Berbagi Sebening Hati

Monday 18 April 2016

Ada Kidung Misa di Beranda Mushola


USAI bersalaman jamaah mushola berhamburan pulang. Termasuk juga ajengan Kurdi, imam sholat di mushola itu. Hanya saja yang terahir ini bukan menuju rumah, melainkan ke madrasah. Untuk mengajar ngaji anak-anak yang terdengar sudah ramai di sana. Sementara Jaka malah kembali duduk tepekur. Lelaki setengah tua itu sudah biasa menanti sholat Isa di dalam mushola. Tanggung, alasan yang dikemukakannya kepada jamaah yang mengajaknya pulang bersama. Jeda antara Magrib dan Isa terkadang diisinya dengan tadarus.

Sesaat wajahnya mendongak. Melihat jadwal waktu sholat yang terpampang di dinding. Masih ada waktu barang sekitar setengah jam lagi.   Lalu matanya berpindah ke kalender yang tergantung di sebelahnya. Tiba-tiba Jaka berdiri, lalu mendekati kalender yang bergambar hiasan kaligrafi itu.
Jaka terkesiap. Tatapannya nanar pada angka yang sesuai dengan hari  ini. Angka yang menunjukkan tanggal 24 Desember. Malam Natal pertama bagi pemeluknya. Matanya mengerjap, dan nafasnya terasa berat. Kemudian Jaka berbalik, dan dengan gontai menuju beranda mushola.

Udara malam yang dingin menyergapnya. Sambil bersandar di dinding tembok, mata Jaka jauh menerawang. Waktu berputar seketika menuju saat tiga puluh satu tahun yang lalu.  Jaka sedang terapung-apung di sudut jalan kota Dili, ibu kota negara Timor Leste.

Usai menunaikan sholat Maghrib di hotel Turismo tempat selama ia tinggal di kota yang saat itu merupakan ibu kota propinsi Timor Timur, Jaka akan menemui Grace, atau Graciela Carvalho nama lengkapnya, yang menunggunya di taman dekat patung Fatima. Gadis peranakan Timor dan Portugis itu sejak Jaka pertama kali menginjakkan kakinya di bandara Komoro selalu dengan setia menemaninya. Grace mendapat perintah dari Kepala Dinas Pariwisata, atasannya, menjadi penunjuk Jaka dalam melaksanakan tugasnya meliput objek-objek wisata.

Satu minggu bersama dengan gadis itu, membuat hati pemuda berusia dua puluh tahun ini jatuh cinta. Dan rupanya Grace pun demikian. Hati keduanya berpadu dalam asmara yang menggelora. Tak ubahnya gelora samudra Hindia  yang tak henti-hentinya menerjang karang di bibir pantai sebelah tenggara.

Dalam temaram lampu taman, Jaka melihat Grace berpenampilan lain. Biasanya gadis itu berpakaian jean dan kasual,  malam itu Grace demikian tampak anggun dengan gaun panjang  yang menebarkan wangi farfum yang mengundang. Mata Jaka seakan tak berkedip menatapnya.

Grace melambaikan tangan dengan senyum terkembang. Jaka tersadar. Bergegas ia mendekatinya.

“Jaka, malam ini adalah malam yang istimewa bagiku...” kata Grace dengan sumringah.

 “O ya? “ Jaka sedikit heran. Belum faham dengan yang dikatakan kekasihnya itu.

 “Malam ini kami akan menyambut perayaan Natal...” Grace menjelaskan.” Maukah kamu ikut serta merayakannya ?”

Hati Jaka tercekat seketika. Ingatannya melayang ke kampungnya. Ketika masih di SMP Jaka pun masih mengaji kitab kuning setiap usai sholat magrib. Guru ngajinya, ajengan Abdul Halim pernah mengatakan, bahwa haram hukumnya umat Islam ikut merayakan hari besar agama lain. Sementara sekarang, gadis yang dicintainya mengajaknya untuk merayakan Natal. Jaka pun menjadi bimbang.

“Lho koq malah diam, kenapa, Ka?” tanya Grace memecah keheningan dengan nada merajuk.

“Ah... Eh... Ohhh... Tidak. Tidak apa-apa. Hanya saja aku lupa, bahwa malam ini adalah malam yang istimewa bagimu. Maapkan aku, ya? Dan kalau demikian, ijinkan aku mengucapkan selamat Natal,” kata Jaka seraya menggamit jemari tangan Grace yang lentik.

“Terima kasih,” kata Grace dengan senyum sumringah. “Lalu bagaimana dengan ajakanku yang tadi?”

 “Tentu dong. Aku mau menemanimu. Demi cintaku, kemana pun aku turuti,” sahut Jaka sedikit bercanda.

Di gereja St. Imaculada Conceicao dua remaja itu duduk berdampingan. Grace begitu khusuknya berdoa. Sementara Jaka menyebut ajengan Abdul Halim dalam hatinya. “Maafkan, ajengan. Aku sekali ini tidak menuruti kata-katamu. Karena meskipun kami berdua berbeda keyakinan, tapi kami sama-sama memiliki cinta...” bisiknya diahiri dengan mengucap dua kalimat Syahadat.

Dua hari usai merayakan Natal, Jaka harus kembali ke Jakarta. Dengan hati yang berat Grace melepas kepergian Jaka di bandara Komoro. Setibanya di Jakarta Jaka berjanji akan berkirim surat, dan segera akan menghubunginya via telpon. Dan sejak itu pula hubungan Jaka dengan Grace hanyalah sebatas surat dan telpon belaka. Lain tidak. Kemesraan cinta mereka hanya terungkap lewat kata-kata dan goresan pena saja.  Jaka sibuk meliput berita sambil melanjutkan kuliahnya.

Satu tahun berselang, Grace dalam suratnya mengabarkan bahwa dirinya sedang mencari kepastian. Dan tanpa tedeng aling-aling Grace meminta ijin kepada Jaka untuk menyerahkan hidup dan cintanya kepada Tuhan. Grace bertekad untuk mengabdi menjadi seorang biarawati.

Jaka terhenyak. Dirinya merasa tidak berdaya. Bak seonggok daging tanpa nyawa. Apa boleh buat. Ungkapan kawih yang dilantunkan Ebiet G Ade seolah mengingatkannya... Sebab cinta bukan mesti bersatu... biar kucumbui bayangmu dan kusandarkan harapanku...


Lamat-lamat telinga Jaka mendengar suara adzan Isya dari kejauhan. Tapi dari telinga yang satunya lagi menyelinap suara kidung misa dari gereja yang entah di mana....  

Lalu Jaka pun mengucap Istighfar seraya menabuh beduk tanda waktu sholat isa telah tiba.***

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arsudradjat/ada-kidung-misa-di-beranda-mushola_551b2277a33311ee21b65c8f
Share:

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive