Berbagi Sebening Hati

Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Wednesday, 1 June 2016

Di Bawah Pohon Sukun Itu, Pancasila Dilahirkan



Pada 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidato dalam rapat besar Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Di dalam rapat itu Bung Karno secara berapi-api menyadarkan peserta rapat tentang perlunya Indonesia memiliki dasar negara yang menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lima prinsip dipaparkan Soekarno beserta relevansinya bagi bangsa Indonesia. Kelima butir itulah yang disebut Soekarno sebagai Pancasila.

Ini pula yang mendasari penetapan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila.

Proses perenungan Bung Karno

Buah pemikiran Soekarno akan Pancasila tidak muncul secara tiba-tiba. Pancasila hadir sebagai hasil dari proses perenungan diri Bung Karno selama empat tahun diasingkan ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Pada 14 Januari 1934, Bung Karno bersama sang istri, Inggit Garnasih serta ibu mertua (Ibu Amsi) dan anak angkatnya, Ratna Djuami, tiba di rumah tahanan yang terletak di Kampung Ambugaga, Ende.

Kehidupan Soekarno dan keluarga di Ende serba sederhana dan jauh dari hiruk-pikuk politik seperti di kota besar.

Dibuangnya Soekarno ke daerah terpencil dengan penduduk berpendidikan rendah memang sengaja dilakukan Belanda untuk memutus hubungan Soekarno dengan para loyalisnya.

Dikutip dari buku "Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara", Soekarno jadi lebih banyak berpikir daripada sebelumnya.

Dia mulai mempelajari lebih jauh soal agama Islam hingga belajar soal pluralisme dengan bergaul bersama pastor-pastor di Ende.

Tak banyak yang bisa dilakukan Bung Karno di tempat pengasingan yang begitu jauh dari Ibu Kota itu.

Sehari-hari, Soekarno memilih berkebun dan membaca. Untuk membunuh kebosanannya dengan aktivitas yang monoton itu, jiwa seni Bung Karno kembali tumbuh.

Dia mulai melukis hingga menulis naskah drama pementasan.

Di sela kegiatan seninya, Soekarno berkirim surat dengan tokoh Islam di Bandung bernama T. A. Hassan dan berdiskusi cukup sering dengan pastor Pater Huijtink.

Dari sinilah Soekarno menjadi lebih relijius dan memaknai keberagaman secara lebih dalam.

Sebuah tempat favoritnya untuk berkontemplasi adalah di bawah pohon sukun yang menghadap langsung ke Pantai Ende.

Pohon sukun itu berjarak 700 meter dari kediaman Soekarno. Biasanya, Soekarno pergi sendiri ke tempat itu pada Jumat malam.

Di tempat itulah, Soekarno mengaku buah pemikiran Pancasila tercetus.

Ia memiliki cerita sendiri soal itu. Berikut yang dikisahkan Soekarno:

"Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari... Di sana, dengan pemandangan laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung.., di sanalah aku duduk termenung berjam-jam. Aku memandangi samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang surut, namun ia tetap menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudra luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada."

Ketika menjadi Presiden pertama Indonesia, Bung Karno kembali mengunjungi Ende pada tahun 1950.

Bung Karno tidak lupa pada pohon sukun favoritnya itu. Di sanalah Bung Karno bercerita proses pencetusan Pancasila yang kini ditetapkan sebagai dasar negara.

Sejak tahun 1980-an, pohon sukun itu kemudian dikenal menjadi Pohon Pancasila. Namun, pohon aslinya sudah mati pada tahun 1970-an.

Pemerintah setempat menggantinya dengan anakan pohon yang sama di lokasi yang sama.


 Sumber:  Kompas.com
Share:

Tuesday, 31 May 2016

Tulisan almarhum Gus Dur Tentang Laksamana Cheng Ho



Laksamana itu Seorang Penyebar Agama
Menuliskan riwayat singkat Cheng Ho (Ma Zeng He) bukanlah kerja yang mudah. Pertama, ia dikenal oleh dua kalangan yang berbeda sebagai muslim dan non-muslim. Dari sudut kemuslimannya, ia adalah seorang dari jutaan orang manusia Tionghoa yang dulunya beragama Islam. Baru kemudian, masjid yang didirikannya lalu digunakan sebagai klenteng (Bio). Dalam sebuah buku berbahasa Prancis yang terbit beberapa tahun lalu, Quatorze Neuf Deux, dinyatakan bahwa ada lima buah kejadian besar yang mengguncangkan dunia. Buku itu menceritakan bahwa pada bahwa tahun 1492, Vasco Da Gamma mencapai kepulauan Bermuda di Amerika Tengah. Dari peristiwa itu, di kemudian hari akan menyusul gelombang datangnya orang-orang Eropa utara (terutama Inggris, Prancis dan Jerman) ke Benua Amerika.

Di samping mereka, ada juga orang-orang Spanyol dan Portugis, yang sekarang membentuk bangsa-bangsa yang hidup di Amerika Tengah dan Selatan. Kedua-duanya sekarang ini dimudahkan penyebutannya menjadi Amerika Latin. Begitu pula, tidak dapat dilupakan orang-orang hitam, yang untuk menghormati mereka disebut sebagai Afro-America, dahulunya bernama Negro. Di kemudian hari, datang juga ke Amerika Serikat para imigran dari Italia, disusul imigran dari berbagai daerah terutama Russia, Armenia, Yunani, dan Lebanon. Sedang dari arah barat datanglah orang-orang Jepang dan Tionghoa, dan abad yang lalu orang-orang India (terutama Bangalore Hyderabad). 

Manusia Indonesia sendiri hanya berjumlah puluhan ribu orang, dan tidak perlu dimasukan ke dalam komponen para pembentuk Amerika Serikat. Oleh sementara orang, kesemuanya itu disebut sebagai ‘panci adukan’ (melting pot), yang sekarang disanggah oleh sementara pihak.

Pada waktu itu, kaum Tionghoa muslim telah berkembang pesat, setidaknya di pantai utara pulau Jawa. Mereka segera ‘berhadapan’ dengan pihak-pihak berbagai agama yang sudah ada terlebih dahulu, seperti kaum Hindu-Budha, terkenal dengan sebutan kaum Bhairawa (sekarang juga disebut Birawa). Dengan meninggalkan Candi Prambanan dan Borobudur, kaum Hindu-Budha itu pindah ke Jawa Timur dari kawasan Klaten sekarang di bawah pimpinan Mpu Sindok dan menirikan Kerajaan Medang dengan raja terakhir bernama Dharmawangsa. Setelah Medang dihancukan Sriwijaya, keturunan Dharamawangsa yaitu Raja Erlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan. Di akhir hayatnya Airlanga membagi dua Kahuripan menjadi Panjalu (Kediri) dengan ibukota Daha dan Jenggala beribukota di Kahuripan. Agama Hindu-Budha itu kemudian berkembang menjadi Kerajaan Singosari di sebelah utara Malang. Raja terakhirnya Prabu Kertanegara, mengambil menantu Raden Wijaya.

Ketika Raden Wijaya memberontak ia tidak mendirikan kerajaan di kawasan Gunung Bromo atau Pujon. Apa yang dilakukannya adalah mendirikan kerajaan baru di Terik, kawasan pinggiran sungai Brantas di daerah Krian. Dugaan penulis Terik adalah penyebutan lain dari kata Thariqah, artinya kalangan tarekat yang melaksanakan ajaran-ajaran tasawuf. Mengapakah mereka mendirikan Majapahit di Terik? Kemungkinan besar karena perlindungan angkatan laut Tiongkok yang sudah menjadi muslim itu. Raden Wijaya yang menurut penulis datang dari Marga Ui, memiliki penduduk beragama Islam dan agama Hindhu dan Budha. Kerajaan baru itu pada abad–abad berikutnya menampilkan Mpu Tantular dengan Negara Kertagama nya dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa ia menyerap salah satu semangat bangsa ini yang sejak dahulu -setidaknya 8 abad yang lalu sudah memiliki pluralitas/kemajemukan yang tinggi.

Di samping kejadian di atas, sekitar penghabisan Abad XV dan permulaan Abad XVI, ada empat kejadian penting yang menentukan jalannya sejarah dunia di kemudian hari. Terlebih dahulu adalah terjadinya sikap mengalah dari sebuah kerajaan Islam di daerah Pantai Barat Afrika Tengah. Ketika itu, sebuah kapal layar Eropa mendarat di pantai kawasan tersebut. Ketika terjadi pertempuran senjata antara mereka melawan penduduk setempat maka para pelaut itu menggunakan senjata api untuk bertahan. Segera saja mereka yang bersenjata api -penduduk setempat menamai mereka sebagai setan dengan senjata berlidah api- menguasai kawasan itu, dan memaksa kerajaan Islam itu berpindah dari daerah pantai ke kawasan hutan di tengah-tengah benua Afrika.

Hal ketiga adalah ketika keluarga Borgia berhasil menjadikan salah seorang warga mereka menjadi Paus Alexander VI. Wangsa Borgia menggunakan uang, jabatan dan wanita untuk “mengangkat” warga mereka itu menjadi Paus. Hal ini menjadi salah satu penyebab perbedaan pandangan di antara Gereja Katholik dan sebagian para pemrotes yang kemudian dinamai kaum Protestan terlibat dalam perselisihan besar (skisma). Skisma/perpecahan antara Gereja Katholik dan Gereja Protestan akhirnya, membawa kepada perpecahan formal antara Gereja Katholik dan Gereja Protestan dalam bentuk berbagai sinoda.

Kejadian lainnya pada era itu adalah, ketika wangsa Kazimierski di Polandia memenangkan pertempuran atas wangsa Muscovit di Russia. Segera mereka harus memecahkan masalah apakah wangsa Muscovit boleh menggunakan bahasa Russia sebagai bahasa resmi, dan bukannya bahasa Polandia. Wangsa Kazimierski tersebut memutuskan bahasa Russia, dan bukannya bahasa Polandia sebagai bahasa nasional orang-orang Russia. Keputusan fundamental ini berakibat setengah abad kemudian orang-orang Russia kembali menggumpulkan kekuatan, dan berhasil mengalahkan bangsa Polandia. Apalagi setelah kaum komunis (Bolshevik) di bawah pimpinan V.I Lenin mendirikan partai komunis Uni Soviet (PKUS) menjelang tahun 1917.

Kejadian besar kelima yang merubah jalannya sejarah, terjadi ketika seorang Kaisar cilik diangkat menggantikan ayahnya yang baru saja meninggal dunia. Dan diangkatlah seorang wali negara, yang tadinya adalah menteri peperangan. Karena ia adalah seorang pemeluk agama Konghucu yang taat, maka ia sangat takut kepada kaum muslim di kawasan rantau (hoa kiau), yang umumnya sudah menjadi muslim. Begitu ia menjadi wali negara, maka diperintahkannya kapal-kapal laut kerajaan untuk kembali ke kawasan pesisir daratan Tiongkok dan dibakar.

Segera terputuslah segala jenis komunikasi antara kawasan Rantau tersebut dengan daratan Tiongkok. Penduduk rantau yang tadinya adalah kaum Tiongkok muslim, menjadi terserap sebagai penduduk bumiputra, dan angkatan laut Tiongkok, yang tadinya menguasai lautan antara pulau Madagaskar di kawasan timur Afrika dan Ascunsion di Pulau Tahiti (lautan Pasifik), juga menjadi penduduk bumiputra. Untuk dua abad lamanya hubungan antara kawasan-kawasan tersebut dengan daratan Tiongkok terputus sama sekali. Maka kejayaan Tiongkok itu lalu di klaim antara lain oleh Majapahit, dengan konsepnya yang sekarang dinamai persemakmuran (commonwealth). Cheng Ho pada permulaan abad ke-15, yang memimpin angkatan laut Tiongkok lalu harus melakukan ekspedisi laut tujuh kali saja, dan berakhir ketika ia meninggal dunia karena sakit di Kerala (India).


Kenyataan-kenyataan sejarah seperti ini memaksa kita untuk mengerti, bahwa dua abad berikut barulah orang-orang Belanda dapat mendatangkan orang-orang Tionghoa kemari. Mereka kemudian membawa agama Budha, Konghucu dan tentu saja agama Tao. Kemudian pemerintahan Orde Baru ‘menyatukan’ penganut Budha, Tao dan Konghucu dalam apa yang dinamakan kaum Tri Dharma, terutama dibawakan oleh Walubi (Perwalian Umat Buddha Indonesia). Bagaimana dengan jasa Cheng Ho? Setelah ia meninggal dunia di kawasan Kerala itu, kawasan-kawasan yang didirikannya lalu berkembang pesat, seperti Singapura. Dari sini ternyata, bahwa seseorang pemimpin dengan membawa peranannya yang besar, dapat menimbulkan perubahan-perubahan sangat besar dalam sejarah manusia. Sangat indah hal itu, bukan?

Sumber: Gus Dur
Share:

Monday, 2 May 2016

Awal Mula Munculnya Partai Komunis di Indonesia


Belakangan ini di negeri kita sedang ramai diperbincangkan mengenai munculnya tuntutan agar Presiden Jokowi menyampaikan permintaan maap kepada korban pelanggaran Ham pasca-1965. Tuntutan itu muncul dari kelompok pegiat hak asasi manusia, termasuk juga lembaga Komnas HAM. Bahkan baru-baru ini telah diselenggarakan sebuah simposium terkait hal itu.

Tragedi yang bermula dengan peristiwa pembantaian tujuh perwira TNI-AD, yakni enam perwira tinggi dan satu perwira pertama itu selama ini dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September, dan di belakangnya selalu ditambah dengan tulisan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Sejarah Orde Baru menulis apabila peristiwa tersebut memang terkait dengan PKI yang selama awal kemerdekaan negara ini sampai tumbangnya rezim Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dilegalkan di Indonesia. Bahkan termasuk parpol yang memiliki basis massa lumayan banyak.

Terlepas dari pro dan kontra tuntutan permintaan maap pemerintah terhadap para korban pasca peristiwa G30S/PKI itu, penulis mencoba mencari tahu awal mula munculnya partai politik yang sejak rezim Orde Baru sampai sekarang dinyatakan terlarang itu.


Awal mula terbentuknya PKI  tak bisa dipisah dari untaian Sarekat Islam (SI) dan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Sedikit banyak rekam jejak Sarekat Islam sudah diulas dalam serial sebelumnya. Kini, giliran ISDV... 

Majalah De Indier, pimpinan Dr. Tjipto Mangunkusumo edisi Mei 1914 memuat berita lahirnya ISDV. Berikut cuplikannya: 

Dengan dipersiapkan terlebih dahulu oleh Tuan Reeser, seorang pemuda dari kaum sosial demokrat Hindia, pada hari Sabtu tanggal 9 Mei 1914 telah berlangsung di Gedung Marine Surabaya, rapat pertama kaum sosial demokrat Hindia di mana dihadiri oleh lebih dari 30 orang, sementara yang bertempat tinggal jauh mengirimkan telegram dan surat persetujuannya.

Sejak lahir, ISDV merumuskan 8 pasal programnya; 
1. Memperjuangkan kemerdekaan atas kehancuran kapitalisme. Kaum buruh dan tani karena senasib harus bersatu melawan.
2. Mempersatukan rakyat, buruh dan tani segala bangsa dan agama atas dasar perjuangan kelas. 
3. Mendidik rakyat dengan pengetahuan sosialisme.
4. Membangun koperasi untuk kaum tani.
5. Membangun serikat-serikat buruh.
6. Menerbitkan surat kabar-surat kabar.
7. Menyiarkan buku-buku sosialisme.
8. Turut memilih dalam pembentukan badan-badan perwakilan dan berjuang dalam badan-badan perwakilan ini.

"Dengan program 8 pasal tersebut, ISDV berusaha mengadakan persatuan dengan Sarekat Islam, Budi Utomo dan Indische Party," tulis Busjarie Latif dalam Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920-1965)

Usaha ISDV membuahkkan hasil. Para jurnalis dari kelompok-kelompok tersebut bersatu membangun Inlandse Journalisten Bond (IJB) pada 1914. Sekadar catatan, masa itu sebuah organisasi normlanya punya surat kabar. 

Dalam kepemimpinan IJB, terdapat nama Dr. Tjipto Mangunkusumo dari Indische Party, Agus Salim dari Sarekat Islam, dan Marco dari ISDV.
Nama Tjiptomangunkusumo dan Haji Agus Salim cukup familiar. Bagaimana dengan Marco dari ISDV? 

Si Tajam Pena
Nama panjangnya Marco Kartodikromo. Bila Anda googling nama tersebut, maka akan didapat informasi bahwa dia adalah jurnalis dan penulis. 

Ada kisah Marco yang belum banyak diketahui orang, dan agaknya mbah gugel juga belum tahu. Khusus buat pembaca sekalian, kita akan ceritakan (sebenarnya ini rahasia)...

Marco anak nakal dari Cepu. Sangat nakal. Dia pandai main pisau. Lempar pisau memang keahliannya. Nah, suatu waktu dia dititipkan ke Tirto Adhi Soerjo, pemimpin redaksi Medan Prijaji--sekaligus pendiri Sarekat Dagang Islam, kemudian berganti Sarekat Islam (SI).

Di tangan Tirto, Marco yang tadinya si tajam pisau, berubah menjadi si tajam pena. Tirto menempahnya jadi jurnalis di Medan Prijaji. Saat Medan Prijaji digulung pemerintah Hindia Belanda, dia menulis untuk Sarotomo, korannya SI cabang Solo. Kemudian Marco menerbitkan Doenia Bergerak

Karena penanya yang tajam, tokoh IJB ini kerap keluar masuk penjara kolonial, terkena delik pers. 
Di ranah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, anak didik Tirto ini pernah menjadi pimpinan teras SI Solo, ISDV dan kemudian PKI. Dia ikut dibuang ke Boven Digul ketika meletus pemberontakan PKI 1926-1927.

Kongsi Para Jurnalis

Angin Revolusi Rusia 1917 sampai pula ke Hindia Belanda. Tjipto Mangunkusumo menaikkan tulisan Sneevliet, dedengkot ISDV tentang kemenangan Lenin dan kaum Bolshevik di surat kabar yang dipimpinnnya, De Indier

"Lonceng kemerdekaan kini terdengar di mana-mana...apakah suara lonceng kegembiraan juga sampai di kota-kota dan desa-desa negeri ini?..di sini hidup rakyat yang menghasilkan kekayaan yang telah berabad-abad mengalir ke lemari besi kaum yang berkuasa di Eropa Barat, terutama di negeri kecil yang menjalankan kekuasaan politik di sini..." --begitu cuplikan tulisan Sneevliet di De Indier, 19 Maret 1917. 

Seiring berjalan waktu, kongsi kaum pergerakan dari berbagai aliran tak lagi hanya di ranah jurnalistik. Sebab memahami bahwa organisasi hanyalah alat perlawanan, maka, tak sedikit aktivis yang rangkap organ dan rangkap jabatan.

Hal ini tercermin dalam perdebatan kubu Semaoen, Ketua SI Semarang dan kubu Hartogh, Ketua ISDV saat kongres VII ISDV di Semarang, 23 Mei 1920. 

Semaoen bersikeras merubah ISDV menjadi PKI. Sementara Hartogh menolak. Berikut cuplikan ringkas perdebatan kedua kubu tersebut, sebagaimana dilansir dari majalah ISDV, Het Vrije Woord, 25 Juni 1920: 

Semaun, Bergsma, csBanyak orang menamakan dirinya sosialis, tetapi sebetulnya mereka pengkhianat-pengkhianat sosialis. Di Hindia juga terdapat sosialis-sosialis palsu. Sosialisme palsu mematahkan kepercayaan-kepercayaan proletariat akan kemampuan dirinya sendiri dan terpaksa menggantungkan diri pada kapitalisme

HartoghSudahkah kita siap sekarang? Pergerakan sosialisme di Indonesia baru tumbuh. Masih ada orang yang merangkap keanggotaan Budi Utomo dengan ISDV dan sebagainya. Dan usul perubahan ini baru kemauan dari beberapa orang saja, belum kemauan anggota yang luas.
Pendeknya, kubu Semaoen berhasil memenangkan gagasannya. Itulah kongres terakhir ISDV, karena selanjutnya organ ini berganti nama jadi PKI.

PARTAI Komunis Indonesia lahir dari "persekawinan" Sarekat Islam (SI) dan Indische Societal Democratishe Veereniging (ISDV). Mari kita telusuri rekam jejak dua organ tersebut. Dimulai dari Sarekat Islam...

Pemimpin redaksi Medan Prijaji, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo mendirikan Sarekat Dagang Islamiah--kemudian menjadi Sarekat Dagang Islam--di Bogor, pada 1909. Tirto adalah kakek buyut dari penyanyi Dewi Yull.

"Maka R.M Tirto Adisuryo berkelilinglah seluruh Jawa tapi yang dikunjunginya hanya kota-kota besar saja. Di kota-kota besar itu masing-masing dianjurkan mendirikan Sarekat Dagang Islam. Akhirnya dia sampai di Solo," papar Dr. Moh. Hatta dalamPermulaan Pergerakan Nasional.
Apa yang diceritakan Bung Hatta berkesesuian dengan surat rahasia Residen Surakarta, F.F. van Wijk pada Gubernur Jenderal Idenburg, 11 Agustus 1912: 

Perhimpunan Sarekat Dagang Islam didirikan di sini (Solo--red) beberapa bulan yang lalu oleh redaktur kepala Medan Prijaji yang terkenal itu; Raden Mas Tirtoadisurjo. Juga di Buitenzorg sudah berdiri perhimpunan seperti itu juga pada 1909. Dalam waktu dekat jumlah anggota membengkak cepat.

Sekadar catatan, penulisan nama Tirto di atas berbeda-beda sesuai sumber rujukan literatur. 
Nama Sarekat Dagang Islam (SDI) tidak lama. Merujuk pasal I Peraturan Dasar yang disusun Tirto tanggal 9 November 1911, "Perkumpulan Sarikat Islam akan didirikan pada tiap-tiap tempat di mana terdapat anggota sekurang-kurangnya 50 orang...kalau anggotanya kurang dari 50 orang, tidak diadakan."

Setahun kemudian, persisnya 10 September 1912, Sarekat Islam dicatatkan di notaris. "Sifat perkumpulan itu disebutnya nasional demokratis. Ini berbau politik," kata Bung Hatta. 
Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dalam Naar Aanleiding van de Relletjes, menulis, "Tirto gaf de leiding over aan H. Samanhoedi van Solo. (Tirto menyerahkan kepemimpinan (SI--red) ke H. Samanhudi dari Solo."

Lima tahun lamanya Haji Samanhudi memegang tampuk kepemimpinan SI, "kemudian tersingkir sama sekali oleh Tjokroaminoto setelah ia membuat Central SI tandingan," tulis Pramudya Ananta Toer dalam Sang Pemula.

Tjokroaminoto kakek buyut penyanyi Maia Estianty. Di bawah kepemimpinannya, SI meluas. Dia tokoh legendaris SI. 

SI Merah

 Kongres SI V diadakan di Yogyakarta, 2 hingga 6 Maret (versi Semaoen 1921 dan versi Lembaga Sejarah PKI 1920. Keduanya menggunakan tanggal yang sama. Hanya beda tahun).   

Dalam kongres itu, dua kader terkemuka SI, Semaoen dan Haji Agus Salim menyusun dasar baru organisasi. Disimpulkan bahwa kapitalisme-lah pangkal bala penjajahan di lapangan kebangsaan dan perekonomian. Dan ini harus dilawan.   

Mengusung semangat yang sebetulnya sama, sama-sama melawan kapitalisme, Semaoen, Komisaris SI Daerah Jawa Tengah yang berkedudukan di Semarang, mendirikan dan terpilih menjadi ketua PKI pada 23 Mei 1920.

Ini membuat Abdul Muis, tokoh SI Bandung berang. Dia menyoal masalah rangkap keanggotaan. Maka pada Kongres SI VI, 10 Oktober 1921 di Surabaya, setelah melampui perdebatan sengit, diputuskan anggota SI yang komunis dan pro komunis keluar dari SI.

Kubu komunis tidak begitu saja menyerah. Mereka membentuk SI Merah dan mempengaruhi kongres SI 1923 di Madiun. Ratusan bendera merah bergambar palu arit bergantungan di dinding dan di meja podium. 


"Kongres ini berjalan dalam suasana ribut dan kacau, di mana podium digulingkan," tulis Busjarie Latif dalam Manuskrip Sejarah PKI (1920-1965).

Share:

Sunday, 17 April 2016

Penggagas Awal Republik Indonesia


BERKELANA sebagai orang buangan di saat rekan-rekannya di Tanah Air berjuang melawan imperialis membuat Ibrahim Datuk Tan Malaka nelangsa. Ia kian kesal ketika permohonannya untuk kembali ke Jawa ditolak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock. Padahal keinginannya mengabdi kepada partai dan rakyat begitu menggebu-gebu.
Maka, di sela-sela tugasnya sebagai agen Komintern di Tiongkok, Tan pun menulis sebuah brosur panjang: Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dalam kata pengantar, dia menulis: ”Jiwa saya dari sini dapat menghubungi golongan terpelajar (intelektuil) dari penduduk Indonesia dengan buku ini sebagai alat.”
Naar de Republiek terbit di Kanton pada April 1925. Tak jelas berapa eksemplar brosur ini dicetak. Yang pasti, cuma beberapa buah yang berhasil masuk ke Indonesia. Tan kembali mencetak tulisan panjang itu ketika dia berada di Filipina pada Desember 1925. Cetakan kedua inilah yang kemudian menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia. Para pemuda bahkan mengetik ulang buku ini—setiap kali dengan karbon rangkap tujuh.
Para pemimpin perjuangan, termasuk Bung Karno yang kala itu memimpin Klub Debat Bandung, membaca buku Tan. ”Bung Karno selalu membawanya,” kata Sayuti Melik, seperti dikutip Hadidjojo Nitimihardjo dalam pengantar edisi terjemahan Naar de Republiek.
Buku kecil ini terdiri atas tiga bab, masing-masing mengulas situasi politik dunia, kondisi Indonesia, dan garis perjuangan Partai Komunis Indonesia. Pada subbab terakhir, ”Halilintar Membersihkan Udara”, Tan mengecam kaum terpelajar Indonesia yang, menurut dia, masa bodoh dengan perjuangan kemerdekaan. Tulisnya: ”Kepada kaum intelek kita seruhkan.... Tak terdengarkah olehmu, teriakan massa Indonesia untuk kemerdekaan yang senantiasa menjadi semakin keras?”
Bukan cuma Soekarno yang selalu membawa-bawa Naar ke mana-mana, Muhammad Yamin juga memuja Tan. Bagi Yamin—yang kemudian bergabung dengan Tan dalam kelompok Persatuan Perjuangan—Tan tak ubahnya Bapak Bangsa Amerika Serikat, Thomas Jefferson dan George Washington: merancangkan Republik sebelum kemerdekaannya tercapai.
Share:

Tan Malaka, Sejak Agustus Itu


Oleh: Goenawan Mohamad
SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.
Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.
Share: