Berbagi Sebening Hati

Showing posts with label Esai. Show all posts
Showing posts with label Esai. Show all posts

Monday, 2 May 2016

Indonesia Dewasa Ini di Mata Bung Karno dan Pak Harto


Pada suatu ketika saya mendapat kesempatan untuk berdialog dengan Presiden pertama dan Presiden kedua Republik Indonesia ini. Kebetulan dua sosok pemimpin bangsa ini ketika saya temui sedang berbincang  serius  di sebuah taman yang entah dimana, tetapi jelas masih di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aneh. Bisa-bisanya Bung Karno dengan Pak Harto begitu akrabnya, duduk dalam satu meja. Bukankah waktu itu Bung Karno dikudeta oleh Jenderal bintang lima ini. Malahan sampai ditahan di Wisma Yasa lagi.
Tapi bisa jadi yang namanya politik tidak ada teman dan musuh yang abadi. Saya malah bersyukur keduanya bisa akur kembali.
Dari kejauhan saya melihat Bung Karno – seperti biasanya bicara lantang dan berapi-api dengan lawan bicaranya. Sedangkan Pak Harto menanggapinya dengan tutur kata yang kalem, dan selalu dibarengi smiling General-nya yang terkenal itu.  Dan saat jarak antara saya dengan beliau-beliau ini sudah dekat,  saya menghentikan langkah. Ada sedikit keraguan, dan takut mengganggu keasyikan mereka berdua yang kelihatannya cukup serius.
 Bung Karno rupanya yang pertama kali melihat kehadiran saya. Sambil melambaikan tangannya, beliau berteriak memanggil.
“Hei, kamu.  Ayo ke sini !”
“Kebetulan ada anak muda angkatan ‘98. Mungkin bisa melengkapi diskusi ini, “ kata Bung Karno sambil menerima jabat tangan saya. Sedangkan Pak Harto hanya mengangguk sambil tetap tersenyum. “Eh, ngomong-ngomong, kamu waktu itu ikut demonstrasi melengserkan  Bapak yang satu ini ya ? ” Bung Karno melempar tanya seraya telunjuknya menuding ke arah Pak Harto.
Saya hanya mengangguk kecil sambil tersipu menjawab pertanyaan itu. Lalu saya menatap Pak Harto. Tak ada reaksi sama sekali. Dan senyumnya justru semangkin, eh, semakin mengembang.
“Silahkan duduk, nak !” Pak Harto menyuruh saya untuk menempati kursi yang ada di antara beliau dengan Bung Karno.
Diam-diam dalam hati muncul suatu kebanggaan tersendiri. Saya bisa duduk bersama dua orang mantan Presiden. Betapa ini sebuah kehormatan, dan anugrah Tuhan juga.
“Sebagaimana Negara Kesatuan Republik indonesia ini, adalah suatu anugrah Tuhan YME yang tiada terhingga bagi seluruh bangsa di Nusantara. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban semua rakyat untuk menjaga, dan memeliharanya, agar anak-cucu kita, dapat menikmati kehidupan yang damai dan sejahtera di negeri zamrud khatulistiwa yang kaya-raya alamnya, sebagaimana cita-cita kami dahulu saat merebut kemerdekaan negara ini dari tangan kolonialis,” ujar Bung Karno seperti menyambung apa yang muncul dalam hati saya.
Saya mengangguk takzim.
“Ketika saya dilengserkan oleh mereka yang mengaku sebagai para reformis, dengan alasan untuk memperbaiki negeri ini agar lebih demokratis lagi,  dan agar cita-cita Bung ntuk umenjadikan negeri ini sebagai negara yang adil-makmur, gemah ripah repeh rapih loh jinawi dapat segera tercapai. Akan tetapi kenyataannya yang saya saksikan sekarang ini, seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita bangun malah diacak-acak, dirusak, dengan mengatasnamakan Bung dan saya. Mereka saling berebut kekuasaan demi kepentingan diri sendiri dan golongannya. Sementara rakyat dibiarkan sengsara, “ Pak Harto yang sejak tadi hanya mengumbar senyum angkat bicara.
“Sehingga kalau dipikir-pikir sepertinya rakyat kecil justru lebih menikmati kehidupan pada jaman kepemimpinan saya. Iya tokh, Nak ? Enakan di jamanku ‘kan?” sambungnya seraya menatap ke arah saya.
Sungguh. Saya tak mampu menjawab pertanyaan Pak Harto tersebut. Bagaimanapun saya merasa malu. Malu kepada kedua Founding fathers ini, terlebih merasa malu pada diri sendiri. Karena terus terang, meskipun peran saya teramat kecil ketika itu, saya termasuk orang yang mengaku reformis itu. Sedangkan kenyataannya sekarang ini...
Ya, begitulah. Para elit seakan tak lagi memikirkan nasib rakyat yang kian terombang-ambing tak menentu. Mereka justru sibuk sikut sana tendang sini demi mengamankan ambisi diri sendiri dan golongannya masing-masing. ***
#Sekilas dalam Dialog Imajiner bersama dua mantan Presiden 
Share:

Tuesday, 26 April 2016

'Amoy' Itu Istri Saya Koq...

Karena masalah pekerjaan jugalah kami, saya dan istri tercinta harus hidup berjauhan. Saya di kota metropolitan, dan dia di kampung halaman.

Memang pernah saya mencoba memintanya untuk pindah  kerja di Jakarta, dan tinggal bersama, sebagaimana layaknya orang berumah tangga. Tapi alasan yang ia sodorkan cukup sederhana, dan saya pun mafhum adanya. Jakarta terlalu sumpek dan panas. Sementara ia sudah terbiasa di kampung halaman yang udaranya masih bersih dan segar. Dan yang paling utama, sebagai seorang guru, ia memiliki tanggung jawab moral yang tinggi memang. Ia ingin mengabdikan diri untuk membangun kampung halaman kami yang saat itu  masih tertinggal. Hal itu telah jadi komitmennya sejak kami belum menikah, memang. Untuk melepas kerinduan, ahirnya dua minggu sekali saya mudik, menjelang Jumat petang. Dan hari minggu sore saya kembali ke Jakarta. Hanya apabila tiba musim liburan sekolah, istri saya datang mengunjungi, dan tinggal menemani saya di kota metropolitan.

Ketika baru pertama kali datang di Jakarta, sengaja saya mengundang para tetangga untuk memperkenalkan istri yang baru beberapa bulan dinikahi. Kebetulan sebagian besar tetangga saya banyak warga keturunan chinese, bahkan di antaranya, terutama yang sudah lansia, masih ada yang masih totok berbahasa mandarin.

Mereka ribut bertanya kepada saya dan  istri ,  Enci marga-nya apa?  Koq bisa ya menikah sama orang Sunda? Dan yang lucu, adalah engkong-engkong tua yang nyerocos mengajak bicara bahasa mandarin kepada istri saya. Tentu saja istri saya hanya melongo saja dibuatnya.

Betapa tidak. Istri saya yang dianggap amoy, sama sekali bukan warga keturunan. Asli lho orang Sunda, sama seperti saya. Hanya kebetulan dia memiliki kulit kuning langsat, dan mata sipit seperti mereka. Setelah saya jelaskan kepada mereka, ahirnya merekapun mafhum adanya.

Akan tetapi, hubungan kami dengan tetangga warga keturunan terasa menjadi istimewa. Setiap istri saya ada di Jakarta, para tetangga banyak yang menganggap saudara kepada istri saya. Bahkan jika perayaan Imlek tiba, walau istri saya sedang ada di kampung sekalipun, kami banyak menerima angpau dari mereka. "Untuk si Enci," katanya. Terlebih jika kebetulan istri di Jakarta, kami selalu larut ikut merayakan hari Imlek bersama mereka.

Demikian juga halnya apabila  kami sekeluarga merayakan hari besar agama kami. Terutama kalau Hari Raya Iedul Adha (Karena kalau Hari Raya Iedul Fitri, sehari sebelum tiba waktunya,  saya sudah pamit pada tetangga untuk merayakannya bersama keluarga di kampung halaman), istri saya yang kebetulan sedang liburan, memasak makanan sebagaimana kebiasaan di kampung halaman, kemudian dibagi-bagikan kepada para tetangga bersama penganan oleh-oleh yang dibawa dari kampung...


Sekarang hal itu tinggal kenangan saja. Saya telah lama tinggal bersama istri di kampung halaman. Dan jika perayaan Imlek tiba, seringkali saya dan istri tertawa, "Enci masih cantik juga ya biar sudah tua juga..." Dan istri saya pun mencubit saya dengan mesranya...


Share:

Monday, 18 April 2016

Life Begins at Forty


Konon yang mempopulerkan pameo: Hidup dimulai di usia 40, adalah Walter B. Pitkin, yang mengarang buku Life Begins at Forty (Amazon, 1932). Lalu pentolan group band legendaris The Beatles, John Lennon pun menulis dan menyanyikan lagu:

Life Begins At 40

They say life begins at 40
Age is just a state of mind
If all that's true
You know that I’ve been dead for 39
And if life begins at 40
Well, I hope it ain't the same
It's been tough enough without that stuff
I don't wanna to be born again

Well, I tried to sweep the slate clean
With a new broom every day
If that don't work
I'll jerk around until my next birthday
Yeah, life begins at 40
Age is just a state of mind
Well, if all that's true
You know that Ive been dead for 39

Ya, kehidupan dimulai di usia 40. Tapi bukan berarti usia sebelumnya orang belum bernyawa, atawa sebagaimana dikatakan almarhum suaminya Yoko Ono, bahwa di usia 39 dirinya sudah mati. Bukan. Melainkan kematangan dalam sikap dan perilaku.

Akan tetapi jauh sebelum Walter B. Pitkin maupun John Lennon menulis hal tersebut, sebagaimana yang saya baca dalam status di wall Facebook anak saya beberapa hari lalu, bahwa sekitar 13 abad yang lalu, Muhammad SAW telah menyampaikan firman Allah SWT yang berbunyi:

Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, ia berdoa, "Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada Engkau, dan sungguh, aku termasuk orang muslim.”

Ya, membaca firman Allah SWT, saya menjadi bergidik dibuatnya. Sungguh. Usia saya sudah tua. Dan sudah lama melewati usia 40. Andaikan saja merujuk pada angka harapan hidup rata-rata bangsa Indonesia di tahun 2014 ini yang bisa mencapai usia 72 tahun, maka kesempatan saya untuk menghirup udara di dunia ini tinggal 15 tahun lagi.

Padahal saya merasa, sikap dan perilaku saya sehari-hari acapkali masih goyah. Belum ajeg. Atawa Istiqamah, seperti dulu pernah dikatakan guru ngaji saya. Belum lagi memang. Terkadang ego yang mengarah pada sifat kekanak-kanakan pun masih juga muncul.

Kalau saja diamsalkan dengan buah mangga, bisa jadi saya ini tidak matang dipohon. Sementara rasanya tidak manis, alias masih kecut dan keras pula.

Akan tetapi, terlepas dari hanya usia saja yang sudah tua, dan sikapnya masih seperti bocah yang tidak jelas juntrungannya, di sisa umur saya yang entah akan sampai mencapai 72 – atau berharap seperti yang dikatakan Chairil anwar: Ingin hidup seribu tahun lagi, semoga saya dapat memperbaiki diri dengan sebaik-baiknya. Agar betul-betul matang seperti disebutkan Walter B. Pitkin, juga sebagaimana disabdakan Allah SWT. Paling tidak di sisa hidup ini saya dapat memiliki arti bagi diri sendiri, keluarga, dan orang-orang di sekitar.


Sumber Ilustrasi
Share:

Friday, 15 April 2016

Fenomena Tahlilan dan Kesenjangan Sosial

Ilustrasi
Tengah orang-orang dengan wajah diselimuti duka mengerumuni Mang Encu yang tergolek lemah di pembaringan, karena sakit keras, dan banyak yang menduga tak lama lagi akan meninggal, tiba-tiba anak bungsunya  yang masih berusia 5 tahun, malah berjingkrak  sambil berteriak, “Horeee... Si Bapak mau mati, kita semua sebentar lagi bakalan makan enak !”

Sanak keluarga dan tetangga yang semula dirundung gundah-gulana, tersentak mendengar ocehan bocah itu. Beberapa di antaranya buru-buru menyuruh diam, dan membawa anak bungsu Mang Encu ke menjauh. Tetapi tak sedikit yang malah tertawa sambil menutup mulutnya.

Bisa jadi orang yang mentertawakan sikap bocah tersebut, lantaran menduga kematian di mata bocah itu sebagai suatu kesempatan untuk memperbaiki gizi semata, dan sama sekali belum paham andaikan orang tuanya meninggal dunia, dia tak akan medapat kasih sayangnya lagi untuk selamanya.  Bagaimanapun tradisi di kampung kami, bila ada orang yang meninggal, keluarganya harus hajatan.
Pada umumnya, di kampung kami apabila ada salah seorang keluarganya yang meninggal dunia, selain dilanda duka cita sebagaimana biasanya, juga merupakan saat-saat untuk mengeluarkan dana anggaran yang lumayan besar jumlahnya.

Betapa tidak. Begitu keluarganya meninggal dunia, entah dengan membuka kotak simpanan  bagi keluarga yang kaya, atawa dengan cara mengutang  bagi yang selalu kekurangan dalam hidupnya, mau tidak mau sejumlah uang harus sudah tersedia.

Ada pun uang itu digunakan untuk dibagi-bagikan kepada mereka yang menggali kubur, yang dalam kenyataannya orang yang benar-benar  sebagai penggali paling banter sebanyak empat orang saja, sedangkan sebagian besar yang ada di pekuburan itu malah asyik bercengkerama ngalor-ngidul sesukanya. Selain itu orang ikut melaksanakan shalat jenazah, juga akan mendapatkan ‘jatah’, dan jumlahnya lebih besar dari orang yang berada di pekuburan. Pun orang yang memandikan jenazah, sudah pasti kebagian juga. Malahan khusus bagi orang yang dianggap paling bersungguh-sungguh dalam memandikannya, maka orang itu biasanya akan mendapatkan seperangkat pakaian yang masih baru.

Setelah mayat selesai dikebumikan, lalu pihak keluarga berbelanja ke pasar untuk kebutuhan menjamu orang yang ikut tahlilan.  Selain dijamu dengan makanan dan minuman, orang-orang yang ikut tahlilan itupun ketika hendak pulang akan diberi amplop berisi uang berikut sekantung makanan. Sementara kegiatan tahlilan itu akan berlangsung sejak hari pertama kematian hingga hari ketujuh. Kemudian tahlilan itu saat memasuki hari ke-20 diselenggarakan lagi, disusul ketika masuk hari ke-40. Setelah itu barulah pihak keluarga yang meninggal dunia akan sedikit bernafas lega. Sebab kegiatan tahlilan itu baru akan diadakannya lagi bila sampai pada ke-100 harinya.

Bagi orang yang berharta, kegiatan tahlilan itu tidak sampai di situ saja, biasanya jika sudah genap satu tahun akan diselenggarakannya juga tahlilan itu.

Memang di satu sisi tahlilan itu mengandung nilai yang positif. Paling tidak orang satu kampung, khususnya kaum pria – dewasa dan anak-anak, akan bertemu muka, alias bersilaturahmi satu sama lain. Dalam tahlilan itu pun dibacakan ayat-ayat suci  Al Qur’an secara bersama-sama dengan dipimpin oleh seorang kiyai, atawa di kampung kami lebih dikenal dengan sebutan Ajengan. Maka dengan demikian, warga di kampung kami sebagian besar sudah banyak yang hafal bacaan Al Qur’an di luar kepala, meskipun makna dari yang dibacanya itu entah paham entah tidak.

Sedangkan di sisi lain, justru membuat keluarga orang yang meninggal dunia kerepotan dengan kegiatan tahlilan seperti itu. Apalagi bagi keluarga yang hidupnya masuk kategori miskin. Misalnya saja karena anggaran untuk kegiatan tahlilan itu biasanya didapat dengan cara berutang, maka yang namanya utang pun harus dibayar.  Bahkan andai saja pinjaman uang itu didapat dari orang yang biasa dinamakan rentenir, apa boleh buat selain dituntut mengembalikan pokok pinjaman, bunganya yang lumayan mencekik pun harus diberikan. Masih mending kalau harta peninggalan yang mati itu lumayan banyak, tapi kalau sebaliknya, justru untuk makan sehari-hari saja harus bekerja setengah mati...

Sementara itu yang namanya kiyai, atawa ajengan di kampung kami, langsung atau tidak langsung, terhadap kegiatan tahlilan yang memakan anggaran yang besar itu, terkesan  memberikan fatwa wajib untuk dilaksanakan.  Sehingga tak aneh lagi bila muncul anekdot di kalangan anak-anak muda kalau tahlilan menjadi salah satu ‘proyek’ kiyai yang tak boleh dilewatkan. ***

Postingan ini pernah dimuat di: Kompasiana
Share:

Tuesday, 1 March 2016

Ustadz dan Proposal


Sebuah Avanza hitam berhenti tepat di depan warung kopi. Semua mata di dalam warung pun langsung mengarah pada mobil itu. Ketika kaca pintu di samping pengemudi terbuka, hampir serempak mereka mengucap salam.

Assalamu’alaikum, Pak Ustadz...”

Wa ‘alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh... Masih pada begadang nih ?” sahut pengemudi yang ternyata Ustadz Salim, pimpinan pondok pesantren di kampung kami.

“Iya, Pak Ustadz. Sekalian siskamling. Supaya kampung kita aman, tidak kemasukan maling,” kata Mang Udin sambil tertawa. “Habis dari mana malam-malam begini,Pak Ustadz. Apa tidak ngopi bareng dulu ?”

“Biasa, dari pengajian di masjid DKM Al Ikhlas,” jawab ustadz sambil tangannya tak hemti mengusap-usap pintu mobilnya. “Terima kasih. Sudah malam. Lain kali saja.”

Ustadz Salim menyalakan mobilnya. Lalu pamitan sebelum berjalan. Ketika Ustadz  dan mobilnya ditelan tikungan, suasana di warung pun ramai kembali. Dan kali ini justru Ustadz yang baru saja lewat tadi dijadikan bahan gunjingan.

“Hebat ya ustadz kita itu. dalam satu tahun ini sudah tiga kali ganti kendaraan. Pertama dia membeli sedan tua. Tak lama kemudian sedan itu dijualnya. Lalu diganti dengan mobil Kijang. Eh, sekarang sudah diganti lagi dengan Avanza...” Mang Udin ternyata yang memulainya.

“Itu artinya ustadz Salim termasuk orang yang sukses, Mang!” kata pemilik warung.

“Tapi selama ini kita semua tahu. Ustadz itu tidak punya pekerjaan lain selain mengajar ngaji para santri, dan memberi tausyiah di majelis taklim saja. Di luar itu paling menggarap sawah wakaf yang luasnya tidak seberapa. Hasil panennya pun hanya cukup untuk makan sekeluarga sampai musim panen berikutnya.”

“Siapa tahu setiap menerima infaq, shodaqoh, dan zakat selalu ditabungkannya.”

“Bisa jadi begitu. Tapi kabar angin yang aku dengar, karena  ustadz kita itu  belakangan ini sering mengirim proposal ke Pemda, dan Kantor Kemeterian Agama. Bukankah pondok pesantrennya yang santrinya anak-anak kampung kita saja, dan tak pernah mondok karena memang belum ada pondoknya itu sudah berbentuk yayasan...”

“Memangnya kenapa kalau sudah jadi sebuah yayasan ?”

“Katanya sih, kalau sudah berbentuk yayasan, maka akan gampang untuk dapat bantuan.”

“Masak pemerintah mau memberi bantuan untuk membeli kendaraan pribadi. Ah, yang benar saja, Mang ?”

“Memang sih, masih katanya, dalam proposal itu dicantumkan permintaan bantuan untuk pembangunan sarana dan prasarana pendidikan misalnya, atawa ada pula untuk sarana keagamaan.”

“Tapi mengapa kenyataannya malah digunakan untuk membeli mobil ?”

“Entahlah... Eh, tapi kendaraan pun setidaknya menjadi penunjang ustadz kita itu untuk berdakwah.”


“Tapi di proposalnya tidak tercantum untuk membeli kendaraan ‘kan ?!” ***

Selengkapnya: http://www.kompasiana.com/arsudradjat/ustadz-dan-proposal_56bb703d23afbd890bc66e2d
Share:

Ketika Wabah Anak Jalanan Melanda Pedesaan



Dua bocah, sekitar 4 tahunan, yang tampaknya pulang dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), sambil jalan  beriringan di gang belakang rumah saya, dari mulutnya yang imut terdengar menyanyikan lirik lagu:

 Hati hati dengan hatiku
Karna hatiku mudah layu
 Jangan kamu bermain-main
Karna kutak’ main-main... 

Saya pun buru-buru menjejeri keduanya. Tetapi suara mereka pun mendadak berhenti, berganti dengan senyum malu-malu.

 “Iko, Alif, lagu apa itu ?” tanya saya.

“Si Boy !” sahut keduanya hampir serempak. “Itu tuh yang suka naik motor bagus di televisi,” sambung salah satu dari mereka.

 “Coba nyanyikan lagi. Bapak ingin mendengarnya. Iko dan Alif sudah hafal ‘kan semuanya ?” 
Kedua bocah itu malah berlarian sambil ketawa.

“Tunggu. Nanti yang mau menyanyikan lagu si Boy itu akan bapak kasih hadiah. Permen, mau ?”

Bisa jadi karena mendengar akan diberi hadiah permen, kedua bocah anak tetangga itu kembali menghampiri saya. Kemudian tanpa dikomando lagi keduanya kembali menyanyikan lagu yang menjadi soundtrack sinetron Anak Jalanan, yang saban malam ditayangkan di RCTI.

Hati hati dengan hatiku
Karna hatiku mudah layu  
Jangan kamu bermain-main 
Karna kutak’ main-main
Sungguh aku bersungguh-sungguh 
Cintaku ini cinta mati Mati-matian aku 
 Pertahankan cintaku
Aku takkan rela...bila kau tinggalkan
Aku kan berbuat...apa saja
Untuk mendapatkan kamu lagi
 Rupa rupa alasan kamu 
 Untuk tetap tinggalkan aku 
Rupanya kamu memang
Sudah tak cinta aku
Cintamu yang berbisa
Bisa racuni aku
Bisa-bisanya kamu mau tinggalkan aku 
Aku takkan rela...bila kau tinggalkan 
Aku kan berbuat...apa saja
 Untuk mendapatkan kamu lagi...

Selesai bernyanyi, kedua anak itupun mengulurkan tangannya. Menagih hadiah yang dijanjikan. Sambil menggeleng-gelengkan kepala,  saya merogoh kantong celana. Dan kedua anak itu masing-masing saya beri 5 buah permen.

Sungguh. Saya takjub mendengar kedua bocah itu begitu hafal secara lengkap lagu tersebut. Bahkan lirik lagu di atas, saya kutip langsung dari mulut keduanya.

Memang belakangan ini sinetron yang skenarionya ditulis pengarang serial Lupus itu, Hilman Hariwijaya, seakan menjadi magnet bagi sebagian besar warga di desa kami. Saban selesai menunaikan shalat Magrib di masjid, dari setiap rumah yang saya lewati akan terdengar lagu itu, pertanda sinetron Anak Jalanan sedang di tayangkan. Dan kemungkinan besar setiap keluarga, orang tua dan anak-anaknya,  dari rumah yang saya lewati tidak akan melewatkan tayangan sinetron itu. Betapa tidak, sewaktu turun dari teras masjid saya sempat melihat hanya beberapa orang anak saja yang akan belajar mengaji.

“Sejak ada pilem itu anak-anak memang sepertinya jadi malas belajar ngaji lagi,” kata Abah Kurdi, guru ngaji dan imam di masjid lingkungan kami, dengan nada mengeluh, dan mengatakan sinetron dengan kata pilem tadi.

“Di kelas anak-anak lebih hafal lagunya sinetron Anak Jalanan daripada lagu-lagu yang kami ajarkan,” ungkap Ibu Nurhayati guru PAUD yang saban pagi sering berpapasan di gang dekat rumah saya. “Apalagi dengan hafalan do’a-do’a pendek, mereka malas-malasan untuk mengikutinya.”

"Si Alif merengek terus ketika tahu ibunya Si Iko membelikan dvd sinetron itu. Apa boleh buat saya pun terpaksa membelikannya. Hampir saban waktu diputarnya dvd itu seperti tak bosan-bosannya,” kata ibunya Alif, bocah yang hafal lagu soundtrack sinetron tersebut suatu ketika di warung langganan kami saat kebetulan sedang membeli kebutuhan kami masing-masing. 

“Tapi ibunya juga ‘kan nggak pernah melewatkan nonton sinetron itu ?” goda saya. Dan ibunya Alif tampak merona wajahnya seraya tersenyum kecut. 

Entah apa yang menjadi daya tarik sinetron itu. Saya sendiri belum pernah sekalipun melihatnya. Sampai hari ini saya masih mencoba bertahan dengan nasihat Stephen King soalnya.  Ya, penulis terkenal dari Amerika Serikat dengan karyanya seperti  The Shinning, Children of The Corn, Carrie, dan banyak lagi yang beberapa di antaranya diadaptasi menjadi film box office, mengatakan:  Jika Anda ingin mulai menulis, maka televisi adalah benda yang harus Anda jauhi. "Benda itu (televisi) bisa meracuni kreativitas Anda," ujar King. Maka, sebagai penulis haruslah fokus pada apa yang akan ia tulis dan hidup di dalam alam imajinasi sepenuhnya. Untuk memperoleh imajinasi tersebut, penulis harus banyak membaca.

"Jika Anda ingin menjadi seorang penulis, ada dua hal utama yang harus Anda lakukan: banyak membaca dan banyak menulis," tambahnya. 

Hanya saja yang jelas, fenomena yang terjadi di kampung kami belakangan ini, dengan munculnya tayangan sinetron Anak Jalanan itu, ana-anak muda banyak yang memodifikasi sepeda motornya, seperti sepeda motor Si Boy – pemeran utama sinetron Anak Jalanan, aku mereka. Bocah kecil maupun remaja  ABG apabila saya di dekat mereka seringkali menyenandungkan lagu soundtrack-nya. Demikian juga bila kebetulan menemukan ibu-ibu sedang ngerumpi di depan rumah, sinetron itu pun seringkali jadi bahan pembicaraannya.

Lalu adakah nilai positif yang diserap dari sinetron itu bagi warga, misalnya menjadi produktif , atawa anak-anak sekolah menjadi rajin belajarnya ? 

Sepertinya tidak ada sama sekali. Yang terlihat malah justru sebaliknya. Warga semakin konsumtif saja tampaknya. Aksesori yang berhubungan dengan sinetron merupakan salah satu buktinya. Dan itu harus dibeli untuk memilikinya. Masih mending jika keluarga itu memiliki penghasilan lebih. Sedangkan kebanyakan warga di kampung kami kehidupannya rata-rata hanyalah buruh tani. Sementara anak-anak cenderung menjadi malas untuk belajar ngaji, karena waktu ngaji bertabrakan dengan jam tayang sinetron itu.

Ah, tapi sudahlah. Saya tak berhak men-justice-nya. Masalah yang ada kaitan dengan televisi ‘kan sudah ada KPI... ***

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arsudradjat/ketika-wabah-anak-jalanan-melanda-pedesaan_568d099af17e61ec088b456c
Share: