekat Islam. Berbeda dengan Soekarno atau Semaoen-Darsono yang juga menjadikan Tjokroaminoto sebagai mentor, Kartosoewirjo bahkan pernah bergabung dengan PSII dan Masyumi. Dia juga melatih pemuda-pemuda dalam lembaga Suffah yang dibangunnya.

Atas dasar itu dapatlah dikatakan bahwa Islamic credential yang disandang Kartosoewirjo lebih bersifat institusional daripada substansial. Kartosoewirjo barangkali memang tidak memiliki pengetahuan tentang Islam sedalam Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, atau Isa Anshari. Lagi-lagi menurut Van Dijk, substansi Islam diperolehnya secara otodidak melalui buku-buku berbahasa Belanda, yang dia dapatkan dari kiai-kiai Malangbong, seperti Yusuf Tauziri dan Ardiwisastra-mertuanya.

Barangkali sadar akan hal ini, yaitu keterbatasan mengenai keluasan dan kedalaman Islam, Kartosoewirjo tidak bersedia membuang waktu untuk menggali dasar-dasar teologi tentang perlunya negara Islam. Dan memang, Negara Islam Indonesia yang dia proklamasikan pada 7 Agustus 1949 lebih merupakan reaksi politis daripada agama atas situasi yang berkembang waktu itu.

Deliar Noer, misalnya, percaya bahwa gerakan Darul Islam muncul karena Kartosoewirjo-yang ketika itu “memimpin sebagian kekuatan bersenjata umat di daerah Jawa Barat”-tidak setuju dengan Persetujuan Renville. Inti persetujuan itu adalah ditariknya kekuatan bersenjata Indonesia, termasuk Hizbullah dan Sabilillah, dari daerah yang dianggap dikuasai Belanda.

Tapi sebenarnya, di luar Persetujuan Renville, ada faktor lain yang menyebabkan kelahiran Negara Islam Indonesia, seperti berdirinya Negara Pasundan ciptaan Belanda pada Maret 1948 dan-ini barangkali yang paling menentukan-jatuhnya pemerintahan RI di Yogyakarta pada Desember 1948 karena aksi polisional Belanda.

Dalam konteks seperti itu, kental warna kebencian terhadap kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan berdirinya Negara Islam Indonesia. Bahwa kemudian Kartosoewirjo memberi makna jihad dalam reaksinya terhadap perkembangan keadaan, hal itu merupakan sesuatu yang lumrah.

Gagasan mengenai jihad memberikan dimensi lain, nilai tambah, dalam perang melawan Belanda-walaupun harus pula disadari, dalam tradisi masyarakat agraris yang masih sangat tradisional, belum tentu pemahaman tentang jihad memiliki kedalaman makna teologis. Bisa saja jihad dimengerti dalam konteks mesianistik-menghadirkan juru selamat yang diridhoi Tuhan. Bukankah, sekali lagi menurut Van Dijk, Kartosoewirjo juga dilukiskan sebagai pemimpin yang memiliki kekuatan mistik, lengkap dengan keris dan pedangnya-Ki Dongkol dan Ki Rompang?

Tentu, kualitas yang dimiliki Kartosoewirjo tidak unik, tidak hanya ada pada dirinya sendiri. Sejak awal abad ke-20 sampai sekarang, pejuang negara Islam tidak selalu berasal dari kalangan muslim yang-dalam kerangka antropologis masyarakat Indonesia-disebut santri. Di belahan dunia lain, pejuang negara Islam itu ada yang berasal-usul seperti Kartosoewirjo, setidaknya jebolan perguruan tinggi sekuler, bukan madrasah.

Ini artinya, seperti tampak dalam sejarah pergerakan Darul Islam di Indonesia, gagasan mengenai negara Islam tidak mesti muncul karena kesadaran keagamaan. Ide itu bisa juga lahir sebagai respons atas perkembangan keadaan.

Bahtiar Effendy Dekan Fakultas Imu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta
Share:

Tuesday 1 March 2016

Calon Ustadz yang Berubah Haluan


Warga di kampung itu tiba-tiba menjadi heboh. Sepuluh tahun mondok di pesantren, Jang Ridwan bukannya pulang membawa peti yang berisi kitab-kitab kuning yang dipelajari seseorang yang biasanya sudah tamat belajar mengaji. Anak ini ternyata malah membawa sebuah peti besar yang berisi wayang golek. Bahkan dengan bangganya dia memaklumatkan dirinya telah berhasil lulus menjadi seorang dalang.

Yang paling terpukul dengan sikap anak ini, kedua orang tuanya tentu saja. Mereka mengantarkan anaknya ke pesantren, karena berharap agar menjadi seorang anak yang saleh. Paling tidak bisa mendo’akannya apabila telah meninggal dunia kelak. Syukur-syukur malah dapat menjadi seorang guru ngaji. Bagaimanapun seorang guru ngaji, guru agama, akan mendapat kedudukan lebih terhormat di tengah masyarakat.

Sungguh sayang seribu kali sayang. Jang Ridwan, anak semata wayangnya malah menjadi dalang. Ayah dan ibunya merasa kecewa, tentu saja.

Bagaimanapun sikap Jang Ridwan di mata keluarga maupun warga adalah sebagai sesuatu yang bertolak belakang memang. Seseorang yang yang menjadi santri di pesantren, biasanya akan pulang dengan mendapat sebutan ustaz, atawa guru agama yang di kampung itu lebih dikenal dengan sebutan ajengan. Seorang ajengan adalah sosok terhormat. Dalam bahasa Sunda, ajengan adalah kiayi yang memiliki ilmu agama yang tinggi, atawa secara harfiah bisa juga bermakna sebagai orang yang diajeng-ajeng (ditunggu-tunggu) dan dihormati. Dengan kata lain ajengan dianggap sebagai seorang penerang jalan bagi umat, dalam kehidupan di dunia ini dan kelak di akhirat. Sedangkan Jang Ridwan dianggap seolah telah mengobrak-abrik tatanan yang tertanam dalam kehidupan warga selama ini. Bahkan tak sedikit yang berbisik-bisik maupun dengan terang-terangan mengatakan kalau Jang Ridwan merupakan sosok Dajjal pembawa sial. Bagaimanapun seorang dalang berikut pertunjukan wayang goleknya dianggap sebagai penyebar kemaksiatan.

Betapa tidak. Dalam pertunjukan wayang golek yang biasanya berlangsung semalam suntuk, selain disuguhi lakon yang konon berasal dari keyakinan agama lain, juga senantiasa diiringi dengan kawih para pesinden yang melantunkan tembang kasmaran, ditambah pula dengan tingkah pesinden itu dengan menari jaipongan yang terkadang mengundang rangsang penontonnya membayangkan hal yang bukan-bukan. Ya, goyang pinggul dan kerling mata pesinden dengan dandanan menor itu seringkali dipandang sebagai pembangkit berahi lelaki.

Saya pun jadi penasaran dengan fenomena yang terjadi di kampung itu, dan suatu ketika berkesempatan bertemu dan berbincang dengan Jang Ridwan. Mengorek lebih dalam motivasi calon ajengan yang malah menjadi dalang itu.

Adalah suatu kebetulan saat perayaan Agustusan, yaitu peringatan HUT kemerdekaan RI tahun lalu, remaja Karang Taruna kampung Margaluyu, desa Sukamaju, kecamatan Pagerageung, kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat,  menggelar pertunjukan wayang golek dengan dalang salah satu anggota Karang Taruna itu sendiri, yaitu Jang Ridwan, atawa lengkapnya Muhammad Ridwan itu.

Dengan panjang lebar Jang Ridwan pun menjelaskan, saat menjadi santri dirinya biasa berziarah ke makam para Wali.  Bahwa menurut sahibu hikayat, pertunjukan wayang golek pertama kali digelar oleh para Wali yang dinamakan Walisanga. Tujuannya tidak lain merupakan upaya mereka dalam rangka menyebarkan syiar agama Islam di tengah penduduk Jawa, khususnya di tatar Sunda yang kala itu masih menganut agama lain.

Dengan dakwah melalui pendekatan seni budaya pertunjukan wayang golek itu pula warga tatar Sunda menjadi tertarik untuk berpindah keyakinannya, menjadi penganut agama Islam seperti yang kita saksikan sekarang.

Oleh karena itu, menurut keyakinan Jang Ridwan, apa salahnya kalau dirinya mengikuti jejak para pendahulunya, para Wali itu, berdakwah dengan wayang golek sebagai sarananya. Apa lagi kondisi masyarakat sekarang ini, dianggap Jang Ridwan membutuhkan sebuah pendekatan yang berbeda dari biasanya. Tidak hanya  dakwah yang berbentuk khotbah, orasi,  atawa pidato yang acapkali membuat pendengarnya jenuh. Dan menganggapnya suatu hal yang membosankan.

Disebutkannya kreasi dakwah melalui pertunjukan seni wayang golek telah dirintis oleh mendiang Asep Sunandar Sunarya, salah seorang dalang wayang golek terkenal di Jawa Barat, yang juga dianggap sebagai sosok yang mengilhami dirinya.

Akan halnya ada anggapan pertunjukan wayang golek dekat dengan maksiat, anak itu dengan bijak mengelak. sebab hal itu tergantung dari sudut mana memandangnya. Menurut keyakinannya semuanya kembali lagi kepada niat. Malah justru sebaliknya, melalui pertunjukan wayang golek pula, Jang Ridwan punya niat untuk merubah stigma yang berkembang di tengah masyarakat. Dia berharap dengan cara itu dakwahnya dapat diterima oleh semua kalangan. Baik mereka yang mengaku dirinya sebagai umat yang taat beribadat, maupun orang yang telah dicap sebagi penjahat.

“Selain itu, niat saya yang sudah bulat ini, paling tidak untuk melestarikan kebudayaan tradisional yang sekarang ini telah hampir dilupakan,” cetusnya dengan wajah sumringah.

Mendengar panjang lebar penuturan Jang Ridwan, terutama pada kalimat terahirnya, sungguh saya jadi malu sendiri. Sekarang ini jarang sekali mendengar orang yang merasa bangga dengan warisan leluhurnya. Mereka malah lebih tertarik dengan kebudayaan yang datang dari luar, padahal belum tentu sesuai dengan kepribadiannya.



Sungguh. Saya malu sekali dengan anak muda yang satu ini. ***

Postingan ini menjadi pemenang lomba Blog Figur Inspiratif di: https://indonesiana.tempo.co/lomba/figur-inspiratif/pemenang
dan menjadi headline di: http://www.kompasiana.com/arsudradjat/calon-ustadz-yang-berubah-haluan_56b93ce38e7a6163048b4570
Share:

I Miss You but I Hate You



Jungkir-balik Malik memikirkan Tatik. Rasa kangen yang tiga hari ini sudah di ubun-ubun, membuatnya seperti orang yang sudah pikun. Di kepalanya hanya Tatik seorang yang dipikirkan. Di matanya hanya ada Tatik yang terbayang. Memang begitulah kalau orang sedang kasmaran.

 Sudah seminggu Malik tak lagi melihat Tatik. Baginya itu merupakan sesuatu yang pelik. Biasanya Malik selalu leluasa memandang Tatik yang sedang sibuk melayani pembeli, atawa kadang-kadang Tatik tampak duduk termangu karena kebetulan sedang sepi. Dari ruang kerjanya, bila jeda sesaat karena kehabisan kata-kata yang hendak ditulisnya, Malik selalu mengangkat wajahnya, dan tatapannya pun berpindah dari layar laptop ke arah kaca, lalu menembus ke luar... Nah, di seberang jalan itu dengan gerobaknya Tatik selalu tampak. Antara  ruang kerja di kantornya dengan gerobak tempat jualan Tatik yang berada di seberang jalan itu jaraknya paling hanya sekitar sepuluh meteran. 

Sejak dua bulan lalu Tatik jualan di seberang jalan. Berbagai jenis makanan yang digoreng, seperti bakwan, gehu (tauge yang dimasukkan ke dalam tahu), pisang molen, dan ketela. Semuanya digoreng. Minuman hangat pun, teh dan kopi disediakannya juga. Dan Malik menjadi salah seorang pelanggannya. Lewat TG (Telpon Genggam) Malik memesan segelas kopi dan lima buah bakwan kepada nomor yang tertera pada kaca gerobak penjual gorengan itu. Tidak lama kemudian seorang perempuan muda, yang selanjutnya dikenal dengan nama Tatik, muncul di pintu dengan nampan besar di kedua tangannya. Isinya pun bukan hanya pesanan Malik saja. Beberapa teman sekantornya pun banyak yang memesannya. 

Saat perempuan muda itu mengantarkan pesanannya untuk pertama kalinya, Malik sudah dibuat terpesona ketika melihatnya. Meskipun hanyalah penjual gorengan, Tatik memiliki wajah yang cantik memang. Mengingatkan Malik hampir mirip dengan pesinetron Dian Sastro. Sungguh. Bentuk tubuhnya pun cukup proporsional. Hanya saja kulitnya sedikit sawo matang. Bisa jadi karena seringkali kena langsung sengatan terik matahari, ditambah debu jalan yang diterpa kendaraan yang berjalan kencang. Tapi itu tak jadi persoalan. Justru Tatik oleh teman sekantornya dijuluki Si Cantik Hitam Manis.

Malik menatap Tatik dengan mata terpana. Dia tidak banyak berkata-kata, dan yang keluar dari mulutnya hanya dua kata, “Terima kasih...” ketika Tatik meletakkan pesanannya di atas meja kerjanya. 

Untuk ketiga kalinya Tatik mengantarkan kopi dan lima buah bakwan pesanannya, barulah Malik mempunyai kesempatan untuk berkenalan. Itu pun tidak secara langsung berkenalan sebagaimana biasanya sambil berjabat tangan lalu saling menyebut nama masing-masing. Melainkan karena entah gugup atawa memang mejanya terlalu sempit, saat piring kecil tempat bakwan akan ditaruh di meja, gelas kopi yang sudah diletakkan lebih dahulu tiba-tiba tersenggol piring tanpa disengaja. Gelas kopi pun terjatuh dan isinya tumpah hingga membasahi celana Malik juga. Tatik maupun Malik terkejut dengan insiden itu tentu saja.

. “Aduh, maaf tidak disengaja, Pak” kata Tatik dengan gugupnya sambil mengambil saputangan dari kantong roknya. “Biar Tatik bersihkan. Sekali lagi maafkan Tatik, Pak. Sungguh tidak disengaja...” 

“Nggak apa-apa... Nggak apa-apa,” sahut Malik sambil menjauhkan pahanya yang tampak akan dipegang untuk dibersihkan oleh perempuan itu. Lalu Malik mengambil tisu, dan melap noda kopi di celananya. Sementara dalam hatinya berkata, “O, jadi Tatik namanya...”. Sedangkan perempuan muda itu sendiri dengan wajah penuh sesal membersihkan tumpahan kopi yang menggenang di atas meja. Maka untuk sejenak dengan leluasa Malik dapat menikmati wajah itu tanpa diketahui oleh pemiliknya yang menunduk.

 “Beruntung sekali lelaki yang jadi pacarnya,” bisik Malik dalam hatinya. “Tapi apakah sudah punya pacar atau belum ?” tiba-tiba Tatik mengangkat wajahnya. Kedua matanya menatap Malik yang berkedip-kedip.

“Sudah bersih. Tapi Kopinya biar saya ganti lagi, Pak. Permisi,” kata Tatik sambil beranjak pergi seperti tidak merasa ada apa-apa. Tapi Malik hanya mengangguk sambil tersenyum kecut. Dirinya masih dihinggapi rasa malu yang tak terhingga. Karena telah mencuri pandang dan menikmati keindahan wajah perempuan muda itu. Bak maling yang tertangkap basah saja.

 “O, jadi namanya Tatik ya ?!” kata Malik ketika Tatik kembali dengan nampan berisi segelas kopi. Entah kenapa, tiba-tiba muncul keberanian untuk menggodanya. Tatik tidak menyahut, hanya tersenyum malu-malu. “Nama yang cantik... Secantik orangnya!”

 “Ah, Bapak. Biasa saja, saya hanya tukang jualan gorengan...”

 “Sungguh. Saya tidak mengada-ada. Itu benar-benar nyata.” Tatik tersenyum sambil menundukkan kepala.

 “Permisi, Pak. Banyak pembeli menunggu...” kata Tatik tanpa menunggu jawaban lagi.

Malik tersenyum sendiri. Meskipun sesaat dia merasa bangga sudah bisa bertegur-sapa. Dan sudah tahu nama perempuan muda penjual gorengan yang cantik itu. bisa jadi teman-temannya belum ada yang mengetahuinya. Karena Tatik tak pernah berlama-lama. Setelah mengantarkan pesanan, dia selalu buru-buru pergi lagi. 

Tampaknya laris juga jualannya. Bukan hanya orang-orang di sekitar saja yang jadi langganannya, sepertinya pengendara sepeda motor dan mobil pun banyak yang sengaja mampir untuk membeli gorengan yang dijualnya.

“Apa iya mereka pura-pura hanya membeli makanan, padahal sesungguhnya ingin menikmati kecantikan penjualnya?” Malik membatin. Diam-diam aliran darah dalam tubuhnya ditumbuhi kecemburuan.

Sebagai wartawan muda, dan juga masih lajang, Malik senantiasa terpesona setiap kali melihat wajah cantik perempuan. Itu suatu hal yang wajar memang. Apalagi dalam kesehariannya dia mendapat tugas di bagian hiburan. Sehingga seringkali berhubungan dengan para selebritas. Dari model, bintang iklan, artis film, sampai public figure lainnya. Akan tetapi belum pernah sekalipun merasakan perasaan sebagaimana yang dialaminya saat ini. Saat bertemu dengan Tatik si penjual gorengan itu. 

Kecantikan Tatik, dan penampilannya yang sederhana, membuat dada Malik bergejolak tanpa jelas bagaimana asal mulanya. Tidak seperti ketika bertemu dengan bintang-bintang sinetron  misalnya. Meskipun wajahnya cantik, ditambah dengan gaya menggoda, tapi Malik merasa biasa-biasa saja. Hanya sebatas terpesona saja. Lain tidak.

Tidak seperti saat menatap Tatik memang. Tatik ternyata memiliki daya tarik tersendiri bagi Malik. Tatik yang cantik, sederhana, dan lugu itu telah mampu mengoyahkan perasaannya yang paling dalam. 

Malik telah jatuh cinta pada pandangan pertama.

 Hanya saja selama tiga bulan ini, Malik belum memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Jangankan untuk berterus-terang, bicara saja tak pernah bisa berlama-lama. Paling hanya bertegur-sapa sesaat saja. Saat Tatik mengantarkan pesanannya.

 “Tatik, Tatik, Tatik... Dimana kamu sekarang ? Mengapa tak ada kabar beritanya. Apakah kamu sakit ?” batin Malik sambil termangu menatap gerobak di seberang jalan yang tanpa pemiliknya.

 Tiba-tiba Malik tercekat.  Telinganya mendengar teman-temannya di sudut agak jauh yang ternyata sedang membicarakan Tatik. 

“Payah. Sejak perempuan itu tidak jualan, kita tak bisa ngopi lagi, sekalinya ingin ngopi harus pergi dulu ke perempatan jalan, Huh!”

 “Kemana sih dia ? Apa bangkrut, atawa pindah jualannya ?”

 “Bukan. Bukan begitu. Aku mendengar dari pedagang buah di sebelahnya, katanya sih perempuan itu di rumah sakit...”

Malik semakin penasaran karenanya. Lalu dia pun memasang kupingnya untuk mendengar kabar Tatik yang dirindukannya lebih jelas lagi.

 “Penjual gorengan itu sedang menunggui suaminya yang diopname karena penyakit jantungnya kumat...” *** 

Catatan: Judul cerpen ini terinspirasi dari judul lagu Grup Band SLANK

Selengkapnya :http://fiksiana.kompasiana.com/arsudradjat/i-miss-you-but-i-hate-you_56c0b1bc45afbd59166c6660
Share:

Ustadz dan Proposal


Sebuah Avanza hitam berhenti tepat di depan warung kopi. Semua mata di dalam warung pun langsung mengarah pada mobil itu. Ketika kaca pintu di samping pengemudi terbuka, hampir serempak mereka mengucap salam.

Assalamu’alaikum, Pak Ustadz...”

Wa ‘alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh... Masih pada begadang nih ?” sahut pengemudi yang ternyata Ustadz Salim, pimpinan pondok pesantren di kampung kami.

“Iya, Pak Ustadz. Sekalian siskamling. Supaya kampung kita aman, tidak kemasukan maling,” kata Mang Udin sambil tertawa. “Habis dari mana malam-malam begini,Pak Ustadz. Apa tidak ngopi bareng dulu ?”

“Biasa, dari pengajian di masjid DKM Al Ikhlas,” jawab ustadz sambil tangannya tak hemti mengusap-usap pintu mobilnya. “Terima kasih. Sudah malam. Lain kali saja.”

Ustadz Salim menyalakan mobilnya. Lalu pamitan sebelum berjalan. Ketika Ustadz  dan mobilnya ditelan tikungan, suasana di warung pun ramai kembali. Dan kali ini justru Ustadz yang baru saja lewat tadi dijadikan bahan gunjingan.

“Hebat ya ustadz kita itu. dalam satu tahun ini sudah tiga kali ganti kendaraan. Pertama dia membeli sedan tua. Tak lama kemudian sedan itu dijualnya. Lalu diganti dengan mobil Kijang. Eh, sekarang sudah diganti lagi dengan Avanza...” Mang Udin ternyata yang memulainya.

“Itu artinya ustadz Salim termasuk orang yang sukses, Mang!” kata pemilik warung.

“Tapi selama ini kita semua tahu. Ustadz itu tidak punya pekerjaan lain selain mengajar ngaji para santri, dan memberi tausyiah di majelis taklim saja. Di luar itu paling menggarap sawah wakaf yang luasnya tidak seberapa. Hasil panennya pun hanya cukup untuk makan sekeluarga sampai musim panen berikutnya.”

“Siapa tahu setiap menerima infaq, shodaqoh, dan zakat selalu ditabungkannya.”

“Bisa jadi begitu. Tapi kabar angin yang aku dengar, karena  ustadz kita itu  belakangan ini sering mengirim proposal ke Pemda, dan Kantor Kemeterian Agama. Bukankah pondok pesantrennya yang santrinya anak-anak kampung kita saja, dan tak pernah mondok karena memang belum ada pondoknya itu sudah berbentuk yayasan...”

“Memangnya kenapa kalau sudah jadi sebuah yayasan ?”

“Katanya sih, kalau sudah berbentuk yayasan, maka akan gampang untuk dapat bantuan.”

“Masak pemerintah mau memberi bantuan untuk membeli kendaraan pribadi. Ah, yang benar saja, Mang ?”

“Memang sih, masih katanya, dalam proposal itu dicantumkan permintaan bantuan untuk pembangunan sarana dan prasarana pendidikan misalnya, atawa ada pula untuk sarana keagamaan.”

“Tapi mengapa kenyataannya malah digunakan untuk membeli mobil ?”

“Entahlah... Eh, tapi kendaraan pun setidaknya menjadi penunjang ustadz kita itu untuk berdakwah.”


“Tapi di proposalnya tidak tercantum untuk membeli kendaraan ‘kan ?!” ***

Selengkapnya: http://www.kompasiana.com/arsudradjat/ustadz-dan-proposal_56bb703d23afbd890bc66e2d
Share:

Ketika Wabah Anak Jalanan Melanda Pedesaan



Dua bocah, sekitar 4 tahunan, yang tampaknya pulang dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), sambil jalan  beriringan di gang belakang rumah saya, dari mulutnya yang imut terdengar menyanyikan lirik lagu:

 Hati hati dengan hatiku
Karna hatiku mudah layu
 Jangan kamu bermain-main
Karna kutak’ main-main... 

Saya pun buru-buru menjejeri keduanya. Tetapi suara mereka pun mendadak berhenti, berganti dengan senyum malu-malu.

 “Iko, Alif, lagu apa itu ?” tanya saya.

“Si Boy !” sahut keduanya hampir serempak. “Itu tuh yang suka naik motor bagus di televisi,” sambung salah satu dari mereka.

 “Coba nyanyikan lagi. Bapak ingin mendengarnya. Iko dan Alif sudah hafal ‘kan semuanya ?” 
Kedua bocah itu malah berlarian sambil ketawa.

“Tunggu. Nanti yang mau menyanyikan lagu si Boy itu akan bapak kasih hadiah. Permen, mau ?”

Bisa jadi karena mendengar akan diberi hadiah permen, kedua bocah anak tetangga itu kembali menghampiri saya. Kemudian tanpa dikomando lagi keduanya kembali menyanyikan lagu yang menjadi soundtrack sinetron Anak Jalanan, yang saban malam ditayangkan di RCTI.

Hati hati dengan hatiku
Karna hatiku mudah layu  
Jangan kamu bermain-main 
Karna kutak’ main-main
Sungguh aku bersungguh-sungguh 
Cintaku ini cinta mati Mati-matian aku 
 Pertahankan cintaku
Aku takkan rela...bila kau tinggalkan
Aku kan berbuat...apa saja
Untuk mendapatkan kamu lagi
 Rupa rupa alasan kamu 
 Untuk tetap tinggalkan aku 
Rupanya kamu memang
Sudah tak cinta aku
Cintamu yang berbisa
Bisa racuni aku
Bisa-bisanya kamu mau tinggalkan aku 
Aku takkan rela...bila kau tinggalkan 
Aku kan berbuat...apa saja
 Untuk mendapatkan kamu lagi...

Selesai bernyanyi, kedua anak itupun mengulurkan tangannya. Menagih hadiah yang dijanjikan. Sambil menggeleng-gelengkan kepala,  saya merogoh kantong celana. Dan kedua anak itu masing-masing saya beri 5 buah permen.

Sungguh. Saya takjub mendengar kedua bocah itu begitu hafal secara lengkap lagu tersebut. Bahkan lirik lagu di atas, saya kutip langsung dari mulut keduanya.

Memang belakangan ini sinetron yang skenarionya ditulis pengarang serial Lupus itu, Hilman Hariwijaya, seakan menjadi magnet bagi sebagian besar warga di desa kami. Saban selesai menunaikan shalat Magrib di masjid, dari setiap rumah yang saya lewati akan terdengar lagu itu, pertanda sinetron Anak Jalanan sedang di tayangkan. Dan kemungkinan besar setiap keluarga, orang tua dan anak-anaknya,  dari rumah yang saya lewati tidak akan melewatkan tayangan sinetron itu. Betapa tidak, sewaktu turun dari teras masjid saya sempat melihat hanya beberapa orang anak saja yang akan belajar mengaji.

“Sejak ada pilem itu anak-anak memang sepertinya jadi malas belajar ngaji lagi,” kata Abah Kurdi, guru ngaji dan imam di masjid lingkungan kami, dengan nada mengeluh, dan mengatakan sinetron dengan kata pilem tadi.

“Di kelas anak-anak lebih hafal lagunya sinetron Anak Jalanan daripada lagu-lagu yang kami ajarkan,” ungkap Ibu Nurhayati guru PAUD yang saban pagi sering berpapasan di gang dekat rumah saya. “Apalagi dengan hafalan do’a-do’a pendek, mereka malas-malasan untuk mengikutinya.”

"Si Alif merengek terus ketika tahu ibunya Si Iko membelikan dvd sinetron itu. Apa boleh buat saya pun terpaksa membelikannya. Hampir saban waktu diputarnya dvd itu seperti tak bosan-bosannya,” kata ibunya Alif, bocah yang hafal lagu soundtrack sinetron tersebut suatu ketika di warung langganan kami saat kebetulan sedang membeli kebutuhan kami masing-masing. 

“Tapi ibunya juga ‘kan nggak pernah melewatkan nonton sinetron itu ?” goda saya. Dan ibunya Alif tampak merona wajahnya seraya tersenyum kecut. 

Entah apa yang menjadi daya tarik sinetron itu. Saya sendiri belum pernah sekalipun melihatnya. Sampai hari ini saya masih mencoba bertahan dengan nasihat Stephen King soalnya.  Ya, penulis terkenal dari Amerika Serikat dengan karyanya seperti  The Shinning, Children of The Corn, Carrie, dan banyak lagi yang beberapa di antaranya diadaptasi menjadi film box office, mengatakan:  Jika Anda ingin mulai menulis, maka televisi adalah benda yang harus Anda jauhi. "Benda itu (televisi) bisa meracuni kreativitas Anda," ujar King. Maka, sebagai penulis haruslah fokus pada apa yang akan ia tulis dan hidup di dalam alam imajinasi sepenuhnya. Untuk memperoleh imajinasi tersebut, penulis harus banyak membaca.

"Jika Anda ingin menjadi seorang penulis, ada dua hal utama yang harus Anda lakukan: banyak membaca dan banyak menulis," tambahnya. 

Hanya saja yang jelas, fenomena yang terjadi di kampung kami belakangan ini, dengan munculnya tayangan sinetron Anak Jalanan itu, ana-anak muda banyak yang memodifikasi sepeda motornya, seperti sepeda motor Si Boy – pemeran utama sinetron Anak Jalanan, aku mereka. Bocah kecil maupun remaja  ABG apabila saya di dekat mereka seringkali menyenandungkan lagu soundtrack-nya. Demikian juga bila kebetulan menemukan ibu-ibu sedang ngerumpi di depan rumah, sinetron itu pun seringkali jadi bahan pembicaraannya.

Lalu adakah nilai positif yang diserap dari sinetron itu bagi warga, misalnya menjadi produktif , atawa anak-anak sekolah menjadi rajin belajarnya ? 

Sepertinya tidak ada sama sekali. Yang terlihat malah justru sebaliknya. Warga semakin konsumtif saja tampaknya. Aksesori yang berhubungan dengan sinetron merupakan salah satu buktinya. Dan itu harus dibeli untuk memilikinya. Masih mending jika keluarga itu memiliki penghasilan lebih. Sedangkan kebanyakan warga di kampung kami kehidupannya rata-rata hanyalah buruh tani. Sementara anak-anak cenderung menjadi malas untuk belajar ngaji, karena waktu ngaji bertabrakan dengan jam tayang sinetron itu.

Ah, tapi sudahlah. Saya tak berhak men-justice-nya. Masalah yang ada kaitan dengan televisi ‘kan sudah ada KPI... ***

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arsudradjat/ketika-wabah-anak-jalanan-melanda-pedesaan_568d099af17e61ec088b456c
Share: