SEORANG Jakob Sumardjo, budayawan Sunda kelahiran Klaten
Jawa Tengah, dalam artikelnya yang pernah di muat dalam koran harian Pikiran
Rakyat (5/01/2008) dengan judul Kabayan Sebagai Cerita Rakyat, menyebutkan
tokoh Si Kabayan dalam cerita rakyat Jawa Barat bisa jadi simbol Sunda–air dan
Sunda-gunung sekaligus, serta menjadi jati diri sunda secara budaya.
Dalam cerita rakyat Parahiyangan (nama lain dari tatar
Sunda/Jawa Barat), tokoh Si Kabayan yang kerap disejajarkan dengan tokoh Abu
Nawas dan Koja Nasrudin itu, digambarkan sebagai tokoh yang pintar-pintar
bodoh. Maksudnya dari satu sisi begitu tampak kebodohannya, dan di sisi lain
muncul pula kepintaran/kecerdasannya secara tidak diduga.
Misalnya saja kebodohan Si Kabayan dapat dilihat dalam kisah
Si Kabayan Ngala Tutut . Karena airnya yang bening di sawah itu, sehingga
bayang-bayang awan putih dan langit yang biru begitu jelas terlihat. Di mata Si
Kabayan, sawah itu dilihatnya begitu dalam. Sehingga dia pun takut untuk turun.
Dan tutut (Keong sawah) pun diambilnya dengan menggunakan ranting kayu.
Kebodohan si Kabayan, menurut Jakob Sumardjo, merupakan
kebodohan yang merupakan simbolik rohani. Kita ini bodoh spiritual. Dalam hal
ini bukan hanya jati diri Sunda, tetapi juga jati diri manusia sendiri.
Sementara pintarnya Si Kabayan, di dalam setiap kisahnya
terkandung filosofi hidup yang memiliki bobot intelektual dan nilai sastera
yang tinggi. Penuh dengan simbol kehidupan yang patut menjadi bahan perenungan.
Hanya saja sayangnya, kita sebagai penikmat cerita rakyat itu cenderung
melihat dari sisi guguyonan (humor)-nya saja.
Sehingga lebih jauh Jakob Sumardjo menyebutkan, bahwa
tokoh Si Kabayan merupakan tokoh paradoks. Bodoh tapi pintar. Sebagaimana sikap
hidup urang Sunda sendiri yang konon memiliki karakter ‘halus’, bukan
kasar. Kalau harus ‘kasar’, tetap ‘halus’. Tidak keras, tapi lembut.
Tidak agresif, tapi diam.
Pada dasarnya, sikap hidup urang Sunda agak ganda dalam arti
positif. Paradoksal.
Akan tetapi masih relevankah pendapat Jakob itu untuk
kondisi sekarang ini?
Seorang tokoh masyarakat Sunda, Ginanjar Kartasasmita, malah
mengatakan kalau watak urang Sunda cenderung aing-aingan (Egois). Bila saja ada
salah seorang yang tandang-makalangan ( maju untuk berjuang) demi kejayaan
negeri, oleh yang lainnya diantep-karepkeun
(dibiarkan), dan tak jarang ditertawakan. Bahkan sampai juga dijongklokeun (dijerumuskan).
0 comments:
Post a Comment