Semua
Orang adalah Pewarta Warga (Citizen Journalist)
Era
ketertutupan sudah tamat. Sekarang eranya keterbukaan. Kalau puluhan tahun
silam, orang yang bisa menulis di surat kabar hanyalah para wartawan dan
penulis terkenal. Kalau dulu yang bisa menyiarkan berita di televisi hanyalah
wartawan televisi. Jika dahulu kala yang hanya bisa menyiarkan berita di radio
hanyalah para wartawan radio. Kini zaman telah berubah. Semua surat kabar,
radio dan televisi sejak tahun 2005 silam memberikan ruang seluas-luasnya
kepada setiap pembaca, pemirsa dan pendengar berbagai media cetak dan
elektronik untuk menyiarkan informasi atau berita yang dimiliki.
Contoh
sederhana, stasiun televisi swasta nasional bernama Metro TV memberikan kesempatan
kepada masyarakat umum untuk menayangkan video hasil rekaman mereka. Stasiun
televisi milik Surya Paloh itu bahkan berani tampil dengan program acara
“Wideshot” yang dihelat setiap hari Senin-Jumat pukul 13.00 – 17.00 WIB. Dan
jauh hari sebelumnya, berbagai surat kabar juga memberikan ruang khusus kepada
para pembaca untuk menuangkan gagasan mereka. Dan hal ini menjadi kesempatan
emas bagi masyarakat menjadi pewarta warga alias pewarta rakyat.
Itulah
tren bermedia dewasa ini. Di mana para pemilik modal media massa berlomba-lomba
menggaet para pembaca, pemirsa dan pendengar dengan melibatkan mereka melalui
pemuatan karya jurnalistik mereka. Harapannya, dengan cara demikian, loyalitas
para pembaca, pemirsa dan pendengar terhadap sebuah media massa dapat terjaga
dengan baik.
Nah,
pelibatan masyarakat umum untuk menampilkan karya-karya jurnalistik di berbagai
media massa cetak dan elektronik semacam itulah yang sesungguhnya disebut
sebagai sistem jurnalisme warga. Di mana para pemilik modal memberikan kesempatan
yang luas kepada masyarakat untuk menyiarkan informasi atau berita yang
dimiliki. Dan pada saat yang bersamaan, warga masyarakat juga memiliki
kesadaran diri dalam menyiarkan informasi atau berita.
Sejatinya,
siapakah pewarta warga alias citizen journalist bin citizen
reporter atau ada juga yang menyebutnya grassroot journalist dan
ada pula yang menamai participatory journalist, dan netizen itu?
Apakah pewarta warga bisa juga dikatakan sebagai profesi, mata pencaharian dan
bisa menghasilkan uang; sebagaimana profesi PNS, wartawan, polisi, guru,
tentara, ustad dan lain sebagainya? Toh kalaupun pewarta warga bisa menjadi
profesi, apakah hak dan kewajibannya sama dengan wartawan atau penulis
profesional?
Jelaslah
selama ini, publik masih banyak yang merasa asing dengan profesi wartawan,
apalagi dengan profesi pewarta warga. Coba saja tanyakan pada sekian ribu anak
SD di Jakarta sana atau di Papua sana sekalian, adakah satu anak SD saja dari
sekian ribu anak itu yang bercita-cita ingin menjadi pewarta warta ataupun
wartawan? Sebab profesi yang disebutkan di atas masih sangat asing di tengah
mata masyarakat pedesaan, pegunungan, pinggiran kota; hingga anak-anak SD-SMA
sama sekali belum pernah mendengar orang yang menyebutkan kata wartawan atau
pewarta warga pada mereka.
Penulis
amat yakin seyakin-yakinnya, dari sekain ribu anak SD itu, pastilah menjawab
vulgar bahwa ia berkeinginan kelak jika besar akan lebih memilih cita-cita
menjadi tentara, guru, pedagang, presiden, gubernur, pengusaha, polisi dan profesi
yang tampak sudah baku lainnya. Propaganda mengenai apa itu pewarta warga di
tengah masyarakat juga masih minus. Dengan demikian, butuh kesadaran banyak
kalangan untuk mempublis urgensitas kehadiran pewarta warga bagi negeri
tercinta ini.
Pada
dasarnya, pewarta warga adalah jurnalisme akar rumput yang timbul dan tumbuh
dari bawah ke atas (bottom-up) dan bukan dari atas ke bawah (top-down).
Mereka bisa menuturkan secara menyeluruh peristiwa-peristiwa yang terjadi di
sekitarnya dan ini bukan sekedar dalam bentuk berita saja. Mereka menghayati
dan menjiwai benar apa-apa yang mereka ceritakan, sebab hal itu adalah hasil
pengamatan ataupun pengalaman mereka sendiri. Jadi bukan hanya sekedar berita
yang ditawar melainkan berita yang ditulis dengan penuh perasaan, penuh data
dan penuh analisa yang jeli.
Secara
struktural, pewarta warga tak terikat dengan atau oleh media massa elektronik (online)
dan atau media massa cetak jenis manapun juga. Dengan begitu, mereka bisa jauh
lebih bebas (leluasa) mengungkapkan pendapat maupun pikiran mereka
masing-masing. Dalam sistem pewarta warga, posisi pembaca adalah raja, karena
merekalah juga yang sekaligus menjadi penulis.
Menurut
pemikiran kritis penulis, pewarta warga adalah orang-orang biasa (sipil) yang
berkomitmen serius ingin mencerdaskan masyarakat luas melalui sharing berbagai
informasi. Ia lebih merupakan sebuah kegiatan ranah/bidang jurnalistik,
di mana masyarakat (umum, dari berbagai strata sosial) yang secara formal
bukanlah seorang jurnalis (konvensional-profesional), akan tetapi mereka secara
aktif memainkan peran layaknya seorang wartawan atau melakukan kegiatan
jurnalistik. Yakni berpartisipasi memberikan kontribusi untuk mengumpulkan
informasi, menulis berita, mengeditnya, menganalisis, melaporkan, dan menyiarkannya
agar bisa dikonsumsi oleh publik.
Penulis pribadi lebih nyamleng menamai
pewarta warga adalah pewarta
rakyat, sebuah profesi yang patut disandang oleh para relawan yang
secara ikhlas turut aktif dalam mengembangkan model jurnalisme yang
mengedepankan hati nurani dan kejujuran (the soul and honest journalism).
Menurut
Jay Rosen, citizen reporter (pewarta warga) adalah kalangan
masyarakat yang pada mulanya hanya sebagai pendengar an sich. Pihak
yang hanya sebagai penerima pesan dari sistim media massa yang berlangsung satu
arah saja, dalam bentuk media-media penyiaran dengan biaya tinggi dan
media-media tersebut berlomba bersuara selantang-lantangnya, sementara para
pendengar terisolasi satu sama lain.
Situasi
itu saat ini telah berubah total, drastis. Kondisi masyarakat sudah berubah
lebih progresif, masyarakat yang lebih dinamis dan memiliki kemampuan berpikir
logis-analitis yang mampu menentukan jalan hidupnya sendiri. Intinya, kemajuan
peradaban yang menyertai kemajuan zaman manusia dari masa ke masa telah
melahirkan sebuah pola interaksi antar manusia yang berbeda antara zaman dulu
dengan zaman sekarang. Hal ini tidak luput terjadi juga di dunia media massa
cetak dan elektronik. Dari hanya satu arah menjadi multiarah,
multidimensional. Dari hanya sebagai pembicara dan pendengar menjadi
diskusi-interaktif, tanya-jawab, memberi-menerima (take and give) dan
seterusnya.
Peran informasi, dalam bentuk yang sesederhana apapun
adanya, tidak pelak merupakan penentu keberhasilan usaha apapun yang dilakukan
manusia. Kemenangan dan kegagalan dalam sebuah peperangan amat ditentukan oleh
kehandalan agen spionase dan intelijen yang tugas utamanya mengumpulkan
informasi dari musuh masing-masing pihak yang bertikai. Kemajuan penjualan
produk sebuah perusahaan, yang menjadi tumpuan mati-hidupnya perusahaan itu,
sangat tergantung kepada peran promosi dan iklan yang tidak lain berisi
informasi tentang produk dan proses menginformasikannya kepada calon konsumen.
Keberhasilan pendidikan tiada terlepas dari kualitas informasi dan metode
transformasi informasi tentang ilmu pengetahuan antara pengajar dan pembelajar
di lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan keberhasilan pertanian di masyarakat
tradisional di zaman prasejarah juga ditentukan oleh ketersediaan informasi
yang umumnya didapatkan dari tanda-tanda alam seperti bintang, arah angin,
bunga tumbuhan tertentu hingga suara dan gerak khusus binatang sekitar.... (Bersambung)
Sumber: Kompasiana
0 comments:
Post a Comment