Belakangan ini di negeri kita sedang ramai
diperbincangkan mengenai munculnya tuntutan agar Presiden Jokowi menyampaikan
permintaan maap kepada korban pelanggaran Ham pasca-1965. Tuntutan itu muncul
dari kelompok pegiat hak asasi manusia, termasuk juga lembaga Komnas HAM. Bahkan
baru-baru ini telah diselenggarakan sebuah simposium terkait hal itu.
Tragedi yang bermula dengan peristiwa pembantaian
tujuh perwira TNI-AD, yakni enam perwira tinggi dan satu perwira pertama itu
selama ini dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September, dan di belakangnya
selalu ditambah dengan tulisan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Sejarah Orde Baru menulis apabila peristiwa tersebut
memang terkait dengan PKI yang selama awal kemerdekaan negara ini sampai
tumbangnya rezim Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dilegalkan
di Indonesia. Bahkan termasuk parpol yang memiliki basis massa lumayan banyak.
Terlepas dari pro dan kontra tuntutan permintaan
maap pemerintah terhadap para korban pasca peristiwa G30S/PKI itu, penulis
mencoba mencari tahu awal mula munculnya partai politik yang sejak rezim Orde
Baru sampai sekarang dinyatakan terlarang itu.
Awal mula terbentuknya PKI tak bisa
dipisah dari untaian Sarekat Islam (SI) dan Indische Sociaal
Democratische Vereniging (ISDV). Sedikit banyak rekam jejak Sarekat Islam
sudah diulas dalam serial sebelumnya. Kini, giliran ISDV...
Majalah De
Indier, pimpinan Dr. Tjipto Mangunkusumo edisi Mei 1914 memuat berita
lahirnya ISDV. Berikut cuplikannya:
Dengan
dipersiapkan terlebih dahulu oleh Tuan Reeser, seorang pemuda dari kaum sosial
demokrat Hindia, pada hari Sabtu tanggal 9 Mei 1914 telah berlangsung di
Gedung Marine Surabaya, rapat pertama kaum sosial demokrat Hindia di mana
dihadiri oleh lebih dari 30 orang, sementara yang bertempat tinggal jauh mengirimkan
telegram dan surat persetujuannya.
Sejak
lahir, ISDV merumuskan 8 pasal programnya;
1.
Memperjuangkan kemerdekaan atas kehancuran kapitalisme. Kaum buruh dan tani
karena senasib harus bersatu melawan.
2.
Mempersatukan rakyat, buruh dan tani segala bangsa dan agama atas dasar
perjuangan kelas.
3.
Mendidik rakyat dengan pengetahuan sosialisme.
4.
Membangun koperasi untuk kaum tani.
5.
Membangun serikat-serikat buruh.
6.
Menerbitkan surat kabar-surat kabar.
7.
Menyiarkan buku-buku sosialisme.
8. Turut
memilih dalam pembentukan badan-badan perwakilan dan berjuang dalam badan-badan
perwakilan ini.
"Dengan
program 8 pasal tersebut, ISDV berusaha mengadakan persatuan dengan Sarekat
Islam, Budi Utomo dan Indische Party," tulis Busjarie Latif
dalam Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920-1965).
Usaha
ISDV membuahkkan hasil. Para jurnalis dari kelompok-kelompok tersebut bersatu
membangun Inlandse Journalisten Bond (IJB) pada 1914. Sekadar catatan,
masa itu sebuah organisasi normlanya punya surat kabar.
Dalam
kepemimpinan IJB, terdapat nama Dr. Tjipto Mangunkusumo dari Indische Party,
Agus Salim dari Sarekat Islam, dan Marco dari ISDV.
Nama
Tjiptomangunkusumo dan Haji Agus Salim cukup familiar. Bagaimana dengan Marco
dari ISDV?
Si
Tajam Pena
Nama
panjangnya Marco Kartodikromo. Bila Anda googling nama tersebut, maka akan
didapat informasi bahwa dia adalah jurnalis dan penulis.
Ada
kisah Marco yang belum banyak diketahui orang, dan agaknya mbah gugel juga
belum tahu. Khusus buat pembaca sekalian, kita akan ceritakan (sebenarnya
ini rahasia)...
Marco
anak nakal dari Cepu. Sangat nakal. Dia pandai main pisau. Lempar pisau memang
keahliannya. Nah, suatu waktu dia dititipkan ke Tirto Adhi Soerjo,
pemimpin redaksi Medan Prijaji--sekaligus pendiri
Sarekat Dagang Islam, kemudian berganti Sarekat Islam (SI).
Di
tangan Tirto, Marco yang tadinya si tajam pisau, berubah menjadi si tajam pena.
Tirto menempahnya jadi jurnalis di Medan Prijaji. Saat Medan
Prijaji digulung pemerintah Hindia Belanda, dia menulis untuk Sarotomo, korannya
SI cabang Solo. Kemudian Marco menerbitkan Doenia Bergerak.
Karena
penanya yang tajam, tokoh IJB ini kerap keluar masuk penjara kolonial, terkena
delik pers.
Di ranah
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, anak didik Tirto ini pernah menjadi
pimpinan teras SI Solo, ISDV dan kemudian PKI. Dia ikut dibuang ke Boven
Digul ketika meletus pemberontakan PKI 1926-1927.
Kongsi
Para Jurnalis
Angin
Revolusi Rusia 1917 sampai pula ke Hindia Belanda. Tjipto Mangunkusumo
menaikkan tulisan Sneevliet, dedengkot ISDV tentang kemenangan Lenin dan kaum
Bolshevik di surat kabar yang dipimpinnnya, De Indier.
"Lonceng
kemerdekaan kini terdengar di mana-mana...apakah suara lonceng kegembiraan juga
sampai di kota-kota dan desa-desa negeri ini?..di sini hidup rakyat yang
menghasilkan kekayaan yang telah berabad-abad mengalir ke lemari besi kaum
yang berkuasa di Eropa Barat, terutama di negeri kecil yang
menjalankan kekuasaan politik di sini..." --begitu cuplikan tulisan
Sneevliet di De Indier, 19 Maret 1917.
Seiring
berjalan waktu, kongsi kaum pergerakan dari berbagai aliran tak lagi hanya di
ranah jurnalistik. Sebab memahami bahwa organisasi hanyalah alat
perlawanan, maka, tak sedikit aktivis yang rangkap organ dan rangkap
jabatan.
Hal ini
tercermin dalam perdebatan kubu Semaoen, Ketua SI Semarang dan kubu Hartogh,
Ketua ISDV saat kongres VII ISDV di Semarang, 23 Mei 1920.
Semaoen
bersikeras merubah ISDV menjadi PKI. Sementara Hartogh menolak. Berikut
cuplikan ringkas perdebatan kedua kubu tersebut, sebagaimana dilansir dari
majalah ISDV, Het Vrije Woord, 25 Juni 1920:
Semaun,
Bergsma, cs: Banyak
orang menamakan dirinya sosialis, tetapi sebetulnya mereka
pengkhianat-pengkhianat sosialis. Di Hindia juga terdapat
sosialis-sosialis palsu. Sosialisme palsu mematahkan
kepercayaan-kepercayaan proletariat akan kemampuan dirinya sendiri dan
terpaksa menggantungkan diri pada kapitalisme.
Hartogh: Sudahkah kita siap
sekarang? Pergerakan sosialisme di Indonesia baru tumbuh. Masih ada orang
yang merangkap keanggotaan Budi Utomo dengan ISDV dan sebagainya. Dan
usul perubahan ini baru kemauan dari beberapa orang saja, belum kemauan anggota
yang luas.
Pendeknya,
kubu Semaoen berhasil memenangkan gagasannya. Itulah kongres terakhir ISDV,
karena selanjutnya organ ini berganti nama jadi PKI.
PARTAI Komunis Indonesia lahir
dari "persekawinan" Sarekat Islam (SI) dan Indische Societal
Democratishe Veereniging (ISDV). Mari kita telusuri rekam jejak dua organ
tersebut. Dimulai dari Sarekat Islam...
Pemimpin
redaksi Medan Prijaji, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo mendirikan
Sarekat Dagang Islamiah--kemudian menjadi Sarekat Dagang Islam--di Bogor, pada
1909. Tirto adalah kakek buyut dari penyanyi Dewi Yull.
"Maka
R.M Tirto Adisuryo berkelilinglah seluruh Jawa tapi yang dikunjunginya hanya
kota-kota besar saja. Di kota-kota besar itu masing-masing dianjurkan
mendirikan Sarekat Dagang Islam. Akhirnya dia sampai di Solo," papar
Dr. Moh. Hatta dalamPermulaan Pergerakan Nasional.
Apa yang
diceritakan Bung Hatta berkesesuian dengan surat rahasia Residen Surakarta,
F.F. van Wijk pada Gubernur Jenderal Idenburg, 11 Agustus 1912:
Perhimpunan
Sarekat Dagang Islam didirikan di sini (Solo--red) beberapa bulan yang lalu
oleh redaktur kepala Medan Prijaji yang terkenal itu; Raden Mas
Tirtoadisurjo. Juga di Buitenzorg sudah berdiri perhimpunan seperti itu
juga pada 1909. Dalam waktu dekat jumlah anggota membengkak cepat.
Sekadar
catatan, penulisan nama Tirto di atas berbeda-beda sesuai sumber rujukan
literatur.
Nama
Sarekat Dagang Islam (SDI) tidak lama. Merujuk pasal I Peraturan Dasar yang
disusun Tirto tanggal 9 November 1911, "Perkumpulan Sarikat Islam
akan didirikan pada tiap-tiap tempat di mana terdapat anggota sekurang-kurangnya
50 orang...kalau anggotanya kurang dari 50 orang, tidak diadakan."
Setahun
kemudian, persisnya 10 September 1912, Sarekat Islam dicatatkan di notaris.
"Sifat perkumpulan itu disebutnya nasional demokratis. Ini berbau
politik," kata Bung Hatta.
Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo dalam Naar Aanleiding van de Relletjes, menulis,
"Tirto gaf de leiding over aan H. Samanhoedi van Solo. (Tirto
menyerahkan kepemimpinan (SI--red) ke H. Samanhudi dari Solo."
Lima
tahun lamanya Haji Samanhudi memegang tampuk kepemimpinan SI, "kemudian
tersingkir sama sekali oleh Tjokroaminoto setelah ia membuat Central SI
tandingan," tulis Pramudya Ananta Toer dalam Sang Pemula.
Tjokroaminoto
kakek buyut penyanyi Maia Estianty. Di bawah kepemimpinannya, SI meluas. Dia
tokoh legendaris SI.
SI
Merah
Kongres SI V diadakan di Yogyakarta, 2 hingga 6 Maret (versi Semaoen 1921 dan
versi Lembaga Sejarah PKI 1920. Keduanya menggunakan tanggal yang sama.
Hanya beda tahun).
Dalam
kongres itu, dua kader terkemuka SI, Semaoen dan Haji Agus Salim menyusun dasar
baru organisasi. Disimpulkan bahwa kapitalisme-lah pangkal bala penjajahan
di lapangan kebangsaan dan perekonomian. Dan ini harus dilawan.
Mengusung
semangat yang sebetulnya sama, sama-sama melawan kapitalisme, Semaoen,
Komisaris SI Daerah Jawa Tengah yang berkedudukan di Semarang, mendirikan
dan terpilih menjadi ketua PKI pada 23 Mei 1920.
Ini
membuat Abdul Muis, tokoh SI Bandung berang. Dia menyoal masalah rangkap
keanggotaan. Maka pada Kongres SI VI, 10 Oktober 1921 di Surabaya, setelah
melampui perdebatan sengit, diputuskan anggota SI yang komunis dan pro
komunis keluar dari SI.
Kubu
komunis tidak begitu saja menyerah. Mereka membentuk SI Merah dan mempengaruhi
kongres SI 1923 di Madiun. Ratusan bendera merah bergambar palu arit
bergantungan di dinding dan di meja podium.
"Kongres
ini berjalan dalam suasana ribut dan kacau, di mana podium digulingkan,"
tulis Busjarie Latif dalam Manuskrip Sejarah PKI (1920-1965).