Banyak sudah cerita dan kisah Nyai Roro Kidul ditulis
dan dibeberkan orang. Sejak zaman dulu hingga kini mitosnya masih sering dikaji
dan diteliti. Benar-benar adakah ratu cantik penguasa laut selatan itu?
---
Suatu ketika laut selatan Pulau Jawa oleng, menggelegak
macam air panas di kuali. Kemilau air laut yang biru, mendadak keruh berbuih
mendidih, terguncang gempa. Ikan-ikan berlompatan mati kepanasan. Para jin,
setan periperayangan, risau menyaksikan perubahan gejala aneh di segoro
kidul (laut selatan), karena gemuruh taufan itu terasa panas-dingin
tak menentu sampai menembus dasar laut diantar angin tujuh keliling.
Nyai Roro Kidul, ratu dedemit di dasar samudera, itu pun
tersentak kaget. Selama ribuan tahun hidup, baru kali ini melihat perubahan
alam yang aneh di istananya. Apa gerangan yang terjadi? Segera Nyai Roro Kidul
melesat ke luar dan berdiri di atas air laut memandang bumi. Dunia terang
benderang, tak ada apa-apanya. Cuma di tepi laut itu memang ada seorang lelaki
berdiri bersedekap mengheningkan cipta. Diakah penyebabnya?
Nyai Roro Kidul terdiam sejenak. Diamat-amatinya lelaki yang
berdiri semadi itu; dan betapa kaget setelah tahu dia adalah Panembahan
Senopati. Tak salah, tak silap, dialah penyebab prahara laut selatan.
Gemuruh ombak laut panas semakin tak tertahankan, sampai
menciptakan bergunung-gunung gelombang. Menyadari kesaktian Panembahan
Senopati, Nyai Roro Kidul diiringi sekalian makhluk halus mendekat dan
menyembah seraya memohon belas kasihan, agar sang panembahan menghentikan tapa
brata-nya. Sebagai balasannya, Roro Kidul bersedia memenuhi permintaan
Senopati yang ingin menjadi raja sampai ke anak cucunya.
Bahkan penguasa samudera selatan itu pun berjanji akan
membantu apa saja demi kejayaan pemerintahan Senopati, termasuk kelak kalau
bumi Mataram kedatangan musuh, makhluk-makhluk halus laskar Ratu Kidul siap
membereskannya. "Saya akan segera mengirimkan setansetan berikut genderang
perang," kata Nyai Roro Kidul berjanji. Seketika gemuruh air laut hilang.
Tak ada badai tak ada gelombang, bahkan ikan-ikan dan semua makhluk laut yang
mati hidup kembali.
Singkatnya, Panembahan Senopati terpikat, lalu jatuh cinta.
Mereka berdua berjalan di atas laut menuju istana. Konon, keindahan istana itu
tak ada tandingannya di dunia. Pagar kelilingnya saja terbuat dari bata emas,
penuh dengan tanaman serta bunga dan buah dari berbagai jenis ratna mutu
manikam.
Dihadap oleh sekalian jin, setan, Senopati dan Nyai Roro
Kidul duduk di balai-balai tempat bersantai. Di sinilah setiap hari Panembahan
Senopati menerima berbagai pelajaran: ketatanegaraan, ilmu menjadi raja,
memerintah manusia serta jin dan peri, berikut taktik berperang sampai ke
percintaan. Selama tiga hari tiga malam, mereka berkasih-kasihan layaknya
suami-istri.
Semua ilmu pemberian Nyai Roro Kidul, menjadi bekal bagi
Senopati untuk hadir sebagai raja sakti, bijaksana, penguasa tanah Jawa yang
tiada duanya. Setelah dirasa cukup, Senopati mohon diri kembali ke bumi. Namun
sebelumnya ia sempat bertanya, bagaimana caranya memanggil sang ratu jika suatu
saat Mataram kedatangan musuh? Ratu penguasa laut selatan itu tersenyum,
menjawab, "Bersedekaplah dengan berdiri suku tunggal memandang
langit, aku dan sekalian tentaraku akan segera membawa kemenangan."
Mitos Nyai Roro Kidul sebagaimana tersurat dalam Babad
Tanah Jawi itu sampai sekarang masih ada. Kemasyhurannya bergema
hingga terekam dalam kitab-kitab ilmiah bangsa seberang. Sudah lama
mitos ini dikaji dan diteliti oleh para ahli, namun semua itu tak
sanggup mengubah pandangan masyarakat Jawa akan eksistensi tokoh
yangdianggapnya betul-betul ada.
Babad Tanah Jawi karya gabungan sejarah dan
dongeng, memang bukan satu-satunya sumber tentang Nyai Roro Kidul. Namun dari
karya tanpa nama inilah, kisah ratu dedemit laut selatan muncul menjadi bagian
dari cerita rakyat Indonesia, bukan Jawa saja.
Nyai Roro Kidul, demikian ejaan sebenarnya dari
tulisan serai Babad Tanah ]awi. Tapi entah kenapa beredar dan
terkenal dengan nama yang salah baca, Kanjeng Ratu Kidul! Bahkan ada perbedaan
persepsi yang meluas dan diyakininya, bahwa antara Nyai Roro Kidul dan Kanjeng
Ratu Kidul itu berbeda. Artinya, Roro Kidul itu patih, sedangkan Kanjeng Ratu
Kidul itu ratunya. Namun, Babad Tanah ]awi tak
menyebutkan itu.
Kisah gaib rakyat jelata ini pun lantas berkembang menjadi
kisah sakral yang menuntut pertanggungjawaban religi yang sifatnya abadi. Ya,
abadi karena sesuai janji, Roro Kidul akan selalu berhubungan dengan seluruh
raja Jawa keturunan Panembahan Senopati hingga kini.
Maka selama Kerajaan Mataram ada, tokoh penguasa dedemit
Pulau Jawa ini akan tetap disembah untuk dimintai berkah. Jadi ratu makhluk
halus yang mendirikan bulu roma ini, sesungguhnya tidak memiliki watak jahat,
bahkan sebaliknya berhati mulia karena dipercaya menjaga ketenteraman keraton
dan rakyat Mataram hingga sekarang.
Memang tak salah kalau cerita besar ini kemudian
disebarluaskan lewat media bacaan bergambar yang komiknya laku keras di sekitar
tahun '60-an. Justru komik inilah yang menarik, mengingat penyajian katanya
singkat dan padat, sementara gambarnya sanggup menghanyutkan daya fantasi
pembaca untuk membayangkan kecantikan rupa Nyai Roro Kidul, serta kebrutalan
jin, setan laknat penjaga laut selatan. Layar perak film nasional pun tak
pernah sepi dari cerita-cerita berbau mistis tentang Nyai Roro Kidul dengan
serentet judul yang seram plus bumbu seks.
Yang jelas ratu sakti yang rupawan ini sudah menjadi salah
satu isi khazanah kisah klasik di Indonesia. Bahkan nampak semakin sakral,
karena seringnya diperingati dalam bentuk upacara labuhan atau terpentaskan
dalam teater tertutup berbentuk seni tari bedaya ketawang dan bedaya
semang. Wajar kalau kemudian mitos Nyai Roro Kidul melebihi
kisah Babad Tanah ]awi dan kebesaran Kerajaan Mataram sendiri.
Lihat saja, setahun sekali Keraton Yogyakarta pasti melakukan upacara tradisi
labuhan di Parangkusuma. Labuhan adalah persembahan sesaji yang ditujukan
kepada Kanjeng Ratu Kidul. Tradisi ini dilakukan bukan sekadar gengsi keraton
atau untuk kepentingan wisatawan melainkan demi keselamatan raja, keraton, dan
seluruh rakyatnya.
Ambil contoh, Sri Paku Buwono XII dari Keraton Solo di
penghujung tahun 1985 melakukan labuhan guna keselamatan rakyat dan keraton
setelah mengalami musibah kebakaran. Untuk menciptakan keserasian hubungan
dengan Ratu Laut Selatan, Kasunanan Surakarta membangun panggung Sanggabuwana
sebagai tempat pertemuan mereka berdua. Sedangkan Kasulatanan Yogyakarta
memilik sumur gemuling, terowongan bawah tanah di Tamansari
Keraton Yogyakarta yang konon tembus sampai laut selatan sebagai tempat
hubungan mistis antara Sunan dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Tapi hubungan cinta antara raja dan ratu ini oleh sejarawan
Prof. Dr. Edi Sedyawati diartikan sebagai hubungan yang bersifat adikodrati bukan
hubungan seksual duniawi. "Karena itu," tulis Edi dalamPrisma no.
7, Juli 1991, "hubungan mereka tak pernah membuahkan anak."
Menyinggung hubungan seksual, sejarawan IKIP Sanata Dharma Yogya, Suhardjo
Hatmosuprobo, menyatakan hubungan suami-istri Raja Jawa dan Ratu Kidul itu
hanya berlaku sebelum Perjanjian Gianti 1755. Sesudah Mataram pecah terbagi
dua, masing-masing raja Yogya dan Surakarta sama-sama menganggap Kanjeng Ratu
sebagai eyang, bukan istri. "Soalnya, kalau tidak begitu Kanjeng Ratu
Kidul itu namanya poliandri," katanya.
Apa pun komentar ahli, persepsi masyarakat Jawa tetaplah tak
bergeming dari dulu hingga kini. Semua raja Jawa bisa berkomunikasi dengan Ratu
Kidul. Tak percaya? Sekadar contoh baca saja Tahta Untuk Rakyat hlm.
103. Jelas sekali almarhum Hamengku Buwono IX mengisahkan pengalamannya bertemu
dengan Kanjeng Ratu Kidul setelah menjalankan laku puasa.
Katanya, ketika bulan naik, Kanjeng Ratu ini terlihat cantik sekali.
Sebaliknya, saat bulan menurun dia nampak sebagai wanita tua renta.
Mitos Ratu Kidul, sungguh mengingkari kenyataan. Di sini
mitos mengalahkan realitas, tradisi menggusur mo dernisasi. Sebab hampir di
sepanjang pantai selatan Pulau Jawa, dari Jawa Barat sampai Banyuwangi, Jawa
Timur, ratu lelembut ini dipercaya ada bukan dalam alam khayal semata.
Jadi, mungkin benar pula apa yang dikatakan oleh Edmund
Leach dalam bukunya Culture and Communication, bahwa mitos
merupakan jembatan antara dunia yang tampak dengan jagad yang tak kelihatan.
Mitos merupakan jawaban dari penghayatan manusia ketika ilmu pengetahuan tak
lagi sanggup menerangkan hal-hal yang kelewat supranatural. Apa jawaban manusia
Jawa tradisional terhadap ganasnya lautan yang acap kali meminta korban, kalau
bukan sosok lelembut bernama Ratu Kidul.
Seperti apakah gerangan wajah Kanjeng Ratu Kidul itu? Sayang
sekali Babad Tanah Jawi hanya mengatakan kecantikannya tak
tertandingi gadis gadis di bumi ini. Sementara menurut kalangan tertentu yang
mengaku pernah juga tahu, kecantikan ratu lelembut ini tak terlukiskan kata.
Dia berkulit kuning langsat, mulus, dan berperangai halus. Kepalanya berhias
mahkota kuning keemasan, dan di deretan giginya ada taring lancip kecil.
Katanya, taring runcing ini justru menambah pesona wajah sang Ratu dan hanya
terlihat saat dia murka. Satu ciri lagi, dia gemar mengenakan warna hijau.
Paling gampang membayangkan, lihat saja lukisan Basoeki
Abdullah yang sengaja ditaruh di kamar 308 Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu
(lihat lukisan di atas). Konon lukisan itu bukan asal coretan tangan semata.
Contoh lain, masih segar dalam ingatan saat kirab jumenengan (penobatan) Sri Sultan Hamengku Buwono X tahun 1989. GBPH Yudhaningrat, pengawal iring iringan kereta Hamengku Buwono X, merasa melihat putri cantik tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam kereta Garudayaksa dan duduk di samping Sri Sultan. Berbarengan dengan itu, kuda Yudhaningrat melonjak kaget menyebabkan penunggangnya terjatuh. Peristiwa itu terjadi di sebelah utara alun-alun Keraton Yogya. Siapa lagi putri cantik itu kalau bukan Nyai Roro Kidul yang saat itu diributkan koran-koran setempat, ikut mendampingi Sri Sultan berkirab.
Contoh lain, masih segar dalam ingatan saat kirab jumenengan (penobatan) Sri Sultan Hamengku Buwono X tahun 1989. GBPH Yudhaningrat, pengawal iring iringan kereta Hamengku Buwono X, merasa melihat putri cantik tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam kereta Garudayaksa dan duduk di samping Sri Sultan. Berbarengan dengan itu, kuda Yudhaningrat melonjak kaget menyebabkan penunggangnya terjatuh. Peristiwa itu terjadi di sebelah utara alun-alun Keraton Yogya. Siapa lagi putri cantik itu kalau bukan Nyai Roro Kidul yang saat itu diributkan koran-koran setempat, ikut mendampingi Sri Sultan berkirab.
0 comments:
Post a Comment