Berbagi Sebening Hati

Showing posts with label Fiksi. Show all posts
Showing posts with label Fiksi. Show all posts

Monday, 30 May 2016

Karena Tak Ada Lagi Cinta di Hatinya



"Jangan katakan lagi I love you,  dan segala tetek-bengeknya. Mendingan kita nikmati malam indah ini dengan bersenang-senang,” kata perempuan muda itu sambil mengedikkan bahunya, kemudian menjentikkan abu rokok di tangannya pada asbak di atas meja.

“Tapi sungguh, Vey, aku terlanjur menyayangimu…” kata lelaki setengah tua itu dengan suara yang sedikit parau.

“Kalau memang abang sayang sama Vey, ya terima kasih. Berarti abang mau menuruti segala permintaanku,” kata perempuan itu sambil mengerling manja.

Kemudian tangan kirinya meraih gelas yang isinya tinggal setengahnya. Wine berwarna merah dalam gelas itu perlahan diminumnya hingga tandas. Sambil kembali meletakkan gelas yang telah kosong, bibir yang bergincu merah itu dijilati dengan lidahnya.  Sementara lelaki setengah baya itu meraih botol wine, kemudian menuangkan isinya ke dalam gelas milik Vey.

“Ya dengan atas nama cinta dan sayangku padamu, aku akan menuruti segala keinginanmu…”

Belum tuntas lelaki itu bicara, telunjuk tangan Vey ditempelkan di bibirnya.

 “Sssttt… Lagi-lagi cinta. Sudahlah jangan katakan lagi cinta. Aku sudah muak mendengarnya. Malam ini berapa abang sanggup membayarku untuk menemanimu ?” bisik Vey di telinga lelaki setengah tua itu.

Tanpa menunggu lagi lelaki setengah baya itu mengambil dompet dari saku belakang celananya. Kemudian dompet yang cukup tebal itu diletakkannya di atas meja,

“Ambillah seluruh isinya. Bahkan kalau perlu seluruh kartu ATMnya pun boleh kamu ambil pula,” katanya sambil menyeringai.
Sementara telunjuknya mencolek pipi Vey yang memerah oleh pulasan bedak, dan efek dari wine yang telah dua gelas dihabiskannya.

“Serius nih ? Tapi nggaklah… Berilah aku seperti biasanya saja,” kata Vey sambil bangkit dari kursi. Lalu beranjak menghampiri lelaki setengah tua itu. Dengan manjanya Vey duduk dipangkuan lelaki setengah tua itu.

***
Alunan musik dangdut memenuhi ruangan itu. Di kursi tampak Vey duduk seorang diri sambil mematut-matut riasan wajahnya pada cermin kecil yang dipegang sebelah tangannya lagi. Dan sebentar-sebentar matanya berpaling ke arah pintu yang tertutup.

Tiba-tiba handphone di tasnya berdering. Vey meletakkan cermin di atas meja. Lalu meraih handphonenya dari dalam tas yang tergeletak di sampingnya.

Sebuah SMS diterimanya. “Sayang, aku lagi di jalan…” Begitu pesan yang dibacanya. Lalu Vey mengetik balasan pada nomor itu, “ Yupz, aku sudah menunggu.”

Hari ini Vey ada janji. Dengan pria langganan lamanya, yang biasa merangkap tukang ojek. Vey minta diantar untuk pergi ke orang pintar yang biasa dipanggilnya “Eyang”.
 
Vey ingin Eyang menambah aura kecantikannya agar lelaki setengah tua yang sudah beberapa kali menemuinya itu semakin menyayanginya. Sehingga dengan demikian dirinya akan semakin mudah untuk mendapatkan lembaran uang dari lelaki setengah tua itu. Dan yang paling penting, Vey tidak perlu repot-repot lagi melayani lelaki tua itu di atas ranjang. Kalau memang lelaki setengah tua itu betul-betul mencintai dirinya, tokh dirinya bisa berkelit dengan segala macam alasan.

“Kalau memang abang mencintaiku, nanti pun buat siapa lagi diriku ini kalau bukan untuk abang seorang,” Vey mereka-reka.

***
Semakin hari hubungan Vey dengan lelaki setengah tua pemilik bengkel sepeda motor itu semakin dekat saja. Dan memang lelaki setengah tua yang sudah memiliki isteri dua orang itu merasakan semakin mencintai Vey. Sehingga segala permintaan Vey selalu dipenuhinya. Mulai dari kebutuhan sebagaimana biasanya perempuan untuk mempercantik penampilannya, untuk kebutuhan sehari-hari Vey bersama tiga orang anaknya, bahkan sebuah sepeda motor matik pun yang diminta Vey dibelikannya. Dengan begitu mudahnya. Hanya dengan mengatakan, “Masa setiap kali untuk menemui abang, Vey harus minta diantar tukang ojek. Bagaimana kalau nanti tukang ojek itu bikin gossip, bisa-bisa hubungan kita ini didengar isteri abang,” katanya di suatu ketika.
Setelah memiliki sepeda motor, Vey semakin leluasa pergi kemana ia suka. Terutama untuk mencari pria lain yang tebal dompetnya, tentu saja.

***
“Jangan katakana cinta, aku sudah muak mendengarnya. Lebih baik kita nikmati saja malam ini sesuka kita berdua, “ bisik Vey kepada seorang lelaki yang kesekian orang yang menjadi mangsanya.

 “Berilah aku uang, aku akan berikan kehangatan buat abang seorang.” ***


Share:

Sunday, 1 May 2016

Sepasang Suami-Istri Pada Suatu Ketika


Menjelang senja yang basah usai hujan sepanjang sore tadi, sepasang suami istri sedang menikmati teh hangat sambil menanti tibanya malam hari,  di teras belakang rumah mereka.

 “Sepertinya kamu tidak pernah merindukan cucu kita yang di Jakarta, ya ?!” kata istrinya seraya membetulkan letak kacamatanya. 

“Ah, siapa bilang ? Justru saking rindunya aku tidak lagi bisa menulis seperti biasanya.” 

“Lalu apa saja yang dikerjakan saban malam di kamar kerja ?” 

“Paling hanya membaca. Dan kalau tidak, mengikuti berita dari media online. Itu saja.” 

“Hmmm... Pantesan dua minggu ini kamu tidak pernah lagi ke bank.” 

Lewat ekor matanya, istrinya melihat suaminya mengeluarkan bungkusan rokok kretek dari saku jaketnya.

 “Pantesan batuk-batuk terus. Rupanya kamu belum juga berhenti...” 

Seperti maling yang tertangkap basah, suaminya buru-buru memasukan lagi bungkusan rokok kreteknya. Tapi terlambat. Istrinya berdiri, lalu mendekatinya seraya tangannya merogoh saku jaket suaminya. Bungkusan rokok itu kemudian dilemparkannya ke halaman yang masih tergenang air hujan.

 *** 

Usai shalat Maghrib, istrinya duduk di depan televisi. Sementara tangannya masih tetap memegang tasbih. 

Tak lama kemudian, ia memanggil suaminya dengan suara yang menengahi suara penyiar di televisi.

 “Pak, coba ke sini. Ada berita dari Poso. Pasukan Brimob katanya akan melakukan operasi lagi untuk mengepung Santoso. Siapa tahu si sulung disorot kamera...” 

Dari dalam kamar suaminya tergesa keluar. Lalu duduk di samping istrinya. Hanya saja dia lupa dengan rokok yang dijepit jari tangan kirinya. 

“Nah, sudah diingatkan masih bandel juga rupanya...” jerit istrinya sambil menatap tajam. Suaminya tersenyum kikuk. Lalu beranjak menuju pintu depan. Rokok kretek yang masih panjang itu dibuangnya ke luar.

“Masih jorok lagi. Buang rokok sembarangan. Seperti suka menyapu saja,” omel istrinya lagi. 

“Sudah. Jangan duduk di dekatku. Malam ini pun jangan tidur di kamarku. Bau rokok!” Keduanya duduk berjauhan. Sedangkan di layar televisi penyiar telah menyampaikan berita lain lagi. 

Tak ada lagi pembicaraan di atara mereka. Keduanya seakan asyik dengan menyaksikan tayangan acara di layar kaca. 

Sebuah sinetron yang seakan gambaran perjalanan hidup rumah tangga mereka. Sepasang suami-istri yang kesepian menjelang hari tuanya. Anak-anaknya sudah pergi meninggalkan keduanya untuk mengikuti gurat nasibnya masing-masing. 

Sebagaimana tugas orang tua, setelah dilahirkan dari rahim ibunya, keduanya membimbing dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih-sayang. Dan setelah anaknya dewasa, suami-istri itu pun kembali hidup hanya berdua saja. 

Saat melirik, tampak istrinya komat-kamit. Lalu perlahan dia beranjak menuju kamar kerjanya. Meninggalkan istrinya yang tampaknya masih terpukau dengan lakon itu.

 *** 

Lelaki tua itu duduk di kursi goyang. Sebuah novel lama karya Ernest Hemingway, The Old Man and The Sea sedang dibacanya. Padahal sudah berulang kali dalam hidupnya lelaki itu membaca karya pengarang Amerika Serikat yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri itu. 

Mata lelaki itu memang sedang mengeja kata demi kata yang tertera dalam buku cerita itu. Akan tetapi pikirannya melayang-layang jauh sekali. Seperti mengikuti Pak tua yang berlayar untuk memancing di samudera luas. 

Ia teringat kepada anaknya yang sulung, dan sudah beberapa tahun ini tidak pernah bertemu lagi. Kecuali bicara lewat sambungan telpon genggam dengan fitur video call. Pernikahannya dengan gadis di tempat tugasnya, sampai sekarang sesudah memiliki  anak, tidak sekalipun melihatnya secara langsung. Jarak yang memisahkan orang tua dan anaknya itu mesti ditempuh dengan melewati laut dan udara yang lumayan jauh. Selain biaya perjalanan yang lumayan mahal, juga kesibukan mengurus kebutuhan hidup sehari-hari menjadi kendala yang sulit untuk dienyahkan. 

Sedangkan anaknya yang kedua, yang biasanya mudik bersama suami dan anaknya saban ada libur panjang, sejak mengantar pulang ibunya dari ibadah umrah setahun lalu, setelah itu tak pernah mengunjunginya lagi. Mungkin karena masih tersinggung saat suaminya diomeli gara-gara bersikap tidak sopan terhadap dirinya. Bukannya sok gila hormat, tapi seorang anak sudah sepatutnya bersikap hormat pada orang tuanya. Apalagi di depan mertua sendiri, memantunya itu bersikap kasar pada istrinya, yang tak lain anaknya sendiri. Jangan-jangan di belakangnya malah diperlakukan lebih dari itu. 

Akan tetapi semua itu sudah terjadi. Anak-anak yang sudah dewasa telah memilih jalannya sendiri-sendiri. Sebagai orang tua mungkin sekarang ini paling hanya menyaksikannya saja. Sebagaimana menyaksikan sebuah lakon sinetron saja. ***

Dapat ditemukan juga di...
Share:

Tuesday, 26 April 2016

Manusia Kamar


Cerpen Seno Gumira Ajidarma
Pada umurnya yang ke-20 ini, ia mulai memasuki periode sinis kepada dunia. Aku telah mengenalnya semenjak ia mulai mengenal dirinya sendiri. Ia muak melihat kepalsuan-kepalsuan di sekelilingnya. Aku bilang padanya, dalam kehidupan itu semua biasa. Ia bisa mengerti, tapi tak bisa menerima.Lima tahun yang lalu ia masih hidup dengan penuh harapan. Tapi yang penting mungkin bukan sekadar harapan. Yang penting adalah kenyataan, dan kenyataan telah membuatnya kecewa. Ia mulai jenuh dengan basa basi. Sikapnya mulai kasar dan terang-terangan. Banyak kawan mulai sakit hati, dan akhirnya ia tersingkir.Aku hanya sekali-sekali saja berjumpa dengannya, karena kau tahu, kesibukan makin hari makin bertambah. Mungkin cuma aku yang mengerti persoalannya. Ia menghindari persahabatan, aku maklum, persahabatan terkadang bisa membunuh. Ia terasing dan kesepian. Tampaknya ia lebih suka demikian karena telah jadi pilihannya. Ia bahagia dalam ketidakbahagiaannya  atau ia tidak bahagia dalam kebahagiaannya.Iamemang suka berfilsafat. Aku sering bingung mendengar kata-katanya, tapi tetap mencoba melayaninya. Jika sudah kenal, berbicara dengan dia amat menyenangkan. Pengetahuannya luas dan apa yang dikatakannya sering tidak terbantah. Kawan-kawan yang lain agak segan terhadapnya, karena ia terlalu sering menelanjangi kebebalan mereka di muka umum. Mereka bilang ia terlalu asyik sendiri, suka berkhayal, nyentrik dan tidak bisa bergaul.
Aku sendiri menganggap ia manusia biasa, yang sedang menjalani tahap-tahap kehidupannya. Tapi tahap itu dilaluinya dengan amat serius dan penuh makna. Aku sendiri heran kenapa bisa demikian. Selama beberapa tahun terakhir, gejala itu memang mulai tampak.
“Aku bosan lihat orang-orang itu.”
“Kenapa?”
“Munafik, penjilat, tukang onani jiwa.”
“Wah, jangan begitu dong. Itu manusiawi kan?”
“Memang, tapi sebal melihatnya. Jenuh.” Ia sangat serius, sementara banyak orang di sekelilingnya makin hari makin mencari kemudahan dan kesantaian. Ia tak mendapat tanggapan, dan marah.
Untung ia bisa menyalurkannya dalam latihan teater atau menulis puisi, namun ini tidak berlangsung lama. Rupanya dunia kesenian pun tak memuaskan. Ia ketemu lagi dengan pemimpi, pembual dan juga penjilat. Semenjak ia keluar dari perguruan tinggi dan rombongan sandiwara itu dua tahun yang lalu, aku tak pernah lagi melihatnya.
Aku teringat ketika untuk terakhir kalinya berpapasan dengan dia di jalan.
“He kampret, dari mana saja kamu?”
“Bertapa,” katanya dengan lesu.
Dalam remang senja itu, perlahan-lahan kemudian menjadi jelas, bajunya begitu kumal meskipun termasuk mahal. Juga celananya. Sepatunya sih normal, tapi heh rambutnya itu, wah seperti sapujagat: kusut dan kaku, dan entah berapa bulan tidak disisir. Dulu, meskipun ia termasuk seniman yang urakan, pakaiannya termasuk rapi dan mengikuti mode.
Pasti perubahan-perubahan semacam ini disebabkan oleh suatu hal yang sangat mempengaruhi dirinya. “Bertapa? Bertapa di mana? Gua Langse?”
“Bertapa kok di mana! Zaman sekarang orang bertapa di kamarnya
sendiri! Tahu nggak lu?” Busyet! Ketus amat.
Aku kurang bisa mengerti. Kebudayaan macam mana yang menghasilkan manusia ini. Dan apakah yang dikerjakannya selama ini? “Baca buku! Hanya baca buku! Tidak makan dan tidak minum!” Wah, wah, wah, ia memang sudah berubah rupanya. Semua kitab suci dilalapnya, mulai Zabur, Taurat, Injil, Qur’an sampai Goethe, Tao, Khonghucu, Wedhatama, Wulangreh, Upanishad, Bhagawadgita, Sartre, Heidegger, Karl Marx dan Ranggawarsita. Kini di tangannya kulihat pula bukunya Erick Fromm, Schumacher dan sebuah buku tentang Zen.
Rupanya ia barusan dari toko buku.
“Masih jenuh melihat manusia?”
“O tentu, tentu. Di toko buku tadi banyak orang sok pintar. Ada orang memborong ensiklopedi. Melihat tampangnya sih, cuma buat pajangan ruang tamu. Sialan! Dasar gombal semua orang-orang model begini!”
Aku mengajaknya nonton film. Ia bertanya dulu film apa. Ia benci film action. Maunya nonton film-film Ingmar Bergman, Werner Herzog atau Wim Wenders. Tapi tentu saja tidak ada. Aku bilang ini film Indonesia pemenang Citra, namun dengan hormat ia menolak, ada hal yang lebih
penting, katanya. Iseng-iseng kuajak ia ke tempat pelacuran. Lho, ia mau.
“Ini baru namanya hidup,” katanya setelah keluar dari kamar.
Ditenggaknya segelas bir. Dan sepanjang malam itu, di tengah alunan panas musik dangdut, aku mendengar kuliah-kuliahnya tentang individualisme, eksistensialisme, kapitalisme, ekosistem, religiusitas, dan kritik budaya. Sudah melayang aku dengan berbotol-botol bir, ditambah pula dengan pikiran-pikirannya yang tinggi di awan itu, aku tiba-tiba saja tergeletak di meja, tertidur pulas.
Esoknya ia sudah tidak ada. Dan tujuh hari pun menjadi seminggu. Empat minggu menjadi sebulan. Dua belas bulan menjadi setahun. Waktu begitu saja lewat tanpa terasa. Banyak orang merasa telah menjadi tua, sementara orang-orang lain malah merasa makin muda. Kehidupan masih berjalan seperti biasa. Ada orang jujur yang tak pernah mujur, dan orang yang berjiwa bunglon masih selamat. Dunia belum betul-betul kiamat. Sungai masih mengalir, dari gunung ke desa, ke kota, ke muara, ke laut, bersama sejumlah besar sampah.
Di jendelaku masih ada burung yang bulunya kuning, yang tiap pagi masih berkicau. Mungkin tiba saatnya nanti burung tidak bisa berkicau, kehilangan bahasa. Angin masih silir. Senja masih jingga.
Fajar masih ungu. Telepon itu berdering.
“Halo? Ya? He! Telepon dari mana kamu?”
“Dari rumah.” “Di mana? Aku pengin ketemu kamu.”
“Sorry saja bung! Rahasia! Sekarang tidak ada sistem ketemu. Kalau ada perlu, telepon saja, ini nomorku, 717375.”
“Tapi ini penting.”
“Takut disadap?”
“Soalnya ini masalah pribadi.”
“Apalagi itu, sorry.”
Kami bercakap sebagaimana layaknya dua kawan yang lama tidak berjumpa. Ia bertanya tentang segala macam hal dengan suatu urutan pertanyaan yang sistematis, sehingga kalau jawaban itu dikumpulkan, mungkin bisa merupakan laporan riset. Ha! Ini perkembangan baru. Ia haus informasi, tapi begitu pelit akan informasi dirinya sendiri. Ketika hubungan itu selesai, kembali lagi ia menjadi misteri bagiku. Apalagi bagi kawan-kawan yang lain.
Dengan bodoh aku masih bertanya sama mereka di mana alamatnya. Tentu saja tidak tahu. Kutanyakan pada orang tuanya, ini pun nihil. Ternyata selama ini mereka pun hanya berhubungan lewat telepon.
Telepon? Heh, tolol sekali aku. Kutelepon dia. “Halo?” Telepon segera diangkat.
“Di mana sih rumah kamu?”
“Lu ngga perlu tau gue punye rume. Kalok perlu telepon aje bung!”
“Gue ade perlu ni ame lu!” Eh, kenapa aku jadi ikut-ikutan bergaya Betawi?
“Sampaikan saja lewat telepon!”
Ia tampak terganggu.
“Pertemuannya yang penting!”
“Maaf, aku tidak terima tamu.”
Klak.
Nging.
Tut tut tut.
Bangkek orang ini. Sombong sekali dia.
Tapi aku jadi penasaran. Seperti detektif film seri televisi, kucoba menyelusuri jejaknya. Namun ia sungguh pintar. Berbagai tabir tidak bisa disingkapkan dengan segera. Banyak juga waktu terbuang untuk mencari batang hidungnya. Mula-mula kuhubungi kantor telepon. Nomor teleponnya memang ada alamatnya, kudatangi rumah itu, ternyata sebuah rumah kecil yang kosong. Pintunya terkunci dari luar, kudobrak. Dan tetap kosong. Apa artinya ini? Kutunjukkan pada kantor telepon, mereka bilang memang itu alamatnya, dan tiap bulan menerima uang ongkos telepon. Tapi siapa yang masang? Segera petugas dicari, tapi ke mana petugas itu? Ia sudah dipindahkan ke luar kota.
Aku benar-benar penasaran. Segala alamat rumah di kantor kotamadya kucek dan cek kembali, kalau-kalau ada namanya. Tapi sungguh rumit.
Biasa, administrasi yang kacau. Jadi? Nihil. Lantas bagaimana? Ha!
Malam hari! Ia suka keluar malam, aku harus begadang sepanjang malam menelusuri kota ini.Maka ketika malam dengan jubahnya yang hitam telah tengkurap menelungkupi kota.
Ketika dingin mulai menyerbu jalanan yang mulai basah oleh gerimis, dengan krah jas hujan yang tegak menutupi telinga, dengan topi model bandit Itali, lengkaplah aku sebagai intel Melayu yangamatiran.Tapi jadinya aku lebih mengenal kehidupan. Aku tahu apa yang terjadi di hotel-hotel, aku tahu dari desa mana pelacur jalanan itu berasal, aku bisa mengendus mobil pejabat siapa yang diparkir di motel itu. Kutelusuri segala tempat hiburan malam, perpustakaan, restoran, kompleks gelandangan, warung-warung kopi, tempat banci-banci mangkal, tempat homo-homo berkencan, mesjid, gereja, vihara, klenteng …
Bermalam-malam sudah dan hasilnya nol besar.
Tak terasa sebetulnya aku mendapatkan sesuatu yang lain, sesuatu yang berharga. Malam memang menyingkapkan kepalsuan. Di balik kekelaman itu topeng-topeng dibuka dan bentuk asli yang serba gombal itu pun bisa kutangkap, kekelaman seperti memberikan perasaan aman dan
terlindung. Bisa kudengar bisik-bisik sekongkol politik, kasak-kusuk para penyebar gosip. Bisa kulihat para penipu diri beraksi. Antara strip-tease dan lonceng gereja, antara penggarongan dan azan subuh, antara perzinahan terbuka dan perzinahan tertutup.Agaksulit mencari orang normal. sebagian terlalu fanatik, sebagian lain dekaden. Aku jadi maklum kenapa kawanku jadi jenuh. Ia tidak menerima mereka sebagaimana adanya. Ia mencari yang baik-baik saja, dan itu memang
sulit, dan bisa jadi malahan tidak ada. Sedangkan kalau ada, mungkin juga tidak menarik dan tidak menyenangkan. Kata orang, dunia memang mengecewakan. Dunia menjadi buruk karena ulah manusia. Dia memang makin lama makin pesimistis. Aku melihat ia agak kacau. Dan aku jadi
makin penasaran saja. Ke mana dia, kenapa tidak ada seorang pun yang tahu? Kenapa pula ia harus menghilang?

Jakarta, 1980
Share:

Monday, 25 April 2016

Perihal Orang Miskin yang Bahagia

Cerpen Agus Noor

1.
“AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. “Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena di-laminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dom­petnya yang lecek dan kosong.
“Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”
2.
Diam-diam aku suka mengintip rumah orang mis­kin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang me­nahan lapar. “Kelak, mereka pasti akan men­jadi orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya.
Suatu sore, aku melihat orang miskin itu me­nik­mati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan ki­sah paling lucu dalam hidup kita….”
“Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan me­reka.
3.
Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. “Barangkali aku memang run-temurun dikutuk jadi orang miskin,”ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.
Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. “Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu. “Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”
Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.
4.
Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik pada­ku. “Kadang bosan juga aku jadi orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. “Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”
“Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”
Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, “Aku kenal orang miskin yang jadi pelawak. Ber­tahun-tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”
5.
Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kos­tumnya rombeng, dan menyedihkan. Setiap meng­hibur di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya selalu menangis ketakutan.
“Barangkali kemiskinan memang bukan hi­buran yang menyenangkan buat anak-anak,” ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.
Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan la­par, orang miskin itu suka mengibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.
6.
Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Se­tiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar me­lupakan penderitaan. Atau, seringkali, orang mis­kin itu mengajak lapar bermain teka-teki, untu­k menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar da­tang ber­tandang.
“Hiburan apa yang paling menyenangkan ke­tika lapar?” Dan orang miskin itu akan menja­wabnya sendiri, “Musik keroncongan.”
Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.
7.
Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. “Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”
“Wah, hebat banget!” ujarku. “Semua kuliah, ya?”
“Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”
8.
Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang ma­sih kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang. Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan me­reka secara adil dan beradab berdasarkan Pan­casila dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda. “Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!”
Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.
9.
Pernah suatu malam kami nongkrong di wa­rung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka me­manjakan diri menikmati kopi. “Orang miskin per­lu juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, be­ginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya ba­nyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sam­bil menepuk-nepuk pundakku. “Kalau kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan pen­de­ritaan, yang bisa digunakan untuk membia­yaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pe­lan ia menyeruput kopinya penuh kenikmatan.
Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.
10.
Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.
Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, ber­jalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.
Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihat­nya tengah berusaha menyembunyikan isak ta­ngisnya.
11.
Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan. “Jangan sa­lah paham,” katanya. “Aku sedih bukan ka­rena aku miskin. Aku sedih karena banyak se­kali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.”
Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa ki­kuk dengan penampilanku yang perlente. Se­jak itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.
12.
Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan dibagikan.
13.
Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:
Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya, “Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, “Aku malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi.”
Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. “Kisah itu selalu membuatku punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita.
14.
Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai. Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan memar. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” katanya. “Di­tu­duh mencuri, dipukuli, dan dikasih duit!”
Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau ia pelakunya. De­ngan harapan ia kembali dipukuli.
15.
Banyak orang berkerumun sore itu. “Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira orang miskin itu te­was dipukuli. Ternyata bukan. “Itu perempuan yang kemarin baru melahirkan. Anaknya sudah selusin, suaminya minggat, dan ia merasa repot kalau mesti menghidupi satu jabang bayi lagi. Ma­kanya ia memilih membakar diri.”
Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.
16.
Sepertinya ini memang lagi musim orang mis­kin bunuh diri. Dua hari lalu, ada seorang ibu sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil menggendong dua anaknya. Ada lagi sekeluarga orang miskin yang kompak menenggak racun. Ada juga suami istri gantung diri karena bosan dililit hutang.
“Tak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. “Hanya orang miskin ga­dungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.”
17.
Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman sa­ja yang tak mau berponsel. Tapi aku tetap sa­ja kaget ketika orang miskin itu muncul di ru­mahku sambil menenteng telepon genggam.
“Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, “Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo….”
Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.
18.
Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu na­ma itu bertengger dengan gagah namanya, tem­pat tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.
19.
Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang mis­kin. Ia suka keliling kampung, menenteng pon­sel, sambil bersiul entah lagu apa. “Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot me­ngemis dengan tampang dimelas-melaskan,” ka­tanya. “Buat apa? Toh sekarang kami sudah nya­man jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.”
Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sam­bal terasi dan nasi—yang tambah sampai tiga kali—disantapnya dengan lahap. Sementa­ra aku hanya memandanginya.
“Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. “Karena aku telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang membayar semuanya.”
Sambil bersiul ia segera pergi.
20.
Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” batinnya, “dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.
Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sumbuh,” kata pe­rawat, lalu memberinya obat murahan.
Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.”
Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.
21.
Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.
Tak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.
22.
Suatu sore yang cerah, aku melihat orang mis­kin itu mengajak anak istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sa­kinah, batinku. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.
“Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bi­sik orang miskin itu pada istrinya, sambil me­nunjuk orang-orang yang sedang antre memba­yar dengan kartu kredit. Di kasir, orang mis­kin itu pun segera mengeluarkan Kartu Tan­da Miskin miliknya, “Ini kartu kredit saya.”
Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.
23.
Ia tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. “Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.”
Aku diam mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.
24.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.
Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya tak cukup buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat yang sudah lama menunggu mulai menggerutu.
Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali.
25.
Sejak peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.
“Dasar orang miskin keparat,” begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, “mau mati sa­ja pakai nipu.”
“Apa dikira kita nggak tahu, itu kan akal bulus biar dapat sumbangan.”
“Dasarnya dia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu ia sering keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin masjid. Padahal hasilnya ia tilep sendiri.”
“Kalian tahu, kenapa dia tak jadi mati? Kare­na neraka pun tak sudi menerima orang miskin kayak dia!”
Orang-orang pun tertawa ngakak.
26.
Nasib buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya. (*)



Jakarta-Singapura, 2009



Share:

Monday, 18 April 2016

Mata yang Tergoda Daun Muda


Usia saya tak muda lagi. Awal tahun ini tepat kepala 5 plus 3. Sudah tua memang. Secara fisik, garis-garis yang menegaskan saya telah tua semakin jelas kelihatan. Rambut di kepala sudah hampir memutih semuanya. Kulit pun mulai tampak keriput. Dan vitalitas pun pelan-pelan mulai terasa berkurang. Bahkan sejak setahun lalu, sudah ada yang  memanggil: Kakek pada saya - yaitu cucu pertama dari anak perempuan saya.

Demikan juga secara mental-spiritual, saya tak lagi binal. Sebagaimana dulu di masa muda, saya akui banyak berbuat hal-hal maksiat. Tapi sejak menginjak usia 40,  saat anak-anak telah mengerti alif bata, saya mulai mulai merubah gaya hidup 'urakan' itu, saya mulai belajar bertobat, sekaligus menjauhi segala macam yang kelak akan membuat saya sengsara di akhirat.

Tapi sebagai manusia normal, semangat untuk hidup lebih lama di muka bumi ini masih tetap berkobar. "Aku mau hidup seribu tahun lagi"-nya Chairil Anwar masih tetap melekat kuat. Apalagi sejak sembilan bulan lalu, gairah untuk hidup kian membumbung tinggi. Ada perubahan yang sedemikian drastis dalam diri saya, memang

Hal itu membuat orang di sekitar saya keheranan.

Sungguh. Saya sendiri tidak menyangka dengan munculnya gairah yang berpendar-pendar bak bunga api itu.

Betapa tidak. Setiap saat, dalam sadar maupun tidak, saya selalu merindukan daun-daun muda! Seperti kerinduan seorang jejaka kepada gadis pujaannya. Hati saya berdebar kencang, bila daun-daun muda tampak di depan mata. Dan tanpa ada kompromi, saya langsung terus memetiknya.

Seakan tak kenal waktu lagi. Sekalipun hendak berangkat ke kantor, atau sebaliknya, begitu tampak ada daun muda, tak pernah saya biarkan dia tumbuh berkembang lagi.

Dengan nyinyir, sering istri saya menyindir, "Tuh, mata Bapakmu sekarang suka jelalatan kalau melihat daun-daun muda." Itu dikatakannya pada anak kami yang bungsu.

Begitu juga dengan tetangga, "Si akang sekarang sudah berubah, " bisik-bisiknya pada yang lain.
Malahan seorang kolega, dengan sedikit bergurau, menuduh i saya telah kemasukan arwah binatang. "Barangkali kamu telah kerasukan roh kambing bandot, ya?"
Saya tak menanggapinya, saya justru mengajaknya, untuk mengikuti 'jejak' yang sedang dijalani oleh saya.
"Daripada duduk melamun tidak karuan, mending seperti saya ini. Ada aktivitas. Paling tidak sebagai obat awet muda tokh?" kata saya dengan percaya diri yang tinggi.

Kalau sudah dijawab begitu, paling mereka bilang, "Ya nantilah..."

Saya pun semakin tidak mempedulikan mereka.

Terus terang, dalam memburu daun-daun muda  saya masih memiliki tanggung jawab moral. Setidaknya saya tidak asal petik sembarang petik. Etika tetap dikedepankan. Tokh saya masih tetap mengingat, bahwa saya masih ingin selamat di akhirat kelak. Sehingga dalam menjalankan kegiatan memburu daun-daun muda ini dapat berjalan mulus dan lancar.

Misalnya kalau daun-daun muda itu, ada di halaman rumah orang, dan tampak ranum menggairahkan, maka saya minta ijin dulu pada pemiliknya. Sementara jika daun-daun muda itu saya temui di tepi jalan, atau di tanah lapang, kenapa tidak, sudah pasti langsung disikat.

Sudah seminggu ini semangat memburu daun-daun muda terasa kian menggila.  Bahkan bagaikan sudah lupa segalanya.

Semua itu  karena piaraan saya jadi bertambah dua. Semuanya jadi empat, setelah kambing betina melahirkan dua ekor anaknya yang lucu-lucu... ***


(Selain menulis, kegiatan saya jadi bertambah. Saya memelihara kambing peranakan etawa. Selain untuk klangenan, siapa tahu ada penghasilan tambahan. Lumayan, 'kan.)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arsudradjat/mata-yang-tergoda-daun-muda_550b8ff6813311ef17b1e48b

Sumber gambar Ilustrasi
Share:

Ada Kidung Misa di Beranda Mushola


USAI bersalaman jamaah mushola berhamburan pulang. Termasuk juga ajengan Kurdi, imam sholat di mushola itu. Hanya saja yang terahir ini bukan menuju rumah, melainkan ke madrasah. Untuk mengajar ngaji anak-anak yang terdengar sudah ramai di sana. Sementara Jaka malah kembali duduk tepekur. Lelaki setengah tua itu sudah biasa menanti sholat Isa di dalam mushola. Tanggung, alasan yang dikemukakannya kepada jamaah yang mengajaknya pulang bersama. Jeda antara Magrib dan Isa terkadang diisinya dengan tadarus.

Sesaat wajahnya mendongak. Melihat jadwal waktu sholat yang terpampang di dinding. Masih ada waktu barang sekitar setengah jam lagi.   Lalu matanya berpindah ke kalender yang tergantung di sebelahnya. Tiba-tiba Jaka berdiri, lalu mendekati kalender yang bergambar hiasan kaligrafi itu.
Jaka terkesiap. Tatapannya nanar pada angka yang sesuai dengan hari  ini. Angka yang menunjukkan tanggal 24 Desember. Malam Natal pertama bagi pemeluknya. Matanya mengerjap, dan nafasnya terasa berat. Kemudian Jaka berbalik, dan dengan gontai menuju beranda mushola.

Udara malam yang dingin menyergapnya. Sambil bersandar di dinding tembok, mata Jaka jauh menerawang. Waktu berputar seketika menuju saat tiga puluh satu tahun yang lalu.  Jaka sedang terapung-apung di sudut jalan kota Dili, ibu kota negara Timor Leste.

Usai menunaikan sholat Maghrib di hotel Turismo tempat selama ia tinggal di kota yang saat itu merupakan ibu kota propinsi Timor Timur, Jaka akan menemui Grace, atau Graciela Carvalho nama lengkapnya, yang menunggunya di taman dekat patung Fatima. Gadis peranakan Timor dan Portugis itu sejak Jaka pertama kali menginjakkan kakinya di bandara Komoro selalu dengan setia menemaninya. Grace mendapat perintah dari Kepala Dinas Pariwisata, atasannya, menjadi penunjuk Jaka dalam melaksanakan tugasnya meliput objek-objek wisata.

Satu minggu bersama dengan gadis itu, membuat hati pemuda berusia dua puluh tahun ini jatuh cinta. Dan rupanya Grace pun demikian. Hati keduanya berpadu dalam asmara yang menggelora. Tak ubahnya gelora samudra Hindia  yang tak henti-hentinya menerjang karang di bibir pantai sebelah tenggara.

Dalam temaram lampu taman, Jaka melihat Grace berpenampilan lain. Biasanya gadis itu berpakaian jean dan kasual,  malam itu Grace demikian tampak anggun dengan gaun panjang  yang menebarkan wangi farfum yang mengundang. Mata Jaka seakan tak berkedip menatapnya.

Grace melambaikan tangan dengan senyum terkembang. Jaka tersadar. Bergegas ia mendekatinya.

“Jaka, malam ini adalah malam yang istimewa bagiku...” kata Grace dengan sumringah.

 “O ya? “ Jaka sedikit heran. Belum faham dengan yang dikatakan kekasihnya itu.

 “Malam ini kami akan menyambut perayaan Natal...” Grace menjelaskan.” Maukah kamu ikut serta merayakannya ?”

Hati Jaka tercekat seketika. Ingatannya melayang ke kampungnya. Ketika masih di SMP Jaka pun masih mengaji kitab kuning setiap usai sholat magrib. Guru ngajinya, ajengan Abdul Halim pernah mengatakan, bahwa haram hukumnya umat Islam ikut merayakan hari besar agama lain. Sementara sekarang, gadis yang dicintainya mengajaknya untuk merayakan Natal. Jaka pun menjadi bimbang.

“Lho koq malah diam, kenapa, Ka?” tanya Grace memecah keheningan dengan nada merajuk.

“Ah... Eh... Ohhh... Tidak. Tidak apa-apa. Hanya saja aku lupa, bahwa malam ini adalah malam yang istimewa bagimu. Maapkan aku, ya? Dan kalau demikian, ijinkan aku mengucapkan selamat Natal,” kata Jaka seraya menggamit jemari tangan Grace yang lentik.

“Terima kasih,” kata Grace dengan senyum sumringah. “Lalu bagaimana dengan ajakanku yang tadi?”

 “Tentu dong. Aku mau menemanimu. Demi cintaku, kemana pun aku turuti,” sahut Jaka sedikit bercanda.

Di gereja St. Imaculada Conceicao dua remaja itu duduk berdampingan. Grace begitu khusuknya berdoa. Sementara Jaka menyebut ajengan Abdul Halim dalam hatinya. “Maafkan, ajengan. Aku sekali ini tidak menuruti kata-katamu. Karena meskipun kami berdua berbeda keyakinan, tapi kami sama-sama memiliki cinta...” bisiknya diahiri dengan mengucap dua kalimat Syahadat.

Dua hari usai merayakan Natal, Jaka harus kembali ke Jakarta. Dengan hati yang berat Grace melepas kepergian Jaka di bandara Komoro. Setibanya di Jakarta Jaka berjanji akan berkirim surat, dan segera akan menghubunginya via telpon. Dan sejak itu pula hubungan Jaka dengan Grace hanyalah sebatas surat dan telpon belaka. Lain tidak. Kemesraan cinta mereka hanya terungkap lewat kata-kata dan goresan pena saja.  Jaka sibuk meliput berita sambil melanjutkan kuliahnya.

Satu tahun berselang, Grace dalam suratnya mengabarkan bahwa dirinya sedang mencari kepastian. Dan tanpa tedeng aling-aling Grace meminta ijin kepada Jaka untuk menyerahkan hidup dan cintanya kepada Tuhan. Grace bertekad untuk mengabdi menjadi seorang biarawati.

Jaka terhenyak. Dirinya merasa tidak berdaya. Bak seonggok daging tanpa nyawa. Apa boleh buat. Ungkapan kawih yang dilantunkan Ebiet G Ade seolah mengingatkannya... Sebab cinta bukan mesti bersatu... biar kucumbui bayangmu dan kusandarkan harapanku...


Lamat-lamat telinga Jaka mendengar suara adzan Isya dari kejauhan. Tapi dari telinga yang satunya lagi menyelinap suara kidung misa dari gereja yang entah di mana....  

Lalu Jaka pun mengucap Istighfar seraya menabuh beduk tanda waktu sholat isa telah tiba.***

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arsudradjat/ada-kidung-misa-di-beranda-mushola_551b2277a33311ee21b65c8f
Share:

Sunday, 17 April 2016

Solilokui Seorang Lelaki Tua

Lelaki itu merasa seakan-akan terperangkap di dalam ruang isolasi  yang sangat gelap dan pengap. Masa lalu yang kelabu, saat ini yang seolah tak memiliki arti, seolah mengepung dari berbagai penjuru. Apalagi bila mencoba menerawang ke masa yang akan datang, dirinya sama sekali tak punya kejelasan.

Padahal usianya tak muda lagi. Bila diibaratkan sebuah pohon, dari akar sampai ranting dan dahannya sudah melapuk dan meranggas gersang. Bisa jadi sudah tak berguna lagi. Paling-paling dijadikan sebagai kayu bakar.

Masih jelas membayang masa-masa mudanya yang sudah lama dilewatinya. Lelaki itu terlalu banyak merambah perjalanan ke segala arah, dan selalu merancang banyak rencana yang tak satupun menjadi nyata.

Lalu di saat ini ketika usianya tak muda lagi, ia masih juga asyik mengurai mimpi. Tak kenal waktu, siang dan malam lelaki itu menjalin impian yang satu dengan yang lainnya sepanjang hari. Padahal apalah namanya mimpi jika dalam kenyataannya sungguh berbeda sama sekali.

Bila suatu ketika lelaki itu tersadar, dirinya merasa berada di dalam ruang yang begitu asing memang. Sementara orang-orang lain yang seusianya, bahkan yang layak jadi anak-cucunya, mereka sudah jauh, jauh sekali berada di ujung jalan yang semestinya ia pun menjalaninya.

Apa boleh buat. Bisa jadi lelaki itu sudah jauh tertinggal oleh mereka. Dan dirinya seakan tak berdaya menyusuri jalan yang dilewati orang-orang itu. Apalagi untuk menyusul mereka, dirinya seakan-akan sudah tak berdaya lagi. Mimpi-mimpi masa lalu dan mimpi masa kini masih juga membebaninya...***

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/arsudradjat/fr-solilokui-seorang-lelaki-tua_55a3c32187afbd180a2c8599
Share:

Monday, 11 April 2016

Sebuah Konspirasi




Pak Kadar sadar, sikap berseberangan dengan warga yang selama ini dilakukannya, tampaknya malah akan menjadi bumerang. Bisa-bisa warga yang selama ini masih setia ada di belakangnya, satu per satu akan meninggalkannya. Kemudian berpindah tempat, berada tepat di belakang Pak RT yang sejak Pilkarut (Pemilihan Ketua Rukun Tetangga) adalah musuh besarnya.
Warga tak cukup diberi sebungkus rokok kretek, dan segelas kopi saja ternyata - untuk menjadi pendukung setianya, tentu saja. Kecuali si Bohim yang memang sejak lama merupakan pembantunya. Sejak Pak Kadar masih anak-anak, Si Bohim sudah serumah dengannya. Karena kedua orang tua Si bohim adalah pembantu di rumah orang tua Pak Kadar. Keduanya sepantaran usianya. Jadi sejak kecil keduanya selalu bersama-sama. Si Bohim selalu berada di dekat Kadar kecil. Melayani segala kebutuhannya. Demikian juga saat keduanya meningkat remaja. Si Bohim semakin lengket saja di dekat Pak Kadar. Kalau ada pemuda yang mengganggu majikannya, maka Si Bohim akan tampil ke depan untuk mempertaruhkan nyawa, demi membela anak majikannya itu. begitu pula ketika Kadar remaja naksir seorang gadis, maka Si Bohim memiliki peran ganda, selain sebagai pengawal, dia pun akan menjadi tukang pos, pengantar surat cinta. Ketika Kadar berumah tangga, Si Bohim pun diboyongnya, sebagai pembantu setia keluarga muda itu. sehingga tak disangsikan lagi kesetian Si bohim terhadap dirinya. Mustahil pembantunya itu akan ikut-ikutan membelot ke Pak RT seperti warga yang lain.
Memang benar. Warga tidak cukup disuguhi rokok dan kopi saja. Bahkan amplop berisi uang sebesar sepuluh ribu rupiah pun belum cukup mengikat hatinya untuk bersikap setia. Apalagi ditambah dengan tak diterimanya saran dan masukan mereka oleh dirinya, maka tak pelak lagi esok harinya mereka pun akan angkat kaki, dantak pernah menginjak rumahnya lagi. Dan yang paling menyakitkan ya itu tadi, mereka berbondong-bondong membelot ke Pak RT yang telah mengalahkannya saat pemilihan ketua RT (Pilkarut) dua tahun lalu.
“Aku selama ini egois memang. Keras kepala. Tak pernah mendengar saran dan pendapat orang-orang di sekelilingku,” gumam Pak Kadar sembari menatap sawahnya yang sedang ditanami padi.
“Semua orang pergi meninggalkanku. Sehingga kesempatan untuk maju lagi Dalam Pilkarut tiga tahun mendatang, harapan untuk menang akan semakin hilang saja...”
Di kejauhan dilihatnya bayangan Si Bohim memanggul cangkul menuju ke arahnya.
“Dari mana saja, Him, dari tadi baru kelihatan ?”
“Anu Den, saya sejak pagi membetulkan saluran air di hulunya yang tertimbun longsoran tebing, “ sahut Si Bohim sambil mengusap-usap mulutnya.
“Ya, pantesan airnya kecil. Kalau begitu ayo kita istirahat di saung sambil ngopi.”
Majikan dan pembantunya itu jalan beriringan di pematang menuju saung (dangau) di tengah areal sawah.
***
Sambil menikmati kopi panas, Pak Kadar membuka pembicaraan. Jelasnya mengeluarkan segala uneg-uneg yang menggelayut dalam dadanya.
“Coba bagaimana pendapatmu, Him tentang masalah ini ?”
Mendapat pertanyaan demikian, Si Bohim melengos, bibirnya bergerak-gerak menahan tawa yang hampir saja meledak. Tumben majikanku ini minta saran dariku. Padahal sebelumnya belum pernah sekalipun aku mendengarnya permintaan semacam itu, celoteh dalam hatinya.
“Tidak salah tuh Aden minta saran dari saya ? Rasa-rasanya orang bodoh macam saya mana bisa ngasih saran sama Aden yang pintar dan kaya.”
“Sudahlah, Him. Aku tadi sudah katakan, aku sadar. Orang-orang pada menjauhiku karena aku selama ini selalu mengabaikan saran dan pendapat mereka. Sehingga sampai hari ini tinggal kamu seorang yang masih setia. Oleh karena itu tak ada salahnya aku minta saran dan pendapat kamu, bagaimana caranya agar aku dapat kembali merebut dukungan warga, agar dalam Pilkarut nanti aku dapat mengalahkan rivalku ?”
“Aden ingat tidak waktu cinta Aden ditolak Marni dulu?”
“Lha koq malah bicara masa lalu, Him, bagaimana maksudmu ini ?”
“Justru karena masa lalu dapat dijadikan cermin untuk langkah kita di waktu yang akan datang.”
 “Terus ?”
 “Waktu itu Aden kan marah besar. Malah sawah yang dipiara bapaknya Marni mau Aden cabut. Tapi karena saya tahu Aden sangat penasaran pada Marni, dan ingin sekali memilikinya, saya melarang Aden bersikap kasar. Malah saya meminta Aden untuk memperlihatkan hati yang ikhlas atas penolakan Marni. Lalu terhadap orang tua Marni saya menyuruh Aden untuk memberikan perhatian lebih dari biasanya. Nah, ahirnya – meskipun rada lama juga, malah Marni yang tergila-gila sama Aden.”
“Lalu apa hubungannya dengan masalah yang aku hadapi sekarang ?”
“Aduh, gimana Aden ini !” Si Bohim menepuk jidatnya sendiri, “Sikap Aden itu. menghadapi masalah ini pun sepertinya Aden perlu bersikap seperti menghadapi Marni dulu. Begitu. Aden pura-pura ikhlas, pura-pura menyayangi kedua orang tua Marni, ahirnya kan Marni dapat ditaklukan juga. Persoalan dikawin tidaknya kan persoalan lain lagi.”
Pak Kadar terbahak. Dan merasa paham dengan maksud Si Bohim.
“Jadi sekarang aku harus mendekati RT. Malah harus paling sangat dekat dari yang paling dekat. Mendukung semua programnya. Bahkan kalau perlu aku harus mendukung dengan harta, tenaga, maupun pikiran untuk suksesnya semua program RT.”
“Apa boleh buat, Him. Untuk mengalahkan seorang musuh, sebaiknya tidak perlu dengan pertarungan, sepertinya dengan tipu-tipu seperti itu merupakan pilihan paling jitu...”
“Betul-betul-betul...” Si Bohim mengacungkan kedua jempolnya.
***
Hanya saja niat Pak Kadar untuk mendekati Pak RT kemungkinan besar tidak akan kesampaian. Karena ketika majikan dengan pembantunya itu sedang asyik bicara, di belakang dangau yang memang terhalang dinding bambu, seorang gembala bebek dengan jelasnya mendengar semua pembicaraan keduanya.
Ada pun penggembala bebek itu merupakan pendukung setia Pak RT. Tanpa menunggu waktu lama lagi, sore harinya dia langsung bertandang ke rumah Pak RT. Menyampaikan hasil temuannya itu.
 “Sebaiknya Bapak menolak kehadiran Pak Kadar bila nanti datang. Saya khawatir dengan niatnya itu.”
Pak RT tertawa.
“Orang yang datang ke rumah kita masa ditolak. Itu tidak baik. Sebagai tuan rumah aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Sementara untuk masalah selanjutnya, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak, lain lagi masalahnya , tentu saja.” ***
Share: