Berbagi Sebening Hati

Thursday 21 April 2016

Dasar-Dasar Jurnalisme Warga (Citizen Journalism)

Semua Orang adalah Pewarta Warga (Citizen Journalist)
Era ketertutupan sudah tamat. Sekarang eranya keterbukaan. Kalau puluhan tahun silam, orang yang bisa menulis di surat kabar hanyalah para wartawan dan penulis terkenal. Kalau dulu yang bisa menyiarkan berita di televisi hanyalah wartawan televisi. Jika dahulu kala yang hanya bisa menyiarkan berita di radio hanyalah para wartawan radio. Kini zaman telah berubah. Semua surat kabar, radio dan televisi sejak tahun 2005 silam memberikan ruang seluas-luasnya kepada setiap pembaca, pemirsa dan pendengar berbagai media cetak dan elektronik untuk menyiarkan informasi atau berita yang dimiliki.
Contoh sederhana, stasiun televisi swasta nasional bernama Metro TV memberikan kesempatan kepada masyarakat umum untuk menayangkan video hasil rekaman mereka. Stasiun televisi milik Surya Paloh itu bahkan berani tampil dengan program acara “Wideshot” yang dihelat setiap hari Senin-Jumat pukul 13.00 – 17.00 WIB. Dan jauh hari sebelumnya, berbagai surat kabar juga memberikan ruang khusus kepada para pembaca untuk menuangkan gagasan mereka. Dan hal ini menjadi kesempatan emas bagi masyarakat menjadi pewarta warga alias pewarta rakyat.
Itulah tren bermedia dewasa ini. Di mana para pemilik modal media massa berlomba-lomba menggaet para pembaca, pemirsa dan pendengar dengan melibatkan mereka melalui pemuatan karya jurnalistik mereka. Harapannya, dengan cara demikian, loyalitas para pembaca, pemirsa dan pendengar terhadap sebuah media massa dapat terjaga dengan baik.
Nah, pelibatan masyarakat umum untuk menampilkan karya-karya jurnalistik di berbagai media massa cetak dan elektronik semacam itulah yang sesungguhnya disebut sebagai sistem jurnalisme warga. Di mana para pemilik modal memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk menyiarkan informasi atau berita yang dimiliki. Dan pada saat yang bersamaan, warga masyarakat juga memiliki kesadaran diri dalam menyiarkan informasi atau berita.
Sejatinya, siapakah pewarta warga alias citizen journalist bin citizen reporter atau ada juga yang menyebutnya grassroot journalist dan ada pula yang menamai participatory journalist, dan netizen itu? Apakah pewarta warga bisa juga dikatakan sebagai profesi, mata pencaharian dan bisa menghasilkan uang; sebagaimana profesi PNS, wartawan, polisi, guru, tentara, ustad dan lain sebagainya? Toh kalaupun pewarta warga bisa menjadi profesi, apakah hak dan kewajibannya sama dengan wartawan atau penulis profesional?
Jelaslah selama ini, publik masih banyak yang merasa asing dengan profesi wartawan, apalagi dengan profesi pewarta warga. Coba saja tanyakan pada sekian ribu anak SD di Jakarta sana atau di Papua sana sekalian, adakah satu anak SD saja dari sekian ribu anak itu yang bercita-cita ingin menjadi pewarta warta ataupun wartawan? Sebab profesi yang disebutkan di atas masih sangat asing di tengah mata masyarakat pedesaan, pegunungan, pinggiran kota; hingga anak-anak SD-SMA sama sekali belum pernah mendengar orang yang menyebutkan kata wartawan atau pewarta warga pada mereka.
Penulis amat yakin seyakin-yakinnya, dari sekain ribu anak SD itu, pastilah menjawab vulgar bahwa ia berkeinginan kelak jika besar akan lebih memilih cita-cita menjadi tentara, guru, pedagang, presiden, gubernur, pengusaha, polisi dan profesi yang tampak sudah baku lainnya. Propaganda mengenai apa itu pewarta warga di tengah masyarakat juga masih minus. Dengan demikian, butuh kesadaran banyak kalangan untuk mempublis urgensitas kehadiran pewarta warga bagi negeri tercinta ini.
Pada dasarnya, pewarta warga adalah jurnalisme akar rumput yang timbul dan tumbuh dari bawah ke atas (bottom-up) dan bukan dari atas ke bawah (top-down). Mereka bisa menuturkan secara menyeluruh peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya dan ini bukan sekedar dalam bentuk berita saja. Mereka menghayati dan menjiwai benar apa-apa yang mereka ceritakan, sebab hal itu adalah hasil pengamatan ataupun pengalaman mereka sendiri. Jadi bukan hanya sekedar berita yang ditawar melainkan berita yang ditulis dengan penuh perasaan, penuh data dan penuh analisa yang jeli.
Secara struktural, pewarta warga tak terikat dengan atau oleh media massa elektronik (online) dan atau media massa cetak jenis manapun juga. Dengan begitu, mereka bisa jauh lebih bebas (leluasa) mengungkapkan pendapat maupun pikiran mereka masing-masing. Dalam sistem pewarta warga, posisi pembaca adalah raja, karena merekalah juga yang sekaligus menjadi penulis.
Menurut pemikiran kritis penulis, pewarta warga adalah orang-orang biasa (sipil) yang berkomitmen serius ingin mencerdaskan masyarakat luas melalui sharing berbagai informasi. Ia lebih merupakan sebuah kegiatan ranah/bidang jurnalistik, di mana masyarakat (umum, dari berbagai strata sosial) yang secara formal bukanlah seorang jurnalis (konvensional-profesional), akan tetapi mereka secara aktif memainkan peran layaknya seorang wartawan atau melakukan kegiatan jurnalistik. Yakni berpartisipasi memberikan kontribusi untuk mengumpulkan informasi, menulis berita, mengeditnya, menganalisis, melaporkan, dan menyiarkannya agar bisa dikonsumsi oleh publik.
Penulis pribadi lebih nyamleng menamai pewarta warga adalah pewarta rakyat, sebuah profesi yang patut disandang oleh para relawan yang secara ikhlas turut aktif dalam mengembangkan model jurnalisme yang mengedepankan hati nurani dan kejujuran (the soul and honest journalism).
Menurut Jay Rosen, citizen reporter (pewarta warga) adalah kalangan masyarakat yang pada mulanya hanya sebagai pendengar an sich. Pihak yang hanya sebagai penerima pesan dari sistim media massa yang berlangsung satu arah saja, dalam bentuk media-media penyiaran dengan biaya tinggi dan media-media tersebut berlomba bersuara selantang-lantangnya, sementara para pendengar terisolasi satu sama lain.
Situasi itu saat ini telah berubah total, drastis. Kondisi masyarakat sudah berubah lebih progresif, masyarakat yang lebih dinamis dan memiliki kemampuan berpikir logis-analitis yang mampu menentukan jalan hidupnya sendiri. Intinya, kemajuan peradaban yang menyertai kemajuan zaman manusia dari masa ke masa telah melahirkan sebuah pola interaksi antar manusia yang berbeda antara zaman dulu dengan zaman sekarang. Hal ini tidak luput terjadi juga di dunia media massa cetak dan elektronik. Dari hanya satu arah menjadi multiarah, multidimensional. Dari hanya sebagai pembicara dan pendengar menjadi diskusi-interaktif, tanya-jawab, memberi-menerima (take and give) dan seterusnya.

Peran informasi, dalam bentuk yang sesederhana apapun adanya, tidak pelak merupakan penentu keberhasilan usaha apapun yang dilakukan manusia. Kemenangan dan kegagalan dalam sebuah peperangan amat ditentukan oleh kehandalan agen spionase dan intelijen yang tugas utamanya mengumpulkan informasi dari musuh masing-masing pihak yang bertikai. Kemajuan penjualan produk sebuah perusahaan, yang menjadi tumpuan mati-hidupnya perusahaan itu, sangat tergantung kepada peran promosi dan iklan yang tidak lain berisi informasi tentang produk dan proses menginformasikannya kepada calon konsumen. Keberhasilan pendidikan tiada terlepas dari kualitas informasi dan metode transformasi informasi tentang ilmu pengetahuan antara pengajar dan pembelajar di lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan keberhasilan pertanian di masyarakat tradisional di zaman prasejarah juga ditentukan oleh ketersediaan informasi yang umumnya didapatkan dari tanda-tanda alam seperti bintang, arah angin, bunga tumbuhan tertentu hingga suara dan gerak khusus binatang sekitar.... (Bersambung)

Sumber: Kompasiana

Share:

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive