Berbagi Sebening Hati

Tuesday 31 May 2016

Humor ala Gus Dur: Dialog Presiden dengan Tuhan




Ceritanya para presiden dan pemimpin negara berdialog dengan Tuhan.

Presiden AS Ronald Reagen: Tuhan, kapan negara kami makmur?, Tuhan jawab, "20 Tahun lagi". Presiden AS menangis.

Presiden Prancis Sarkozy: Tuhan, kapan negara Prancis makmur? Tuhan menjawab: "25 Tahun lagi." Mendengar jawaban Tuhan, Presiden Prancis menangis.

PM Inggris Tony Blair: "Tuhan, kapan negara Inggris bisa makmur?" Tuhan menjawab: "20 Tahun lagi." PM Tony Blair ikut juga menangis.

Presiden Gus Dur: "Tuhan, kapan negara Indonesia bisa makmur?" Tuhan tidak jawab, gantian Tuhan yang menangis

Sumber: gusdur.net
Share:

Tulisan almarhum Gus Dur Tentang Laksamana Cheng Ho



Laksamana itu Seorang Penyebar Agama
Menuliskan riwayat singkat Cheng Ho (Ma Zeng He) bukanlah kerja yang mudah. Pertama, ia dikenal oleh dua kalangan yang berbeda sebagai muslim dan non-muslim. Dari sudut kemuslimannya, ia adalah seorang dari jutaan orang manusia Tionghoa yang dulunya beragama Islam. Baru kemudian, masjid yang didirikannya lalu digunakan sebagai klenteng (Bio). Dalam sebuah buku berbahasa Prancis yang terbit beberapa tahun lalu, Quatorze Neuf Deux, dinyatakan bahwa ada lima buah kejadian besar yang mengguncangkan dunia. Buku itu menceritakan bahwa pada bahwa tahun 1492, Vasco Da Gamma mencapai kepulauan Bermuda di Amerika Tengah. Dari peristiwa itu, di kemudian hari akan menyusul gelombang datangnya orang-orang Eropa utara (terutama Inggris, Prancis dan Jerman) ke Benua Amerika.

Di samping mereka, ada juga orang-orang Spanyol dan Portugis, yang sekarang membentuk bangsa-bangsa yang hidup di Amerika Tengah dan Selatan. Kedua-duanya sekarang ini dimudahkan penyebutannya menjadi Amerika Latin. Begitu pula, tidak dapat dilupakan orang-orang hitam, yang untuk menghormati mereka disebut sebagai Afro-America, dahulunya bernama Negro. Di kemudian hari, datang juga ke Amerika Serikat para imigran dari Italia, disusul imigran dari berbagai daerah terutama Russia, Armenia, Yunani, dan Lebanon. Sedang dari arah barat datanglah orang-orang Jepang dan Tionghoa, dan abad yang lalu orang-orang India (terutama Bangalore Hyderabad). 

Manusia Indonesia sendiri hanya berjumlah puluhan ribu orang, dan tidak perlu dimasukan ke dalam komponen para pembentuk Amerika Serikat. Oleh sementara orang, kesemuanya itu disebut sebagai ‘panci adukan’ (melting pot), yang sekarang disanggah oleh sementara pihak.

Pada waktu itu, kaum Tionghoa muslim telah berkembang pesat, setidaknya di pantai utara pulau Jawa. Mereka segera ‘berhadapan’ dengan pihak-pihak berbagai agama yang sudah ada terlebih dahulu, seperti kaum Hindu-Budha, terkenal dengan sebutan kaum Bhairawa (sekarang juga disebut Birawa). Dengan meninggalkan Candi Prambanan dan Borobudur, kaum Hindu-Budha itu pindah ke Jawa Timur dari kawasan Klaten sekarang di bawah pimpinan Mpu Sindok dan menirikan Kerajaan Medang dengan raja terakhir bernama Dharmawangsa. Setelah Medang dihancukan Sriwijaya, keturunan Dharamawangsa yaitu Raja Erlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan. Di akhir hayatnya Airlanga membagi dua Kahuripan menjadi Panjalu (Kediri) dengan ibukota Daha dan Jenggala beribukota di Kahuripan. Agama Hindu-Budha itu kemudian berkembang menjadi Kerajaan Singosari di sebelah utara Malang. Raja terakhirnya Prabu Kertanegara, mengambil menantu Raden Wijaya.

Ketika Raden Wijaya memberontak ia tidak mendirikan kerajaan di kawasan Gunung Bromo atau Pujon. Apa yang dilakukannya adalah mendirikan kerajaan baru di Terik, kawasan pinggiran sungai Brantas di daerah Krian. Dugaan penulis Terik adalah penyebutan lain dari kata Thariqah, artinya kalangan tarekat yang melaksanakan ajaran-ajaran tasawuf. Mengapakah mereka mendirikan Majapahit di Terik? Kemungkinan besar karena perlindungan angkatan laut Tiongkok yang sudah menjadi muslim itu. Raden Wijaya yang menurut penulis datang dari Marga Ui, memiliki penduduk beragama Islam dan agama Hindhu dan Budha. Kerajaan baru itu pada abad–abad berikutnya menampilkan Mpu Tantular dengan Negara Kertagama nya dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa ia menyerap salah satu semangat bangsa ini yang sejak dahulu -setidaknya 8 abad yang lalu sudah memiliki pluralitas/kemajemukan yang tinggi.

Di samping kejadian di atas, sekitar penghabisan Abad XV dan permulaan Abad XVI, ada empat kejadian penting yang menentukan jalannya sejarah dunia di kemudian hari. Terlebih dahulu adalah terjadinya sikap mengalah dari sebuah kerajaan Islam di daerah Pantai Barat Afrika Tengah. Ketika itu, sebuah kapal layar Eropa mendarat di pantai kawasan tersebut. Ketika terjadi pertempuran senjata antara mereka melawan penduduk setempat maka para pelaut itu menggunakan senjata api untuk bertahan. Segera saja mereka yang bersenjata api -penduduk setempat menamai mereka sebagai setan dengan senjata berlidah api- menguasai kawasan itu, dan memaksa kerajaan Islam itu berpindah dari daerah pantai ke kawasan hutan di tengah-tengah benua Afrika.

Hal ketiga adalah ketika keluarga Borgia berhasil menjadikan salah seorang warga mereka menjadi Paus Alexander VI. Wangsa Borgia menggunakan uang, jabatan dan wanita untuk “mengangkat” warga mereka itu menjadi Paus. Hal ini menjadi salah satu penyebab perbedaan pandangan di antara Gereja Katholik dan sebagian para pemrotes yang kemudian dinamai kaum Protestan terlibat dalam perselisihan besar (skisma). Skisma/perpecahan antara Gereja Katholik dan Gereja Protestan akhirnya, membawa kepada perpecahan formal antara Gereja Katholik dan Gereja Protestan dalam bentuk berbagai sinoda.

Kejadian lainnya pada era itu adalah, ketika wangsa Kazimierski di Polandia memenangkan pertempuran atas wangsa Muscovit di Russia. Segera mereka harus memecahkan masalah apakah wangsa Muscovit boleh menggunakan bahasa Russia sebagai bahasa resmi, dan bukannya bahasa Polandia. Wangsa Kazimierski tersebut memutuskan bahasa Russia, dan bukannya bahasa Polandia sebagai bahasa nasional orang-orang Russia. Keputusan fundamental ini berakibat setengah abad kemudian orang-orang Russia kembali menggumpulkan kekuatan, dan berhasil mengalahkan bangsa Polandia. Apalagi setelah kaum komunis (Bolshevik) di bawah pimpinan V.I Lenin mendirikan partai komunis Uni Soviet (PKUS) menjelang tahun 1917.

Kejadian besar kelima yang merubah jalannya sejarah, terjadi ketika seorang Kaisar cilik diangkat menggantikan ayahnya yang baru saja meninggal dunia. Dan diangkatlah seorang wali negara, yang tadinya adalah menteri peperangan. Karena ia adalah seorang pemeluk agama Konghucu yang taat, maka ia sangat takut kepada kaum muslim di kawasan rantau (hoa kiau), yang umumnya sudah menjadi muslim. Begitu ia menjadi wali negara, maka diperintahkannya kapal-kapal laut kerajaan untuk kembali ke kawasan pesisir daratan Tiongkok dan dibakar.

Segera terputuslah segala jenis komunikasi antara kawasan Rantau tersebut dengan daratan Tiongkok. Penduduk rantau yang tadinya adalah kaum Tiongkok muslim, menjadi terserap sebagai penduduk bumiputra, dan angkatan laut Tiongkok, yang tadinya menguasai lautan antara pulau Madagaskar di kawasan timur Afrika dan Ascunsion di Pulau Tahiti (lautan Pasifik), juga menjadi penduduk bumiputra. Untuk dua abad lamanya hubungan antara kawasan-kawasan tersebut dengan daratan Tiongkok terputus sama sekali. Maka kejayaan Tiongkok itu lalu di klaim antara lain oleh Majapahit, dengan konsepnya yang sekarang dinamai persemakmuran (commonwealth). Cheng Ho pada permulaan abad ke-15, yang memimpin angkatan laut Tiongkok lalu harus melakukan ekspedisi laut tujuh kali saja, dan berakhir ketika ia meninggal dunia karena sakit di Kerala (India).


Kenyataan-kenyataan sejarah seperti ini memaksa kita untuk mengerti, bahwa dua abad berikut barulah orang-orang Belanda dapat mendatangkan orang-orang Tionghoa kemari. Mereka kemudian membawa agama Budha, Konghucu dan tentu saja agama Tao. Kemudian pemerintahan Orde Baru ‘menyatukan’ penganut Budha, Tao dan Konghucu dalam apa yang dinamakan kaum Tri Dharma, terutama dibawakan oleh Walubi (Perwalian Umat Buddha Indonesia). Bagaimana dengan jasa Cheng Ho? Setelah ia meninggal dunia di kawasan Kerala itu, kawasan-kawasan yang didirikannya lalu berkembang pesat, seperti Singapura. Dari sini ternyata, bahwa seseorang pemimpin dengan membawa peranannya yang besar, dapat menimbulkan perubahan-perubahan sangat besar dalam sejarah manusia. Sangat indah hal itu, bukan?

Sumber: Gus Dur
Share:

Monday 30 May 2016

Karena Tak Ada Lagi Cinta di Hatinya



"Jangan katakan lagi I love you,  dan segala tetek-bengeknya. Mendingan kita nikmati malam indah ini dengan bersenang-senang,” kata perempuan muda itu sambil mengedikkan bahunya, kemudian menjentikkan abu rokok di tangannya pada asbak di atas meja.

“Tapi sungguh, Vey, aku terlanjur menyayangimu…” kata lelaki setengah tua itu dengan suara yang sedikit parau.

“Kalau memang abang sayang sama Vey, ya terima kasih. Berarti abang mau menuruti segala permintaanku,” kata perempuan itu sambil mengerling manja.

Kemudian tangan kirinya meraih gelas yang isinya tinggal setengahnya. Wine berwarna merah dalam gelas itu perlahan diminumnya hingga tandas. Sambil kembali meletakkan gelas yang telah kosong, bibir yang bergincu merah itu dijilati dengan lidahnya.  Sementara lelaki setengah baya itu meraih botol wine, kemudian menuangkan isinya ke dalam gelas milik Vey.

“Ya dengan atas nama cinta dan sayangku padamu, aku akan menuruti segala keinginanmu…”

Belum tuntas lelaki itu bicara, telunjuk tangan Vey ditempelkan di bibirnya.

 “Sssttt… Lagi-lagi cinta. Sudahlah jangan katakan lagi cinta. Aku sudah muak mendengarnya. Malam ini berapa abang sanggup membayarku untuk menemanimu ?” bisik Vey di telinga lelaki setengah tua itu.

Tanpa menunggu lagi lelaki setengah baya itu mengambil dompet dari saku belakang celananya. Kemudian dompet yang cukup tebal itu diletakkannya di atas meja,

“Ambillah seluruh isinya. Bahkan kalau perlu seluruh kartu ATMnya pun boleh kamu ambil pula,” katanya sambil menyeringai.
Sementara telunjuknya mencolek pipi Vey yang memerah oleh pulasan bedak, dan efek dari wine yang telah dua gelas dihabiskannya.

“Serius nih ? Tapi nggaklah… Berilah aku seperti biasanya saja,” kata Vey sambil bangkit dari kursi. Lalu beranjak menghampiri lelaki setengah tua itu. Dengan manjanya Vey duduk dipangkuan lelaki setengah tua itu.

***
Alunan musik dangdut memenuhi ruangan itu. Di kursi tampak Vey duduk seorang diri sambil mematut-matut riasan wajahnya pada cermin kecil yang dipegang sebelah tangannya lagi. Dan sebentar-sebentar matanya berpaling ke arah pintu yang tertutup.

Tiba-tiba handphone di tasnya berdering. Vey meletakkan cermin di atas meja. Lalu meraih handphonenya dari dalam tas yang tergeletak di sampingnya.

Sebuah SMS diterimanya. “Sayang, aku lagi di jalan…” Begitu pesan yang dibacanya. Lalu Vey mengetik balasan pada nomor itu, “ Yupz, aku sudah menunggu.”

Hari ini Vey ada janji. Dengan pria langganan lamanya, yang biasa merangkap tukang ojek. Vey minta diantar untuk pergi ke orang pintar yang biasa dipanggilnya “Eyang”.
 
Vey ingin Eyang menambah aura kecantikannya agar lelaki setengah tua yang sudah beberapa kali menemuinya itu semakin menyayanginya. Sehingga dengan demikian dirinya akan semakin mudah untuk mendapatkan lembaran uang dari lelaki setengah tua itu. Dan yang paling penting, Vey tidak perlu repot-repot lagi melayani lelaki tua itu di atas ranjang. Kalau memang lelaki setengah tua itu betul-betul mencintai dirinya, tokh dirinya bisa berkelit dengan segala macam alasan.

“Kalau memang abang mencintaiku, nanti pun buat siapa lagi diriku ini kalau bukan untuk abang seorang,” Vey mereka-reka.

***
Semakin hari hubungan Vey dengan lelaki setengah tua pemilik bengkel sepeda motor itu semakin dekat saja. Dan memang lelaki setengah tua yang sudah memiliki isteri dua orang itu merasakan semakin mencintai Vey. Sehingga segala permintaan Vey selalu dipenuhinya. Mulai dari kebutuhan sebagaimana biasanya perempuan untuk mempercantik penampilannya, untuk kebutuhan sehari-hari Vey bersama tiga orang anaknya, bahkan sebuah sepeda motor matik pun yang diminta Vey dibelikannya. Dengan begitu mudahnya. Hanya dengan mengatakan, “Masa setiap kali untuk menemui abang, Vey harus minta diantar tukang ojek. Bagaimana kalau nanti tukang ojek itu bikin gossip, bisa-bisa hubungan kita ini didengar isteri abang,” katanya di suatu ketika.
Setelah memiliki sepeda motor, Vey semakin leluasa pergi kemana ia suka. Terutama untuk mencari pria lain yang tebal dompetnya, tentu saja.

***
“Jangan katakana cinta, aku sudah muak mendengarnya. Lebih baik kita nikmati saja malam ini sesuka kita berdua, “ bisik Vey kepada seorang lelaki yang kesekian orang yang menjadi mangsanya.

 “Berilah aku uang, aku akan berikan kehangatan buat abang seorang.” ***


Share:

3 Presiden Naik Pesawat



Gus Dur coba cari suasana di pesawat RI-01. Kali ini dia mengundang Presiden AS dan Prancis terbang bersama buat keliling dunia. Seperti biasa, setiap presiden selalu ingin memamerkan apa yang menjadi kebanggaan negerinya.

Tidak lama terbang, Presiden Amerika, Clinton mengeluarkan tangannya dan sesaat kemudian dia berkata: "Wah kita sedang berada di atas New York!"

Presiden Indonesia ( Gus Dur): "Lho kok bisa tau sih?"

"Itu, patung Liberty kepegang!", jawab Clinton dengan bangganya.

Tidak mau kalah, Presiden Prancis Jacques Chirac, ikut menjulurkan tangannya keluar. "Tahu nggak? Kita sedang berada di atas kota Paris!", katanya dengan sombongnya.

Presiden Indonesia: "Wah, kok bisa tau juga?"

"Itu... menara Eiffel kepegang!", sahut presiden Prancis tersebut.

Giliran Gus Dur yang menjulurkan tangannya keluar pesawat. "Wah... kita sedang berada di atas Tanah Abang!" teriak Gus Dur.

"Lho kok bisa tau sih?" tanya Clinton dan Chirac heran.

"Ini, jam tangan saya ilang," jawab Gus Dur kalem.

Sumber: gusdur.net
Share:

Guru yang Meminta Miras kepada Muridnya



Suatu malam, Jalaluddin Rumi mengundang Syams Tabrizi ke rumahnya. Sang Mursyid Syamsuddin pun menerima undangan itu dan datang ke kediaman Rumi. Setelah semua hidangan makan malam siap, Syams berkata pada Rumi;

“Apakah kau bisa menyediakan minuman untukku?”. (yang dimaksud : arak / khamr)

Rumi kaget mendengarnya, “memangnya anda juga minum?’.

“Iya”, jawab Syams.

Rumi masih terkejut,”maaf, saya tidak mengetahui hal ini”.

“Sekarang kau sudah tahu. Maka sediakanlah”.

“Di waktu malam seperti ini, dari mana aku bisa mendapatkan arak?”.

“Perintahkan salah satu pembantumu untuk membelinya”.

“Kehormatanku di hadapan para pembantuku akan hilang”.

“Kalau begitu, kau sendiri pergilah keluar untuk membeli minuman”.

“Seluruh kota mengenalku. Bagaimana bisa aku keluar membeli minuman?”.

“Kalau kau memang muridku, kau harus menyediakan apa yang aku inginkan. Tanpa minum, malam ini aku tidak akan makan, tidak akan berbincang, dan tidak bisa tidur”
.
Karena kecintaan pada Syams, akhirnya Rumi memakai jubahnya, menyembunyikan botol di balik jubah itu dan berjalan ke arah pemukiman kaum Nasrani.

Sampai sebelum ia masuk ke pemukiman tersebut, tidak ada yang berpikir macam-macam terhadapnya, namun begitu ia masuk ke pemukiman kaum Nasrani, beberapa orang terkejut dan akhirnya menguntitnya dari belakang.

Mereka melihat Rumi masuk ke sebuah kedai arak. Ia terlihat mengisikan botol minuman kemudian ia sembunyikan lagi di balik jubah lalu keluar.

Setelah itu ia diikuti terus oleh orang-orang yang jumlahnya bertambah banyak. Hingga sampailah Rumi di depan masjid tempat ia menjadi imam bagi masyarakat kota.

Tiba-tiba salah seorang yang mengikutinya tadi berteriak; “Ya ayyuhan naas, Syeikh Jalaluddin yang setiap hari jadi imam shalat kalian baru saja pergi ke perkampungan Nasrani dan membeli minuman!!!”.

Orang itu berkata begitu sambil menyingkap jubah Rumi. Khalayak melihat botol yang dipegang Rumi. “Orang yang mengaku ahli zuhud dan kalian menjadi pengikutnya ini membeli arak dan akan dibawa pulang!!!”, orang itu menambahi siarannya.

Orang-orang bergantian meludahi muka Rumi dan memukulinya hingga serban yang ada di kepalanya lengser ke leher.

Melihat Rumi yang hanya diam saja tanpa melakukan pembelaan, orang-orang semakin yakin bahwa selama ini mereka ditipu oleh kebohongan Rumi tentang zuhud dan takwa yang diajarkannya. Mereka tidak kasihan lagi untuk terus menghajar Rumi hingga ada juga yang berniat membunuhnya.

Tiba-tiba terdengarlah suara Syams Tabrizi; “Wahai orang-orang tak tahu malu. Kalian telah menuduh seorang alim dan faqih dengan tuduhan minum khamr, ketahuilah bahwa yang ada di botol itu adalah cuka untuk bahan masakan. Seseorang dari mereka masih mengelak.

“Ini bukan cuka, ini arak”. Syams mengambil botol dan membuka tutupnya. Dia meneteskan isi botol di tangan orang-orang agar menciumnya. Mereka terkejut karena yang ada di botol itu memang cuka. Mereka memukuli kepala mereka sendiri dan bersimpuh di kaki Rumi. Mereka berdesakan untuk meminta maaf dan menciumi tangan Rumi hingga pelan-pelan mereka pergi satu demi satu.
Rumi berkata pada Syams, “Malam ini kau membuatku terjerumus dalam masalah besar sampai aku harus menodai kehormatan dan nama baikku sendiri. Apa maksud semua ini?”.

“Agar kau mengerti bahwa wibawa yang kau banggakan ini hanya khayalan semata. Kau pikir penghormatan orang-orang awam seperti mereka ini sesuatu yang abadi? Padahal kau lihat sendiri, hanya karena dugaan satu botol minuman saja semua penghormatan itu sirna dan mereka jadi meludahimu, memukuli kepalamu dan hampir saja membunuhmu. Inilah kebanggaan yang selama ini kau perjuangkan dan akhirnya lenyap dalam sesaat.

Maka bersandarlah pada yang tidak tergoyahkan oleh waktu dan tidak terpatahkan oleh perubahan zaman
Bersandarlah hanya kepada Allah SWT.

Dikutip dari kumpulan kisah Jalaluddin Rumi.
Share:

Tuesday 3 May 2016

Astaga, Istri Minta Suami Menyaksikan Perkawinannya dengan Pria Lain


Betapa terpukulnya Harun (60) saat mendengar pernyataan istrinya, Entin (55) yang meminta diceraikan, dan ingin disaksikan perkawinannya dengan seorang lelaki, Uus (52) namanya ,dari kampung sebelah. Apabila permintaan dirinya tidak dituruti Harun, Entin mengancam akan bunuh diri dengan cara menabrakkan dirinya pada kereta api yang sedang melaju kencang.

 Sebenarnya permintaan Entin bukan sekali itu saja didengarnya. Dalam sebulan ini hampir pada setiap kesempatan istrinya mengutarakan permintaan yang sama. Dan bagi Harun hal itu merupakan dilema, tentu saja.

Betapa tidak. Meski pekerjaan Harun hanyalah seorang buruh serabutan; sebagaimana biasanya di kampung bila musim bercocok tanam jadi buruh tani, mengolah sawah milik orang dengan upah Rp 20 ribu dari pagi sampai tiba shalat dhuhur, dan di lain waktu kadang-kadang jadi buruh pemecah batu untuk bahan bangunan, selama hampir sekitar tigapuluh lima tahun berumah tangga, Entin dan Harun sudah dikaruniai sembilan orang anak. Malahan tiga di antaranya sudah berkeluarga.

Setahun yang lalu memang Harun pernah mendengar selentingan kabar, bahwa Entin memiliki hubungan gelap dengan Uus. Bahkan, kata kabar itu juga, beberapa warga sekampungnya pernah memergoki Entin dan Uus sedang bersetubuh di pematang sawah. Ketika itu Uus sedang menunggui air di sawahnya pada malam hari. Karena sebagaimana biasanya bila musim kemarau tiba, supaya sawah mereka tidak kekeringan, maka airnya harus dijaga. Siang dan malam.

Kabar itu tidak begitu dipedulikannya. Harun malah beranggapan sebagai upaya orang yang ingin menghancurkan rumah tangganya saja. Karena saat ditanyakan kepada Entin, istrinya itu tidak mengakuinya. Malahan marah-marah pula. Dan kabar itu dikatakan Entin sebagai fitnah orang yang tak suka melihat ketentraman rumah tangganya.

Apalagi Harun sendiri tahu kalau Uus yang tinggal di kampung sebelah, selain sudah berkeluarga, dan walau saat ini istrinya sedang pergi jauh ke negeri orang, untuk bekerja sebagai TKW di Arab Saudi, tokh antara dirinya dengan Uus masih ada tali persaudaraan walau sudah jauh juga. Suatu hal yang mustahil saudara sendiri mau berselingkuh dengan istrinya, demikian pikir Harun saat itu.
Begitu juga ketika menjelang lebaran Idul fitri lalu, saat dirinya melihat Entin mengirim banyak makanan ke rumah Uus, Harun sama sekali tidak menaruh curiga. Malahan Harun merasa senang istrinya cukup memperhatikan saudaranya yang sedang ditinggal lama istrinya. Apalagi ketika Entin pulang, dan diperlihatkannya beberapa lembar uang lima puluh ribuan pemberian Uus, Harun pun ikut senang juga.

Barulah dalam satu bulan ini Harun seringkali melihat istrinya uring-uringan. Setiap menyerahkan uang hasil usahanya seharian, dikatakan Entin tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Lalu dikatakannya juga kalau Harun sebagai lelaki yang tak tahu diri. Sudah tak mampu mencukupi nafkah sehari-hari, kehangatan di malam hari pun tidak ditemukan lagi. Dan seperti diakuinya, Harun memang sudah beberapa tahun ini tak memiliki gairah lagi. Bisa jadi karena faktor usia, atau juga terlalu kecapekan bekerja keras saban hari.

Puncaknya sebulan lalu, Entin mengakui kalau dirinya selama ini memiliki hubungan gelap dengan Uus. Malah sudah seringkali dirinya melakukan hubungan layaknya suami-istri. Lalu dengan gamblangnya Entin minta cerai dari Harun. Dan ingin dikawinkan dengan Uus. Juga harus disaksikan oleh Harun. Kalau tidak Entin mau bunuh diri.


Apa boleh buat. Daripada persoalan semakin runyam, kemarin malam Harun berterus-terang menyampaikan persoalan rumah tangganya kepada beberapa orang tetua kampung. Dan malam itu juga meminta bantuan untuk bersama-sama menyerahkan istrinya kepada Uus. ***

Share:

Monday 2 May 2016

Indonesia Dewasa Ini di Mata Bung Karno dan Pak Harto


Pada suatu ketika saya mendapat kesempatan untuk berdialog dengan Presiden pertama dan Presiden kedua Republik Indonesia ini. Kebetulan dua sosok pemimpin bangsa ini ketika saya temui sedang berbincang  serius  di sebuah taman yang entah dimana, tetapi jelas masih di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aneh. Bisa-bisanya Bung Karno dengan Pak Harto begitu akrabnya, duduk dalam satu meja. Bukankah waktu itu Bung Karno dikudeta oleh Jenderal bintang lima ini. Malahan sampai ditahan di Wisma Yasa lagi.
Tapi bisa jadi yang namanya politik tidak ada teman dan musuh yang abadi. Saya malah bersyukur keduanya bisa akur kembali.
Dari kejauhan saya melihat Bung Karno – seperti biasanya bicara lantang dan berapi-api dengan lawan bicaranya. Sedangkan Pak Harto menanggapinya dengan tutur kata yang kalem, dan selalu dibarengi smiling General-nya yang terkenal itu.  Dan saat jarak antara saya dengan beliau-beliau ini sudah dekat,  saya menghentikan langkah. Ada sedikit keraguan, dan takut mengganggu keasyikan mereka berdua yang kelihatannya cukup serius.
 Bung Karno rupanya yang pertama kali melihat kehadiran saya. Sambil melambaikan tangannya, beliau berteriak memanggil.
“Hei, kamu.  Ayo ke sini !”
“Kebetulan ada anak muda angkatan ‘98. Mungkin bisa melengkapi diskusi ini, “ kata Bung Karno sambil menerima jabat tangan saya. Sedangkan Pak Harto hanya mengangguk sambil tetap tersenyum. “Eh, ngomong-ngomong, kamu waktu itu ikut demonstrasi melengserkan  Bapak yang satu ini ya ? ” Bung Karno melempar tanya seraya telunjuknya menuding ke arah Pak Harto.
Saya hanya mengangguk kecil sambil tersipu menjawab pertanyaan itu. Lalu saya menatap Pak Harto. Tak ada reaksi sama sekali. Dan senyumnya justru semangkin, eh, semakin mengembang.
“Silahkan duduk, nak !” Pak Harto menyuruh saya untuk menempati kursi yang ada di antara beliau dengan Bung Karno.
Diam-diam dalam hati muncul suatu kebanggaan tersendiri. Saya bisa duduk bersama dua orang mantan Presiden. Betapa ini sebuah kehormatan, dan anugrah Tuhan juga.
“Sebagaimana Negara Kesatuan Republik indonesia ini, adalah suatu anugrah Tuhan YME yang tiada terhingga bagi seluruh bangsa di Nusantara. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban semua rakyat untuk menjaga, dan memeliharanya, agar anak-cucu kita, dapat menikmati kehidupan yang damai dan sejahtera di negeri zamrud khatulistiwa yang kaya-raya alamnya, sebagaimana cita-cita kami dahulu saat merebut kemerdekaan negara ini dari tangan kolonialis,” ujar Bung Karno seperti menyambung apa yang muncul dalam hati saya.
Saya mengangguk takzim.
“Ketika saya dilengserkan oleh mereka yang mengaku sebagai para reformis, dengan alasan untuk memperbaiki negeri ini agar lebih demokratis lagi,  dan agar cita-cita Bung ntuk umenjadikan negeri ini sebagai negara yang adil-makmur, gemah ripah repeh rapih loh jinawi dapat segera tercapai. Akan tetapi kenyataannya yang saya saksikan sekarang ini, seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita bangun malah diacak-acak, dirusak, dengan mengatasnamakan Bung dan saya. Mereka saling berebut kekuasaan demi kepentingan diri sendiri dan golongannya. Sementara rakyat dibiarkan sengsara, “ Pak Harto yang sejak tadi hanya mengumbar senyum angkat bicara.
“Sehingga kalau dipikir-pikir sepertinya rakyat kecil justru lebih menikmati kehidupan pada jaman kepemimpinan saya. Iya tokh, Nak ? Enakan di jamanku ‘kan?” sambungnya seraya menatap ke arah saya.
Sungguh. Saya tak mampu menjawab pertanyaan Pak Harto tersebut. Bagaimanapun saya merasa malu. Malu kepada kedua Founding fathers ini, terlebih merasa malu pada diri sendiri. Karena terus terang, meskipun peran saya teramat kecil ketika itu, saya termasuk orang yang mengaku reformis itu. Sedangkan kenyataannya sekarang ini...
Ya, begitulah. Para elit seakan tak lagi memikirkan nasib rakyat yang kian terombang-ambing tak menentu. Mereka justru sibuk sikut sana tendang sini demi mengamankan ambisi diri sendiri dan golongannya masing-masing. ***
#Sekilas dalam Dialog Imajiner bersama dua mantan Presiden 
Share:

Awal Mula Munculnya Partai Komunis di Indonesia


Belakangan ini di negeri kita sedang ramai diperbincangkan mengenai munculnya tuntutan agar Presiden Jokowi menyampaikan permintaan maap kepada korban pelanggaran Ham pasca-1965. Tuntutan itu muncul dari kelompok pegiat hak asasi manusia, termasuk juga lembaga Komnas HAM. Bahkan baru-baru ini telah diselenggarakan sebuah simposium terkait hal itu.

Tragedi yang bermula dengan peristiwa pembantaian tujuh perwira TNI-AD, yakni enam perwira tinggi dan satu perwira pertama itu selama ini dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September, dan di belakangnya selalu ditambah dengan tulisan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Sejarah Orde Baru menulis apabila peristiwa tersebut memang terkait dengan PKI yang selama awal kemerdekaan negara ini sampai tumbangnya rezim Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dilegalkan di Indonesia. Bahkan termasuk parpol yang memiliki basis massa lumayan banyak.

Terlepas dari pro dan kontra tuntutan permintaan maap pemerintah terhadap para korban pasca peristiwa G30S/PKI itu, penulis mencoba mencari tahu awal mula munculnya partai politik yang sejak rezim Orde Baru sampai sekarang dinyatakan terlarang itu.


Awal mula terbentuknya PKI  tak bisa dipisah dari untaian Sarekat Islam (SI) dan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Sedikit banyak rekam jejak Sarekat Islam sudah diulas dalam serial sebelumnya. Kini, giliran ISDV... 

Majalah De Indier, pimpinan Dr. Tjipto Mangunkusumo edisi Mei 1914 memuat berita lahirnya ISDV. Berikut cuplikannya: 

Dengan dipersiapkan terlebih dahulu oleh Tuan Reeser, seorang pemuda dari kaum sosial demokrat Hindia, pada hari Sabtu tanggal 9 Mei 1914 telah berlangsung di Gedung Marine Surabaya, rapat pertama kaum sosial demokrat Hindia di mana dihadiri oleh lebih dari 30 orang, sementara yang bertempat tinggal jauh mengirimkan telegram dan surat persetujuannya.

Sejak lahir, ISDV merumuskan 8 pasal programnya; 
1. Memperjuangkan kemerdekaan atas kehancuran kapitalisme. Kaum buruh dan tani karena senasib harus bersatu melawan.
2. Mempersatukan rakyat, buruh dan tani segala bangsa dan agama atas dasar perjuangan kelas. 
3. Mendidik rakyat dengan pengetahuan sosialisme.
4. Membangun koperasi untuk kaum tani.
5. Membangun serikat-serikat buruh.
6. Menerbitkan surat kabar-surat kabar.
7. Menyiarkan buku-buku sosialisme.
8. Turut memilih dalam pembentukan badan-badan perwakilan dan berjuang dalam badan-badan perwakilan ini.

"Dengan program 8 pasal tersebut, ISDV berusaha mengadakan persatuan dengan Sarekat Islam, Budi Utomo dan Indische Party," tulis Busjarie Latif dalam Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920-1965)

Usaha ISDV membuahkkan hasil. Para jurnalis dari kelompok-kelompok tersebut bersatu membangun Inlandse Journalisten Bond (IJB) pada 1914. Sekadar catatan, masa itu sebuah organisasi normlanya punya surat kabar. 

Dalam kepemimpinan IJB, terdapat nama Dr. Tjipto Mangunkusumo dari Indische Party, Agus Salim dari Sarekat Islam, dan Marco dari ISDV.
Nama Tjiptomangunkusumo dan Haji Agus Salim cukup familiar. Bagaimana dengan Marco dari ISDV? 

Si Tajam Pena
Nama panjangnya Marco Kartodikromo. Bila Anda googling nama tersebut, maka akan didapat informasi bahwa dia adalah jurnalis dan penulis. 

Ada kisah Marco yang belum banyak diketahui orang, dan agaknya mbah gugel juga belum tahu. Khusus buat pembaca sekalian, kita akan ceritakan (sebenarnya ini rahasia)...

Marco anak nakal dari Cepu. Sangat nakal. Dia pandai main pisau. Lempar pisau memang keahliannya. Nah, suatu waktu dia dititipkan ke Tirto Adhi Soerjo, pemimpin redaksi Medan Prijaji--sekaligus pendiri Sarekat Dagang Islam, kemudian berganti Sarekat Islam (SI).

Di tangan Tirto, Marco yang tadinya si tajam pisau, berubah menjadi si tajam pena. Tirto menempahnya jadi jurnalis di Medan Prijaji. Saat Medan Prijaji digulung pemerintah Hindia Belanda, dia menulis untuk Sarotomo, korannya SI cabang Solo. Kemudian Marco menerbitkan Doenia Bergerak

Karena penanya yang tajam, tokoh IJB ini kerap keluar masuk penjara kolonial, terkena delik pers. 
Di ranah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, anak didik Tirto ini pernah menjadi pimpinan teras SI Solo, ISDV dan kemudian PKI. Dia ikut dibuang ke Boven Digul ketika meletus pemberontakan PKI 1926-1927.

Kongsi Para Jurnalis

Angin Revolusi Rusia 1917 sampai pula ke Hindia Belanda. Tjipto Mangunkusumo menaikkan tulisan Sneevliet, dedengkot ISDV tentang kemenangan Lenin dan kaum Bolshevik di surat kabar yang dipimpinnnya, De Indier

"Lonceng kemerdekaan kini terdengar di mana-mana...apakah suara lonceng kegembiraan juga sampai di kota-kota dan desa-desa negeri ini?..di sini hidup rakyat yang menghasilkan kekayaan yang telah berabad-abad mengalir ke lemari besi kaum yang berkuasa di Eropa Barat, terutama di negeri kecil yang menjalankan kekuasaan politik di sini..." --begitu cuplikan tulisan Sneevliet di De Indier, 19 Maret 1917. 

Seiring berjalan waktu, kongsi kaum pergerakan dari berbagai aliran tak lagi hanya di ranah jurnalistik. Sebab memahami bahwa organisasi hanyalah alat perlawanan, maka, tak sedikit aktivis yang rangkap organ dan rangkap jabatan.

Hal ini tercermin dalam perdebatan kubu Semaoen, Ketua SI Semarang dan kubu Hartogh, Ketua ISDV saat kongres VII ISDV di Semarang, 23 Mei 1920. 

Semaoen bersikeras merubah ISDV menjadi PKI. Sementara Hartogh menolak. Berikut cuplikan ringkas perdebatan kedua kubu tersebut, sebagaimana dilansir dari majalah ISDV, Het Vrije Woord, 25 Juni 1920: 

Semaun, Bergsma, csBanyak orang menamakan dirinya sosialis, tetapi sebetulnya mereka pengkhianat-pengkhianat sosialis. Di Hindia juga terdapat sosialis-sosialis palsu. Sosialisme palsu mematahkan kepercayaan-kepercayaan proletariat akan kemampuan dirinya sendiri dan terpaksa menggantungkan diri pada kapitalisme

HartoghSudahkah kita siap sekarang? Pergerakan sosialisme di Indonesia baru tumbuh. Masih ada orang yang merangkap keanggotaan Budi Utomo dengan ISDV dan sebagainya. Dan usul perubahan ini baru kemauan dari beberapa orang saja, belum kemauan anggota yang luas.
Pendeknya, kubu Semaoen berhasil memenangkan gagasannya. Itulah kongres terakhir ISDV, karena selanjutnya organ ini berganti nama jadi PKI.

PARTAI Komunis Indonesia lahir dari "persekawinan" Sarekat Islam (SI) dan Indische Societal Democratishe Veereniging (ISDV). Mari kita telusuri rekam jejak dua organ tersebut. Dimulai dari Sarekat Islam...

Pemimpin redaksi Medan Prijaji, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo mendirikan Sarekat Dagang Islamiah--kemudian menjadi Sarekat Dagang Islam--di Bogor, pada 1909. Tirto adalah kakek buyut dari penyanyi Dewi Yull.

"Maka R.M Tirto Adisuryo berkelilinglah seluruh Jawa tapi yang dikunjunginya hanya kota-kota besar saja. Di kota-kota besar itu masing-masing dianjurkan mendirikan Sarekat Dagang Islam. Akhirnya dia sampai di Solo," papar Dr. Moh. Hatta dalamPermulaan Pergerakan Nasional.
Apa yang diceritakan Bung Hatta berkesesuian dengan surat rahasia Residen Surakarta, F.F. van Wijk pada Gubernur Jenderal Idenburg, 11 Agustus 1912: 

Perhimpunan Sarekat Dagang Islam didirikan di sini (Solo--red) beberapa bulan yang lalu oleh redaktur kepala Medan Prijaji yang terkenal itu; Raden Mas Tirtoadisurjo. Juga di Buitenzorg sudah berdiri perhimpunan seperti itu juga pada 1909. Dalam waktu dekat jumlah anggota membengkak cepat.

Sekadar catatan, penulisan nama Tirto di atas berbeda-beda sesuai sumber rujukan literatur. 
Nama Sarekat Dagang Islam (SDI) tidak lama. Merujuk pasal I Peraturan Dasar yang disusun Tirto tanggal 9 November 1911, "Perkumpulan Sarikat Islam akan didirikan pada tiap-tiap tempat di mana terdapat anggota sekurang-kurangnya 50 orang...kalau anggotanya kurang dari 50 orang, tidak diadakan."

Setahun kemudian, persisnya 10 September 1912, Sarekat Islam dicatatkan di notaris. "Sifat perkumpulan itu disebutnya nasional demokratis. Ini berbau politik," kata Bung Hatta. 
Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dalam Naar Aanleiding van de Relletjes, menulis, "Tirto gaf de leiding over aan H. Samanhoedi van Solo. (Tirto menyerahkan kepemimpinan (SI--red) ke H. Samanhudi dari Solo."

Lima tahun lamanya Haji Samanhudi memegang tampuk kepemimpinan SI, "kemudian tersingkir sama sekali oleh Tjokroaminoto setelah ia membuat Central SI tandingan," tulis Pramudya Ananta Toer dalam Sang Pemula.

Tjokroaminoto kakek buyut penyanyi Maia Estianty. Di bawah kepemimpinannya, SI meluas. Dia tokoh legendaris SI. 

SI Merah

 Kongres SI V diadakan di Yogyakarta, 2 hingga 6 Maret (versi Semaoen 1921 dan versi Lembaga Sejarah PKI 1920. Keduanya menggunakan tanggal yang sama. Hanya beda tahun).   

Dalam kongres itu, dua kader terkemuka SI, Semaoen dan Haji Agus Salim menyusun dasar baru organisasi. Disimpulkan bahwa kapitalisme-lah pangkal bala penjajahan di lapangan kebangsaan dan perekonomian. Dan ini harus dilawan.   

Mengusung semangat yang sebetulnya sama, sama-sama melawan kapitalisme, Semaoen, Komisaris SI Daerah Jawa Tengah yang berkedudukan di Semarang, mendirikan dan terpilih menjadi ketua PKI pada 23 Mei 1920.

Ini membuat Abdul Muis, tokoh SI Bandung berang. Dia menyoal masalah rangkap keanggotaan. Maka pada Kongres SI VI, 10 Oktober 1921 di Surabaya, setelah melampui perdebatan sengit, diputuskan anggota SI yang komunis dan pro komunis keluar dari SI.

Kubu komunis tidak begitu saja menyerah. Mereka membentuk SI Merah dan mempengaruhi kongres SI 1923 di Madiun. Ratusan bendera merah bergambar palu arit bergantungan di dinding dan di meja podium. 


"Kongres ini berjalan dalam suasana ribut dan kacau, di mana podium digulingkan," tulis Busjarie Latif dalam Manuskrip Sejarah PKI (1920-1965).

Share:

Sunday 1 May 2016

Sepasang Suami-Istri Pada Suatu Ketika


Menjelang senja yang basah usai hujan sepanjang sore tadi, sepasang suami istri sedang menikmati teh hangat sambil menanti tibanya malam hari,  di teras belakang rumah mereka.

 “Sepertinya kamu tidak pernah merindukan cucu kita yang di Jakarta, ya ?!” kata istrinya seraya membetulkan letak kacamatanya. 

“Ah, siapa bilang ? Justru saking rindunya aku tidak lagi bisa menulis seperti biasanya.” 

“Lalu apa saja yang dikerjakan saban malam di kamar kerja ?” 

“Paling hanya membaca. Dan kalau tidak, mengikuti berita dari media online. Itu saja.” 

“Hmmm... Pantesan dua minggu ini kamu tidak pernah lagi ke bank.” 

Lewat ekor matanya, istrinya melihat suaminya mengeluarkan bungkusan rokok kretek dari saku jaketnya.

 “Pantesan batuk-batuk terus. Rupanya kamu belum juga berhenti...” 

Seperti maling yang tertangkap basah, suaminya buru-buru memasukan lagi bungkusan rokok kreteknya. Tapi terlambat. Istrinya berdiri, lalu mendekatinya seraya tangannya merogoh saku jaket suaminya. Bungkusan rokok itu kemudian dilemparkannya ke halaman yang masih tergenang air hujan.

 *** 

Usai shalat Maghrib, istrinya duduk di depan televisi. Sementara tangannya masih tetap memegang tasbih. 

Tak lama kemudian, ia memanggil suaminya dengan suara yang menengahi suara penyiar di televisi.

 “Pak, coba ke sini. Ada berita dari Poso. Pasukan Brimob katanya akan melakukan operasi lagi untuk mengepung Santoso. Siapa tahu si sulung disorot kamera...” 

Dari dalam kamar suaminya tergesa keluar. Lalu duduk di samping istrinya. Hanya saja dia lupa dengan rokok yang dijepit jari tangan kirinya. 

“Nah, sudah diingatkan masih bandel juga rupanya...” jerit istrinya sambil menatap tajam. Suaminya tersenyum kikuk. Lalu beranjak menuju pintu depan. Rokok kretek yang masih panjang itu dibuangnya ke luar.

“Masih jorok lagi. Buang rokok sembarangan. Seperti suka menyapu saja,” omel istrinya lagi. 

“Sudah. Jangan duduk di dekatku. Malam ini pun jangan tidur di kamarku. Bau rokok!” Keduanya duduk berjauhan. Sedangkan di layar televisi penyiar telah menyampaikan berita lain lagi. 

Tak ada lagi pembicaraan di atara mereka. Keduanya seakan asyik dengan menyaksikan tayangan acara di layar kaca. 

Sebuah sinetron yang seakan gambaran perjalanan hidup rumah tangga mereka. Sepasang suami-istri yang kesepian menjelang hari tuanya. Anak-anaknya sudah pergi meninggalkan keduanya untuk mengikuti gurat nasibnya masing-masing. 

Sebagaimana tugas orang tua, setelah dilahirkan dari rahim ibunya, keduanya membimbing dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih-sayang. Dan setelah anaknya dewasa, suami-istri itu pun kembali hidup hanya berdua saja. 

Saat melirik, tampak istrinya komat-kamit. Lalu perlahan dia beranjak menuju kamar kerjanya. Meninggalkan istrinya yang tampaknya masih terpukau dengan lakon itu.

 *** 

Lelaki tua itu duduk di kursi goyang. Sebuah novel lama karya Ernest Hemingway, The Old Man and The Sea sedang dibacanya. Padahal sudah berulang kali dalam hidupnya lelaki itu membaca karya pengarang Amerika Serikat yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri itu. 

Mata lelaki itu memang sedang mengeja kata demi kata yang tertera dalam buku cerita itu. Akan tetapi pikirannya melayang-layang jauh sekali. Seperti mengikuti Pak tua yang berlayar untuk memancing di samudera luas. 

Ia teringat kepada anaknya yang sulung, dan sudah beberapa tahun ini tidak pernah bertemu lagi. Kecuali bicara lewat sambungan telpon genggam dengan fitur video call. Pernikahannya dengan gadis di tempat tugasnya, sampai sekarang sesudah memiliki  anak, tidak sekalipun melihatnya secara langsung. Jarak yang memisahkan orang tua dan anaknya itu mesti ditempuh dengan melewati laut dan udara yang lumayan jauh. Selain biaya perjalanan yang lumayan mahal, juga kesibukan mengurus kebutuhan hidup sehari-hari menjadi kendala yang sulit untuk dienyahkan. 

Sedangkan anaknya yang kedua, yang biasanya mudik bersama suami dan anaknya saban ada libur panjang, sejak mengantar pulang ibunya dari ibadah umrah setahun lalu, setelah itu tak pernah mengunjunginya lagi. Mungkin karena masih tersinggung saat suaminya diomeli gara-gara bersikap tidak sopan terhadap dirinya. Bukannya sok gila hormat, tapi seorang anak sudah sepatutnya bersikap hormat pada orang tuanya. Apalagi di depan mertua sendiri, memantunya itu bersikap kasar pada istrinya, yang tak lain anaknya sendiri. Jangan-jangan di belakangnya malah diperlakukan lebih dari itu. 

Akan tetapi semua itu sudah terjadi. Anak-anak yang sudah dewasa telah memilih jalannya sendiri-sendiri. Sebagai orang tua mungkin sekarang ini paling hanya menyaksikannya saja. Sebagaimana menyaksikan sebuah lakon sinetron saja. ***

Dapat ditemukan juga di...
Share:

Inilah Pelajaran Berharga dari Yusril Ihza Mahendra


Postingan ini terkait dengan bahasan sebelumnya, yaitu bagaimana setiap jurnalis harus memiliki semangat dan sikap sebagai “cub reporter.” Karakter dari “cub”, yakni anak singa yang lincah loncat sana loncat sini sebagaimana telah saya jelaskan, harus dijadikan “ethos” kerja wartawan, bahkan bagi wartawan senior sekalipun.
Namun demikian, menjadi “cub reporter” saja tidaklah cukup. Lincah saja tidak cukup. Bagaimana mungkin kelincahan dimiliki tetapi saat berhadapan dengan narasumber si wartawan lincah itu langsung diam seribu bahasa? Jangan sampai prilaku memalukan ini terjadi saat bekerja di lapangan.
Apa yang harus dilakukan seorang jurnalis agar tidak terdiam seribu bahasa saat menghadapi narasumber yang berhasil dikejar atau ditangkapnya?
Pengetahuan! Ya, pengetahuan.
Izinkan saya menulis sebagaimana judul tulisan ini, yakni tentang pelajaran menulis berita dari Yusril Ihza Mahendra. Apa kaitannya Yusril dengan dunia jurnalistik? Apa kaitannya profesor hukum tata negara itu dengan pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang wartawan?
Izinkan saya bercerita.....
Pada kurun waktu 1997-1998, sesaat setelah pemerintah Soeharto tumbang, dipersiapkanlah seperangkat undang-undang oleh orang-orang orde reformasi. Bukan hanya itu, bahkan "babon"-nya undang-undang, yakni konstitusi yang dikenal sebagai Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) -yang sebelumnya “sakral” untuk disentuh (diubah) seperti halnya kitab suci— turut diubah juga. Sesuatu yang luar biasa saat itu.
Sebagai jurnalis, saya kemudian bersinggungan dengan draft perubahan atau amandment konstitusi ini. Demikian alot pergulatannya, sampai-sampai ada partai yang menghendaki 7 kata dalam Piagam Jakarta pun dimasukkan kembali. Sekadar mengingatkan, makna dari “tujuh kata” ini adalah, sistem politik dan pemerintahan NKRI dijalankan beradasarkan syariat Islam.
Pergulatannya memang ada di tingkat Panja maupun Pansus, tetapi kandas sebelum masuk Sidang Paripurna. Akan tetapi yang jelas, harapan ini kandas karena mayoritas anggota MPR belum menghendakinya. Sebagai sebuah perjuangan dari kalangan umat Islam, ini juga tercermin dalam amandment konstitusi itu.
Ups... tulisan ini tidak bermaksud berpanjang-panjang menjelaskan soal konstitusi, tetapi kembali ke cerita awal, bahwa pada kurun waktu itu, yakni 1997-1998, saya banyak bersinggungan dengan sejumlah pakar, khususnya hukum tata negara, dan dalam kaitan inilah saya mengenal Profesor Yusril Ihza Mahendra.
Saat kran pendirian parpol dibuka, tersebutlah 48 partai politik yang berhak ikut Pemilu 1999. Yusril adalah salah satu pendiri dan bahkan ketua Partai Bulan Bintang. Tetapi sekali lagi, persinggungan saya dengan Yusril lebih banyak soal hukum tatanegara tinimbang personanya sebagai petinggi partai politik.
Dari persinggungan itu, Yusril adalah pakar hukum tata negara yang secara tidak langsung mengajarkan saya tentang satu hal; PERSIAPAN!
Saya tidak tahu, mungkin juga tidak terlalu peduli, apakah rekan-rekan wartawan dari media lain yang berkerubung di Gedung MPR-DPR itu “ngeh” dengan “ajaran” Yusril yang tak nampak (invisible) ini, tetapi bagi saya itu nyata. Saya bahkan sampai ambil kesimpulan saat itu; jangan sekali-kali bertanya tentang hukum tata negara untuk kepentingan amandment konstitusi kalau kita tidak siap dan tidak punya persiapan!
Ciri khas Yusril sebagai pakar hukum tata negara adalah “balik bertanya” kepada wartawan yang mencecarnya tetapi dengan catatan, cecaran si wartawan itu dilihatnya sebagai peluru hampa. Yusril akan dengan mudah menangkap pertanyaan keliru wartawan, baik secara historis berupa gejala anakronisme, etika, maupun butir-butir pasal dan kaitannya dengan turunan Tap MPR dan Undang-undang.
Sebagai contoh, jangan bertanya apakah Tap MPR yang dianggap sebagai pembenaran rezim untuk hal-hal yang luput diatur konstitusi perlu didihapus atau tidak. Salah-salah Yusril akan balik bertanya, “Menurut Saudara sendiri (wartawan), apakah Tap MPR masih perlu dipertahankan atau dihapus?”
Inilah ciri khas Yusril. Kalau saya selaku wartawan tidak siap dengan jawaban itu, mau ditaruh di mana wajah saya ini! Ketika Yusril sebagai narasumber meminta wartawan menjawabnya, secara etis wartawan juga harus mampu menjelaskannya. Kepada Yusril, tidak bisa berapologi, “Lho saya ‘kan wartawan, tugas saya ‘kan bertanya!”
Tidak. Itu tidak berlaku bagi Yusril. Dia tahu wartawan sedang mencari isu. Lalu pertanyaan yang paling gampang disampaikan meski tanpa persiapan alias hanya berbekal “peluru hampa” adalah soal perlunya Tap MPR dipertahankan atau sebaliknya dihapus. Yusril tahu, jawaban “ya” atau “tidak” darinya akan disusul kembali oleh pertanyaan wartawan, “mengapa ‘ya’ atau mengapa ‘tidak’”.
Bagi Yusril, pekerjaan wartawan bukan jadi “penadah” muntahan omongan orang, kendati itu omongan profesor sekalipun. Wartawan bukanlah “ember” penampung omongan orang. Juga bukan “tape recorder” atau aplikasi perekam suara. Bagi Yusril, wartawan adalah “teman diskusi” dan hasil chit-chat itulah yang bakal dijadikan isu, kemudian ditulis di media pada keesokan harinya.
Inilah yang dimaksud isi kepala tidak boleh kosong, harus selalu terisi ilmu pengetahuan. Jadi “cub reporter” yang lincah saja tidaklah cukup. Jika kepala sudah terisi mengenai pengetahuan ketatanegaraan, misalnya, pertanyaan yang memancing jawaban “ya” atau “tidak” mungkin tidak akan disampaikan.
Format pertanyaan dengan jawaban “ya” atau “tidak” perlu dihindarkan. Berbeda misalnya jika pertanyaan wartawan dibungkus seperti dialog dengan sedikit memberi “repertoir” (pembuka) sebagai berikut:
“Tap MPR selama pemerintahan Orde Baru sering dijadikan alat kekuasaan. Ada wacana menghapus seluruh Tap MPR, padahal secara hierarkis Tap MPR berada di bawah konstitusi dan beberapa di antaranya diperlukan untuk mengatur ketatanegaraan sebagai penjabaran konstitusi. Apakah Tap MPR memang sudah tidak diperlukan lagi untuk kondisi sekarang ini?”
Sebagai pakar hukum tatanegara, Yusril akan menjelaskan konsekuensi kalau sebuah Tap MPR/MPRS dihapus. Misalnya Tap MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran PKI dihapus, konsekuensinya PKI bisa hidup kembali di Indonesia. Bukankah ini berita besar?
Dari wawancara ini saja wartawan kira-kira bisa menangkap isu besar atas apa yang ditanyakannya kepada Yusril selaku narasumber. Isu PKI masih dianggap “seksi”, apalagi saat kran reformasi dibuka, seolah-olah partai politik berhaluan komunis itu bisa hidup lagi, apalagi dengan “mengakali” penghapusan Tap MPRS yang terkait pemburannya.
Sekarang, Yusril, pakar hukum tata negara yang sedang saya ceritakan ini, tengah berjuang untuk bisa menjadi calon gubernur DKI Jakarta. Itu urusannyalah, yang pasti tulisan ini bukan mengenai politik.
Tulisan ini semata-mata mengenai dunia kepenulisan dan jurnalistik yang kebetulan sosok Yusril telah menginspirasi saya selaku jurnalis lapangan. Bahwa di luar ada sekelompok orang tidak menyukai sepak terjangnya, membenci sikapnya yang katanya "nyinyir", saya harus mengatakan “It’s none of my business”. Ini soal dunia tulis-menulis!
Okay... pada kesempatan berikutnya saya akan membahas bagaimana cara “mengisi” atau “men-charge” kepala jurnalis dengan “vitamin” yang bermutu itu, agar saat ditanya balik oleh narasumber seperti Yusril wartawan tidak gelagapan...
Share:

Proklamasi tanpa Bung Kecil


JALAN Maluku 19, Menteng, Jakarta, dua hari sebelum proklamasi. Soebadio Sastrosatomo, kala itu 26 tahun, bertamu ke rumah Sjahrir. Badio, begitu Soebadio biasa disapa, adalah pengikut Sjahrir yang setia. Kelak keduanya bersama-sama mendirikan Partai Sosialis Indonesia. Siang terik. Badio haus luar biasa. Sjahrir menawari anak muda itu minum, tapi Badio menolak. Itu hari di bulan Ramadan: Badio sedang puasa.

Ada yang tak biasa pada Sjahrir hari itu: rautnya sumpek. Sebelumnya, si Bung baru saja bertemu dengan Soekarno, yang mengajaknya bermobil keliling Jakarta. Di jalan, Soekarno mengatakan tak secuil pun ada isyarat Jepang akan menyerah. Soekarno ingin membantah informasi yang dibawa Sjahrir sebelumnya bahwa Jepang telah takluk kepada Sekutu.

Sjahrir mengatakan ini sebelum Soekarno-Hatta berangkat ke Dalat, Vietnam, untuk bertemu dengan Marsekal Terauchi, Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Tenggara. Sjahrir berkesimpulan tak ada gunanya berunding dengan Jepang. Pada 6 Agustus 1945, Jepang toh telah luluh-lantak oleh bom atom Sekutu.

Mengetahui Bung Karno tak mempercayainya, Sjahrir berang. Ia menantang Soekarno dengan mengatakan siap mengantar Bung Besar itu ke kantor Kenpeitai, polisi rahasia Jepang, di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, untuk mengecek kebenaran informasi yang ia berikan. Sjahrir mengambil risiko: di kantor intel itu ia bisa saja ditangkap.


Tapi Soekarno menolak. Ia yakin Jepang belum menyerah. Itulah yang membuat Sjahrir marah meski ia tak menyampaikannya secara terbuka kepada Bung Karno.

Kepada Badiolah murka itu dilampiaskan. "Sjahrir mengumpat Soekarno man wijf, pengecut dan banci," kata Badio dalam Perjuangan Revolusi (1987). Menurut Badio, itulah marah paling hebat Sjahrir sepanjang persahabatan mereka.

Soekarno tahu Sjahrir sering memakinya. Dalam biografi karya Cindy Adams, Soekarno mengatakan Sjahrir menyalakan api para pemuda. "Dia tertawa mengejekku diam-diam, tak pernah di hadapanku. Soekarno itu gila... kejepang-jepangan... Soekarno pengecut."

Sehari sebelum Badio berkunjung, 14 Agustus 1945, Sjahrir dan Hatta menemui Soekarno di rumahnya di Pegangsaan Timur 56 dan meminta Bung Karno segera mengumumkan proklamasi kemerdekaan. Soekarno berjanji mengumumkan proklamasi pada 15 Agustus setelah pukul lima sore. Sjahrir segera menginstruksikan para pemuda mempercepat persiapan demonstrasi. Mahasiswa dan pemuda yang bekerja di kantor berita Jepang, Domei, bergerak cepat menjalankan instruksi itu.

Tapi Sjahrir mencium gelagat Soekarno tak sepenuh hati menyiapkan proklamasi. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, badan yang bertugas menyiapkan kemerdekaan sesuai dengan permintaan Jepang, tak menunjukkan gelagat akan berhenti bekerja.

Panitia misalnya mengagendakan sidang pertama 19 Agustus 1945. Soekarno ketua dan Hatta wakil dalam panitia ini. "Ini akal-akalan Jepang," kata Sjahrir dalam Renungan dan Perjuangan. Sjahrir mengusulkan proklamasi tak menunggu Jepang. Proklamasi, kata Sjahrir, bentuk perlawanan terhadap Jepang. Inilah saatnya melancarkan aksi massa. "Aku penuh semangat. Aku yakin saatnya telah tiba. Sekarang atau tidak sama sekali," kata Sjahrir.

Pukul lima sore 15 Agustus itu, ribuan pemuda berkumpul di pinggir kota. Mereka siap masuk Jakarta segera setelah proklamasi. Begitu proklamasi disiarkan, pemuda akan langsung berdemonstrasi di Stasiun Gambir. Domei dan Gedung Kenpeitai akan direbut. Ternyata, pukul enam kurang beberapa menit, Soekarno mengabarkan belum akan mengumumkan proklamasi. Soekarno menundanya sehari lagi.

Kabar ini membuat ribuan pemuda pengikut Sjahrir marah. Sjahrir menduga polisi rahasia Jepang tahu rencana proklamasi. Para pemuda mendesak proklamasi diumumkan tanpa Soekarno-Hatta. Tapi Sjahrir tidak setuju. Ia khawatir konflik akan terjadi di antara bangsa sendiri.

Tapi kabar bahwa proklamasi batal diumumkan tak sempat dikabarkan ke Cirebon. Pemuda di Cirebon di bawah pimpinan dokter Soedarsono-ayah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono-hari itu juga mengumumkan proklamasi versi mereka sendiri. Mereka mengatakan tidak mungkin menyuruh pulang orang yang telah berkumpul tanpa penjelasan.

Pada 15 Agustus tengah malam, Badio menemui Sjahrir. Badio mendesak Sjahrir membujuk Soekarno dan Hatta segera mengumumkan proklamasi. Sejam kemudian, Badio menemui kembali Sjahrir. Tapi, dari Sjahrir, kabar tak enak itu didengar Badio: Dwitunggal menolak menyampaikan proklamasi meski Sjahrir telah mendesak.

Pemimpin pemuda lalu pergi. Menurut Badio, mereka bertemu di Cafe Hawaii, Jakarta. Di sini mereka memutuskan untuk menculik Soekarno. Keputusan ini juga melibatkan kelompok lain, di antaranya Pemuda Menteng 31, seperti Wikana, Chaerul Saleh, dan Soekarni, serta dokter Moewardi dari Barisan Pelopor.

Sekitar pukul dua dinihari, Badio datang lagi ke Sjahrir. Ia mengusulkan penculikan Soekarno. Sjahrir tak setuju. Ia menjamin, besoknya bisa memaksa Bung Besar membaca proklamasi.

Badio pergi. Tapi satu jam kemudian ia kembali, membangunkan Sjahrir, dan mengabarkan bahwa sekelompok pemuda nekat menculik Soekarno-Hatta. Sjahrir meminta, apa pun yang terjadi, di antara mereka jangan bertikai. Yang paling penting, kata Sjahrir, proklamasi harus diumumkan secepatnya. Soekarno dalam otobiografinya menyebut Sjahrir penghasut para pemuda. "Dialah yang memanas-manasi pemuda untuk melawanku dan atas kejadian pada larut malam itu," kata Soekarno.

Dalam buku Sjahrir karangan Rudolf Mrazek (1994), Sjahrir disebut-sebut sebagai orang yang menganjurkan Soekarno dibawa ke Rengasdengklok, Jawa Barat-markas garnisun pasukan Pembela Tanah Air.

Ahmad Soebardjo, yang dekat dengan Soekarno, memberi tahu pemimpin Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang Laksamana Tadashi Maeda tentang penculikan itu. Maeda memerintahkan anak buahnya, Nishijima, mencari Wikana di Asrama Indonesia Merdeka. Nishijima dan Wikana bertengkar hebat. Nishijima memaksa Wikana memberi tahu tempat Soekarno-Hatta disembunyikan. Imbalannya: Maeda dan Nishijima akan membantu proklamasi kemerdekaan. Wikana setuju.

Soebardjo, seorang Jepang, dan dua pemuda lainnya-Kunto dan Soediro-lalu menjemput Soekarno-Hatta di Rengasdengklok. Pukul delapan pagi, Kamis, 16 Agustus, dwitunggal itu tiba di Jakarta. Sepanjang hari hingga malam, Soekarno-Hatta dan Maeda berkunjung ke sejumlah perwira penting Jepang. Penguasa militer Jepang mengizinkan proklamasi disampaikan asalkan tak dikaitkan dengan Jepang dan tidak memancing rusuh. Soekarno, Hatta, Maeda, Soebardjo, Nishijima, dan dua orang Jepang lain menyusun teks proklamasi di ruang kerja kediaman Maeda di Jalan Imam Bonjol 1, Jakarta-kini Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Baca selengkapnya...
Share: