Ilustrasi
Tengah orang-orang
dengan wajah diselimuti duka mengerumuni Mang Encu yang tergolek lemah di
pembaringan, karena sakit keras, dan banyak yang menduga tak lama lagi akan
meninggal, tiba-tiba anak bungsunya yang
masih berusia 5 tahun, malah berjingkrak
sambil berteriak, “Horeee... Si Bapak mau mati, kita semua sebentar lagi
bakalan makan enak !”
Sanak keluarga dan
tetangga yang semula dirundung gundah-gulana, tersentak mendengar ocehan bocah itu.
Beberapa di antaranya buru-buru menyuruh diam, dan membawa anak bungsu Mang
Encu ke menjauh. Tetapi tak sedikit yang malah tertawa sambil menutup mulutnya.
Bisa jadi orang yang
mentertawakan sikap bocah tersebut, lantaran menduga kematian di mata bocah itu
sebagai suatu kesempatan untuk memperbaiki gizi semata, dan sama sekali belum
paham andaikan orang tuanya meninggal dunia, dia tak akan medapat kasih
sayangnya lagi untuk selamanya. Bagaimanapun tradisi di kampung kami, bila ada
orang yang meninggal, keluarganya harus hajatan.
Pada umumnya, di
kampung kami apabila ada salah seorang keluarganya yang meninggal dunia, selain
dilanda duka cita sebagaimana biasanya, juga merupakan saat-saat untuk
mengeluarkan dana anggaran yang lumayan besar jumlahnya.
Betapa tidak. Begitu
keluarganya meninggal dunia, entah dengan membuka kotak simpanan bagi keluarga yang kaya, atawa dengan cara
mengutang bagi yang selalu kekurangan
dalam hidupnya, mau tidak mau sejumlah uang harus sudah tersedia.
Ada pun uang itu
digunakan untuk dibagi-bagikan kepada mereka yang menggali kubur, yang dalam
kenyataannya orang yang benar-benar
sebagai penggali paling banter sebanyak empat orang saja, sedangkan
sebagian besar yang ada di pekuburan itu malah asyik bercengkerama
ngalor-ngidul sesukanya. Selain itu orang ikut melaksanakan shalat jenazah, juga
akan mendapatkan ‘jatah’, dan jumlahnya lebih besar dari orang yang berada di
pekuburan. Pun orang yang memandikan jenazah, sudah pasti kebagian juga.
Malahan khusus bagi orang yang dianggap paling bersungguh-sungguh dalam
memandikannya, maka orang itu biasanya akan mendapatkan seperangkat pakaian
yang masih baru.
Setelah mayat selesai
dikebumikan, lalu pihak keluarga berbelanja ke pasar untuk kebutuhan menjamu
orang yang ikut tahlilan. Selain dijamu
dengan makanan dan minuman, orang-orang yang ikut tahlilan itupun ketika hendak
pulang akan diberi amplop berisi uang berikut sekantung makanan. Sementara
kegiatan tahlilan itu akan berlangsung sejak hari pertama kematian hingga hari
ketujuh. Kemudian tahlilan itu saat memasuki hari ke-20 diselenggarakan lagi,
disusul ketika masuk hari ke-40. Setelah itu barulah pihak keluarga yang
meninggal dunia akan sedikit bernafas lega. Sebab kegiatan tahlilan itu baru
akan diadakannya lagi bila sampai pada ke-100 harinya.
Bagi orang yang
berharta, kegiatan tahlilan itu tidak sampai di situ saja, biasanya jika sudah
genap satu tahun akan diselenggarakannya juga tahlilan itu.
Memang di satu sisi
tahlilan itu mengandung nilai yang positif. Paling tidak orang satu kampung,
khususnya kaum pria – dewasa dan anak-anak, akan bertemu muka, alias
bersilaturahmi satu sama lain. Dalam tahlilan itu pun dibacakan ayat-ayat
suci Al Qur’an secara bersama-sama
dengan dipimpin oleh seorang kiyai, atawa di kampung kami lebih dikenal dengan
sebutan Ajengan. Maka dengan demikian, warga di kampung kami sebagian besar
sudah banyak yang hafal bacaan Al Qur’an di luar kepala, meskipun makna dari
yang dibacanya itu entah paham entah tidak.
Sedangkan di sisi lain,
justru membuat keluarga orang yang meninggal dunia kerepotan dengan kegiatan
tahlilan seperti itu. Apalagi bagi keluarga yang hidupnya masuk kategori
miskin. Misalnya saja karena anggaran untuk kegiatan tahlilan itu biasanya
didapat dengan cara berutang, maka yang namanya utang pun harus dibayar. Bahkan andai saja pinjaman uang itu didapat
dari orang yang biasa dinamakan rentenir, apa boleh buat selain dituntut
mengembalikan pokok pinjaman, bunganya yang lumayan mencekik pun harus
diberikan. Masih mending kalau harta peninggalan yang mati itu lumayan banyak,
tapi kalau sebaliknya, justru untuk makan sehari-hari saja harus bekerja
setengah mati...
Sementara itu yang
namanya kiyai, atawa ajengan di kampung kami, langsung atau tidak langsung, terhadap
kegiatan tahlilan yang memakan anggaran yang besar itu, terkesan memberikan fatwa wajib untuk
dilaksanakan. Sehingga tak aneh lagi
bila muncul anekdot di kalangan anak-anak muda kalau tahlilan menjadi salah
satu ‘proyek’ kiyai yang tak boleh dilewatkan. ***
Postingan ini pernah dimuat di: Kompasiana
0 comments:
Post a Comment