USAI bersalaman jamaah mushola berhamburan pulang. Termasuk
juga ajengan Kurdi, imam sholat di mushola itu. Hanya saja yang terahir ini
bukan menuju rumah, melainkan ke madrasah. Untuk mengajar ngaji anak-anak yang
terdengar sudah ramai di sana. Sementara Jaka malah kembali duduk tepekur.
Lelaki setengah tua itu sudah biasa menanti sholat Isa di dalam mushola.
Tanggung, alasan yang dikemukakannya kepada jamaah yang mengajaknya pulang
bersama. Jeda antara Magrib dan Isa terkadang diisinya dengan tadarus.
Sesaat wajahnya mendongak. Melihat jadwal waktu sholat yang
terpampang di dinding. Masih ada waktu barang sekitar setengah jam lagi.
Lalu matanya berpindah ke kalender yang tergantung di sebelahnya.
Tiba-tiba Jaka berdiri, lalu mendekati kalender yang bergambar hiasan kaligrafi
itu.
Jaka terkesiap. Tatapannya nanar pada angka yang sesuai
dengan hari ini. Angka yang menunjukkan tanggal 24 Desember. Malam Natal
pertama bagi pemeluknya. Matanya mengerjap, dan nafasnya terasa berat. Kemudian
Jaka berbalik, dan dengan gontai menuju beranda mushola.
Udara malam yang dingin menyergapnya. Sambil bersandar di
dinding tembok, mata Jaka jauh menerawang. Waktu berputar seketika menuju saat
tiga puluh satu tahun yang lalu. Jaka sedang terapung-apung di sudut
jalan kota Dili, ibu kota negara Timor Leste.
Usai menunaikan sholat Maghrib di hotel Turismo tempat
selama ia tinggal di kota yang saat itu merupakan ibu kota propinsi Timor
Timur, Jaka akan menemui Grace, atau Graciela Carvalho nama lengkapnya, yang
menunggunya di taman dekat patung Fatima. Gadis peranakan Timor dan Portugis
itu sejak Jaka pertama kali menginjakkan kakinya di bandara Komoro selalu
dengan setia menemaninya. Grace mendapat perintah dari Kepala Dinas Pariwisata,
atasannya, menjadi penunjuk Jaka dalam melaksanakan tugasnya meliput
objek-objek wisata.
Satu minggu bersama dengan gadis itu, membuat hati pemuda
berusia dua puluh tahun ini jatuh cinta. Dan rupanya Grace pun demikian. Hati
keduanya berpadu dalam asmara yang menggelora. Tak ubahnya gelora samudra
Hindia yang tak henti-hentinya menerjang karang di bibir pantai sebelah
tenggara.
Dalam temaram lampu taman, Jaka melihat Grace berpenampilan
lain. Biasanya gadis itu berpakaian jean dan kasual, malam itu Grace
demikian tampak anggun dengan gaun panjang yang menebarkan wangi farfum
yang mengundang. Mata Jaka seakan tak berkedip menatapnya.
Grace melambaikan tangan dengan senyum terkembang. Jaka
tersadar. Bergegas ia mendekatinya.
“Jaka, malam ini adalah malam yang istimewa bagiku...” kata
Grace dengan sumringah.
“O ya? “ Jaka sedikit
heran. Belum faham dengan yang dikatakan kekasihnya itu.
“Malam ini kami akan
menyambut perayaan Natal...” Grace menjelaskan.” Maukah kamu ikut serta
merayakannya ?”
Hati Jaka tercekat seketika. Ingatannya melayang ke kampungnya.
Ketika masih di SMP Jaka pun masih mengaji kitab kuning setiap usai sholat
magrib. Guru ngajinya, ajengan Abdul Halim pernah mengatakan, bahwa haram
hukumnya umat Islam ikut merayakan hari besar agama lain. Sementara sekarang,
gadis yang dicintainya mengajaknya untuk merayakan Natal. Jaka pun menjadi
bimbang.
“Lho koq malah diam, kenapa, Ka?” tanya Grace memecah
keheningan dengan nada merajuk.
“Ah... Eh... Ohhh... Tidak. Tidak apa-apa. Hanya saja aku
lupa, bahwa malam ini adalah malam yang istimewa bagimu. Maapkan aku, ya? Dan
kalau demikian, ijinkan aku mengucapkan selamat Natal,” kata Jaka seraya
menggamit jemari tangan Grace yang lentik.
“Terima kasih,” kata Grace dengan senyum sumringah. “Lalu
bagaimana dengan ajakanku yang tadi?”
“Tentu dong. Aku mau
menemanimu. Demi cintaku, kemana pun aku turuti,” sahut Jaka sedikit bercanda.
Di gereja St. Imaculada Conceicao dua remaja itu duduk
berdampingan. Grace begitu khusuknya berdoa. Sementara Jaka menyebut ajengan
Abdul Halim dalam hatinya. “Maafkan, ajengan. Aku sekali ini tidak menuruti
kata-katamu. Karena meskipun kami berdua berbeda keyakinan, tapi kami sama-sama
memiliki cinta...” bisiknya diahiri dengan mengucap dua kalimat Syahadat.
Dua hari usai merayakan Natal, Jaka harus kembali ke
Jakarta. Dengan hati yang berat Grace melepas kepergian Jaka di bandara Komoro.
Setibanya di Jakarta Jaka berjanji akan berkirim surat, dan segera akan
menghubunginya via telpon. Dan sejak itu pula hubungan Jaka dengan Grace
hanyalah sebatas surat dan telpon belaka. Lain tidak. Kemesraan cinta mereka
hanya terungkap lewat kata-kata dan goresan pena saja. Jaka sibuk meliput
berita sambil melanjutkan kuliahnya.
Satu tahun berselang, Grace dalam suratnya mengabarkan bahwa
dirinya sedang mencari kepastian. Dan tanpa tedeng aling-aling Grace meminta
ijin kepada Jaka untuk menyerahkan hidup dan cintanya kepada Tuhan. Grace
bertekad untuk mengabdi menjadi seorang biarawati.
Jaka terhenyak. Dirinya merasa tidak berdaya. Bak seonggok
daging tanpa nyawa. Apa boleh buat. Ungkapan kawih yang dilantunkan Ebiet G Ade
seolah mengingatkannya... Sebab cinta bukan mesti bersatu... biar kucumbui
bayangmu dan kusandarkan harapanku...
Lamat-lamat telinga Jaka mendengar suara adzan Isya dari
kejauhan. Tapi dari telinga yang satunya lagi menyelinap suara kidung misa dari
gereja yang entah di mana....
Lalu Jaka pun mengucap Istighfar seraya
menabuh beduk tanda waktu sholat isa telah tiba.***
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arsudradjat/ada-kidung-misa-di-beranda-mushola_551b2277a33311ee21b65c8f
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arsudradjat/ada-kidung-misa-di-beranda-mushola_551b2277a33311ee21b65c8f
0 comments:
Post a Comment