Laksamana itu Seorang Penyebar Agama
Menuliskan riwayat singkat Cheng Ho (Ma Zeng He) bukanlah
kerja yang mudah. Pertama, ia dikenal oleh dua kalangan yang berbeda sebagai
muslim dan non-muslim. Dari sudut kemuslimannya, ia adalah seorang dari jutaan
orang manusia Tionghoa yang dulunya beragama Islam. Baru kemudian, masjid yang
didirikannya lalu digunakan sebagai klenteng (Bio). Dalam sebuah buku berbahasa
Prancis yang terbit beberapa tahun lalu, Quatorze Neuf Deux, dinyatakan bahwa
ada lima buah kejadian besar yang mengguncangkan dunia. Buku itu menceritakan
bahwa pada bahwa tahun 1492, Vasco Da Gamma mencapai kepulauan Bermuda di
Amerika Tengah. Dari peristiwa itu, di kemudian hari akan menyusul gelombang
datangnya orang-orang Eropa utara (terutama Inggris, Prancis dan Jerman) ke
Benua Amerika.
Di samping mereka, ada juga orang-orang Spanyol dan
Portugis, yang sekarang membentuk bangsa-bangsa yang hidup di Amerika Tengah
dan Selatan. Kedua-duanya sekarang ini dimudahkan penyebutannya menjadi Amerika
Latin. Begitu pula, tidak dapat dilupakan orang-orang hitam, yang untuk
menghormati mereka disebut sebagai Afro-America, dahulunya bernama Negro. Di
kemudian hari, datang juga ke Amerika Serikat para imigran dari Italia, disusul
imigran dari berbagai daerah terutama Russia, Armenia, Yunani, dan Lebanon.
Sedang dari arah barat datanglah orang-orang Jepang dan Tionghoa, dan abad yang
lalu orang-orang India (terutama Bangalore Hyderabad).
Manusia Indonesia
sendiri hanya berjumlah puluhan ribu orang, dan tidak perlu dimasukan ke dalam
komponen para pembentuk Amerika Serikat. Oleh sementara orang, kesemuanya itu
disebut sebagai ‘panci adukan’ (melting pot), yang sekarang disanggah oleh
sementara pihak.
Pada waktu itu, kaum Tionghoa muslim telah berkembang pesat,
setidaknya di pantai utara pulau Jawa. Mereka segera ‘berhadapan’ dengan
pihak-pihak berbagai agama yang sudah ada terlebih dahulu, seperti kaum
Hindu-Budha, terkenal dengan sebutan kaum Bhairawa (sekarang juga disebut
Birawa). Dengan meninggalkan Candi Prambanan dan Borobudur, kaum Hindu-Budha
itu pindah ke Jawa Timur dari kawasan Klaten sekarang di bawah pimpinan Mpu
Sindok dan menirikan Kerajaan Medang dengan raja terakhir bernama Dharmawangsa.
Setelah Medang dihancukan Sriwijaya, keturunan Dharamawangsa yaitu Raja
Erlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan. Di akhir hayatnya Airlanga membagi dua
Kahuripan menjadi Panjalu (Kediri) dengan ibukota Daha dan Jenggala beribukota
di Kahuripan. Agama Hindu-Budha itu kemudian berkembang menjadi Kerajaan
Singosari di sebelah utara Malang. Raja terakhirnya Prabu Kertanegara, mengambil
menantu Raden Wijaya.
Ketika Raden Wijaya memberontak ia tidak mendirikan kerajaan
di kawasan Gunung Bromo atau Pujon. Apa yang dilakukannya adalah mendirikan
kerajaan baru di Terik, kawasan pinggiran sungai Brantas di daerah Krian.
Dugaan penulis Terik adalah penyebutan lain dari kata Thariqah, artinya
kalangan tarekat yang melaksanakan ajaran-ajaran tasawuf. Mengapakah mereka
mendirikan Majapahit di Terik? Kemungkinan besar karena perlindungan angkatan
laut Tiongkok yang sudah menjadi muslim itu. Raden Wijaya yang menurut penulis
datang dari Marga Ui, memiliki penduduk beragama Islam dan agama Hindhu dan
Budha. Kerajaan baru itu pada abad–abad berikutnya menampilkan Mpu Tantular
dengan Negara Kertagama nya dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika. Ini menunjukkan
dengan jelas bahwa ia menyerap salah satu semangat bangsa ini yang sejak dahulu
-setidaknya 8 abad yang lalu sudah memiliki pluralitas/kemajemukan yang tinggi.
Di samping kejadian di atas, sekitar penghabisan Abad XV dan
permulaan Abad XVI, ada empat kejadian penting yang menentukan jalannya sejarah
dunia di kemudian hari. Terlebih dahulu adalah terjadinya sikap mengalah dari
sebuah kerajaan Islam di daerah Pantai Barat Afrika Tengah. Ketika itu, sebuah
kapal layar Eropa mendarat di pantai kawasan tersebut. Ketika terjadi
pertempuran senjata antara mereka melawan penduduk setempat maka para pelaut
itu menggunakan senjata api untuk bertahan. Segera saja mereka yang bersenjata
api -penduduk setempat menamai mereka sebagai setan dengan senjata berlidah
api- menguasai kawasan itu, dan memaksa kerajaan Islam itu berpindah dari
daerah pantai ke kawasan hutan di tengah-tengah benua Afrika.
Hal ketiga adalah ketika keluarga Borgia berhasil menjadikan
salah seorang warga mereka menjadi Paus Alexander VI. Wangsa Borgia menggunakan
uang, jabatan dan wanita untuk “mengangkat” warga mereka itu menjadi Paus. Hal
ini menjadi salah satu penyebab perbedaan pandangan di antara Gereja Katholik
dan sebagian para pemrotes yang kemudian dinamai kaum Protestan terlibat dalam
perselisihan besar (skisma). Skisma/perpecahan antara Gereja Katholik dan
Gereja Protestan akhirnya, membawa kepada perpecahan formal antara Gereja
Katholik dan Gereja Protestan dalam bentuk berbagai sinoda.
Kejadian lainnya pada era itu adalah, ketika wangsa
Kazimierski di Polandia memenangkan pertempuran atas wangsa Muscovit di Russia.
Segera mereka harus memecahkan masalah apakah wangsa Muscovit boleh menggunakan
bahasa Russia sebagai bahasa resmi, dan bukannya bahasa Polandia. Wangsa
Kazimierski tersebut memutuskan bahasa Russia, dan bukannya bahasa Polandia
sebagai bahasa nasional orang-orang Russia. Keputusan fundamental ini berakibat
setengah abad kemudian orang-orang Russia kembali menggumpulkan kekuatan, dan
berhasil mengalahkan bangsa Polandia. Apalagi setelah kaum komunis (Bolshevik)
di bawah pimpinan V.I Lenin mendirikan partai komunis Uni Soviet (PKUS)
menjelang tahun 1917.
Kejadian besar kelima yang merubah jalannya sejarah, terjadi
ketika seorang Kaisar cilik diangkat menggantikan ayahnya yang baru saja
meninggal dunia. Dan diangkatlah seorang wali negara, yang tadinya adalah
menteri peperangan. Karena ia adalah seorang pemeluk agama Konghucu yang taat,
maka ia sangat takut kepada kaum muslim di kawasan rantau (hoa kiau), yang
umumnya sudah menjadi muslim. Begitu ia menjadi wali negara, maka
diperintahkannya kapal-kapal laut kerajaan untuk kembali ke kawasan pesisir
daratan Tiongkok dan dibakar.
Segera terputuslah segala jenis komunikasi antara kawasan
Rantau tersebut dengan daratan Tiongkok. Penduduk rantau yang tadinya adalah
kaum Tiongkok muslim, menjadi terserap sebagai penduduk bumiputra, dan angkatan
laut Tiongkok, yang tadinya menguasai lautan antara pulau Madagaskar di kawasan
timur Afrika dan Ascunsion di Pulau Tahiti (lautan Pasifik), juga menjadi
penduduk bumiputra. Untuk dua abad lamanya hubungan antara kawasan-kawasan
tersebut dengan daratan Tiongkok terputus sama sekali. Maka kejayaan Tiongkok
itu lalu di klaim antara lain oleh Majapahit, dengan konsepnya yang sekarang
dinamai persemakmuran (commonwealth). Cheng Ho pada permulaan abad ke-15, yang
memimpin angkatan laut Tiongkok lalu harus melakukan ekspedisi laut tujuh kali
saja, dan berakhir ketika ia meninggal dunia karena sakit di Kerala (India).
Kenyataan-kenyataan sejarah seperti ini memaksa kita untuk
mengerti, bahwa dua abad berikut barulah orang-orang Belanda dapat mendatangkan
orang-orang Tionghoa kemari. Mereka kemudian membawa agama Budha, Konghucu dan
tentu saja agama Tao. Kemudian pemerintahan Orde Baru ‘menyatukan’ penganut
Budha, Tao dan Konghucu dalam apa yang dinamakan kaum Tri Dharma, terutama
dibawakan oleh Walubi (Perwalian Umat Buddha Indonesia). Bagaimana dengan jasa
Cheng Ho? Setelah ia meninggal dunia di kawasan Kerala itu, kawasan-kawasan
yang didirikannya lalu berkembang pesat, seperti Singapura. Dari sini ternyata,
bahwa seseorang pemimpin dengan membawa peranannya yang besar, dapat
menimbulkan perubahan-perubahan sangat besar dalam sejarah manusia. Sangat
indah hal itu, bukan?