Karena masalah pekerjaan jugalah kami, saya dan istri
tercinta harus hidup berjauhan. Saya di kota metropolitan, dan dia di kampung
halaman.
Memang pernah saya mencoba memintanya untuk pindah kerja di Jakarta, dan tinggal bersama,
sebagaimana layaknya orang berumah tangga. Tapi alasan yang ia sodorkan cukup
sederhana, dan saya pun mafhum adanya. Jakarta terlalu sumpek dan panas.
Sementara ia sudah terbiasa di kampung halaman yang udaranya masih bersih dan
segar. Dan yang paling utama, sebagai seorang guru, ia memiliki tanggung jawab
moral yang tinggi memang. Ia ingin mengabdikan diri untuk membangun kampung
halaman kami yang saat itu masih
tertinggal. Hal itu telah jadi komitmennya sejak kami belum menikah, memang.
Untuk melepas kerinduan, ahirnya dua minggu sekali saya mudik, menjelang Jumat
petang. Dan hari minggu sore saya kembali ke Jakarta. Hanya apabila tiba musim
liburan sekolah, istri saya datang mengunjungi, dan tinggal menemani saya di
kota metropolitan.
Ketika baru pertama kali datang di Jakarta, sengaja saya
mengundang para tetangga untuk memperkenalkan istri yang baru beberapa bulan
dinikahi. Kebetulan sebagian besar tetangga saya banyak warga keturunan
chinese, bahkan di antaranya, terutama yang sudah lansia, masih ada yang masih
totok berbahasa mandarin.
Mereka ribut bertanya kepada saya dan istri ,
Enci marga-nya apa? Koq bisa ya
menikah sama orang Sunda? Dan yang lucu, adalah engkong-engkong tua yang
nyerocos mengajak bicara bahasa mandarin kepada istri saya. Tentu saja istri
saya hanya melongo saja dibuatnya.
Betapa tidak. Istri saya yang dianggap amoy, sama sekali
bukan warga keturunan. Asli lho orang Sunda, sama seperti saya. Hanya kebetulan
dia memiliki kulit kuning langsat, dan mata sipit seperti mereka. Setelah saya
jelaskan kepada mereka, ahirnya merekapun mafhum adanya.
Akan tetapi, hubungan kami dengan tetangga warga keturunan
terasa menjadi istimewa. Setiap istri saya ada di Jakarta, para tetangga banyak
yang menganggap saudara kepada istri saya. Bahkan jika perayaan Imlek tiba,
walau istri saya sedang ada di kampung sekalipun, kami banyak menerima angpau
dari mereka. "Untuk si Enci," katanya. Terlebih jika kebetulan istri
di Jakarta, kami selalu larut ikut merayakan hari Imlek bersama mereka.
Demikian juga halnya apabila
kami sekeluarga merayakan hari besar agama kami. Terutama kalau Hari
Raya Iedul Adha (Karena kalau Hari Raya Iedul Fitri, sehari sebelum tiba
waktunya, saya sudah pamit pada tetangga
untuk merayakannya bersama keluarga di kampung halaman), istri saya yang
kebetulan sedang liburan, memasak makanan sebagaimana kebiasaan di kampung
halaman, kemudian dibagi-bagikan kepada para tetangga bersama penganan
oleh-oleh yang dibawa dari kampung...
Sekarang hal itu tinggal kenangan saja. Saya telah lama
tinggal bersama istri di kampung halaman. Dan jika perayaan Imlek tiba,
seringkali saya dan istri tertawa, "Enci masih cantik juga ya biar sudah
tua juga..." Dan istri saya pun mencubit saya dengan mesranya...
0 comments:
Post a Comment