Berbagi Sebening Hati

Tuesday 26 April 2016

'Amoy' Itu Istri Saya Koq...

Karena masalah pekerjaan jugalah kami, saya dan istri tercinta harus hidup berjauhan. Saya di kota metropolitan, dan dia di kampung halaman.

Memang pernah saya mencoba memintanya untuk pindah  kerja di Jakarta, dan tinggal bersama, sebagaimana layaknya orang berumah tangga. Tapi alasan yang ia sodorkan cukup sederhana, dan saya pun mafhum adanya. Jakarta terlalu sumpek dan panas. Sementara ia sudah terbiasa di kampung halaman yang udaranya masih bersih dan segar. Dan yang paling utama, sebagai seorang guru, ia memiliki tanggung jawab moral yang tinggi memang. Ia ingin mengabdikan diri untuk membangun kampung halaman kami yang saat itu  masih tertinggal. Hal itu telah jadi komitmennya sejak kami belum menikah, memang. Untuk melepas kerinduan, ahirnya dua minggu sekali saya mudik, menjelang Jumat petang. Dan hari minggu sore saya kembali ke Jakarta. Hanya apabila tiba musim liburan sekolah, istri saya datang mengunjungi, dan tinggal menemani saya di kota metropolitan.

Ketika baru pertama kali datang di Jakarta, sengaja saya mengundang para tetangga untuk memperkenalkan istri yang baru beberapa bulan dinikahi. Kebetulan sebagian besar tetangga saya banyak warga keturunan chinese, bahkan di antaranya, terutama yang sudah lansia, masih ada yang masih totok berbahasa mandarin.

Mereka ribut bertanya kepada saya dan  istri ,  Enci marga-nya apa?  Koq bisa ya menikah sama orang Sunda? Dan yang lucu, adalah engkong-engkong tua yang nyerocos mengajak bicara bahasa mandarin kepada istri saya. Tentu saja istri saya hanya melongo saja dibuatnya.

Betapa tidak. Istri saya yang dianggap amoy, sama sekali bukan warga keturunan. Asli lho orang Sunda, sama seperti saya. Hanya kebetulan dia memiliki kulit kuning langsat, dan mata sipit seperti mereka. Setelah saya jelaskan kepada mereka, ahirnya merekapun mafhum adanya.

Akan tetapi, hubungan kami dengan tetangga warga keturunan terasa menjadi istimewa. Setiap istri saya ada di Jakarta, para tetangga banyak yang menganggap saudara kepada istri saya. Bahkan jika perayaan Imlek tiba, walau istri saya sedang ada di kampung sekalipun, kami banyak menerima angpau dari mereka. "Untuk si Enci," katanya. Terlebih jika kebetulan istri di Jakarta, kami selalu larut ikut merayakan hari Imlek bersama mereka.

Demikian juga halnya apabila  kami sekeluarga merayakan hari besar agama kami. Terutama kalau Hari Raya Iedul Adha (Karena kalau Hari Raya Iedul Fitri, sehari sebelum tiba waktunya,  saya sudah pamit pada tetangga untuk merayakannya bersama keluarga di kampung halaman), istri saya yang kebetulan sedang liburan, memasak makanan sebagaimana kebiasaan di kampung halaman, kemudian dibagi-bagikan kepada para tetangga bersama penganan oleh-oleh yang dibawa dari kampung...


Sekarang hal itu tinggal kenangan saja. Saya telah lama tinggal bersama istri di kampung halaman. Dan jika perayaan Imlek tiba, seringkali saya dan istri tertawa, "Enci masih cantik juga ya biar sudah tua juga..." Dan istri saya pun mencubit saya dengan mesranya...


Share:

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive