Berbagi Sebening Hati

Tuesday 1 March 2016

Ketika Wabah Anak Jalanan Melanda Pedesaan



Dua bocah, sekitar 4 tahunan, yang tampaknya pulang dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), sambil jalan  beriringan di gang belakang rumah saya, dari mulutnya yang imut terdengar menyanyikan lirik lagu:

 Hati hati dengan hatiku
Karna hatiku mudah layu
 Jangan kamu bermain-main
Karna kutak’ main-main... 

Saya pun buru-buru menjejeri keduanya. Tetapi suara mereka pun mendadak berhenti, berganti dengan senyum malu-malu.

 “Iko, Alif, lagu apa itu ?” tanya saya.

“Si Boy !” sahut keduanya hampir serempak. “Itu tuh yang suka naik motor bagus di televisi,” sambung salah satu dari mereka.

 “Coba nyanyikan lagi. Bapak ingin mendengarnya. Iko dan Alif sudah hafal ‘kan semuanya ?” 
Kedua bocah itu malah berlarian sambil ketawa.

“Tunggu. Nanti yang mau menyanyikan lagu si Boy itu akan bapak kasih hadiah. Permen, mau ?”

Bisa jadi karena mendengar akan diberi hadiah permen, kedua bocah anak tetangga itu kembali menghampiri saya. Kemudian tanpa dikomando lagi keduanya kembali menyanyikan lagu yang menjadi soundtrack sinetron Anak Jalanan, yang saban malam ditayangkan di RCTI.

Hati hati dengan hatiku
Karna hatiku mudah layu  
Jangan kamu bermain-main 
Karna kutak’ main-main
Sungguh aku bersungguh-sungguh 
Cintaku ini cinta mati Mati-matian aku 
 Pertahankan cintaku
Aku takkan rela...bila kau tinggalkan
Aku kan berbuat...apa saja
Untuk mendapatkan kamu lagi
 Rupa rupa alasan kamu 
 Untuk tetap tinggalkan aku 
Rupanya kamu memang
Sudah tak cinta aku
Cintamu yang berbisa
Bisa racuni aku
Bisa-bisanya kamu mau tinggalkan aku 
Aku takkan rela...bila kau tinggalkan 
Aku kan berbuat...apa saja
 Untuk mendapatkan kamu lagi...

Selesai bernyanyi, kedua anak itupun mengulurkan tangannya. Menagih hadiah yang dijanjikan. Sambil menggeleng-gelengkan kepala,  saya merogoh kantong celana. Dan kedua anak itu masing-masing saya beri 5 buah permen.

Sungguh. Saya takjub mendengar kedua bocah itu begitu hafal secara lengkap lagu tersebut. Bahkan lirik lagu di atas, saya kutip langsung dari mulut keduanya.

Memang belakangan ini sinetron yang skenarionya ditulis pengarang serial Lupus itu, Hilman Hariwijaya, seakan menjadi magnet bagi sebagian besar warga di desa kami. Saban selesai menunaikan shalat Magrib di masjid, dari setiap rumah yang saya lewati akan terdengar lagu itu, pertanda sinetron Anak Jalanan sedang di tayangkan. Dan kemungkinan besar setiap keluarga, orang tua dan anak-anaknya,  dari rumah yang saya lewati tidak akan melewatkan tayangan sinetron itu. Betapa tidak, sewaktu turun dari teras masjid saya sempat melihat hanya beberapa orang anak saja yang akan belajar mengaji.

“Sejak ada pilem itu anak-anak memang sepertinya jadi malas belajar ngaji lagi,” kata Abah Kurdi, guru ngaji dan imam di masjid lingkungan kami, dengan nada mengeluh, dan mengatakan sinetron dengan kata pilem tadi.

“Di kelas anak-anak lebih hafal lagunya sinetron Anak Jalanan daripada lagu-lagu yang kami ajarkan,” ungkap Ibu Nurhayati guru PAUD yang saban pagi sering berpapasan di gang dekat rumah saya. “Apalagi dengan hafalan do’a-do’a pendek, mereka malas-malasan untuk mengikutinya.”

"Si Alif merengek terus ketika tahu ibunya Si Iko membelikan dvd sinetron itu. Apa boleh buat saya pun terpaksa membelikannya. Hampir saban waktu diputarnya dvd itu seperti tak bosan-bosannya,” kata ibunya Alif, bocah yang hafal lagu soundtrack sinetron tersebut suatu ketika di warung langganan kami saat kebetulan sedang membeli kebutuhan kami masing-masing. 

“Tapi ibunya juga ‘kan nggak pernah melewatkan nonton sinetron itu ?” goda saya. Dan ibunya Alif tampak merona wajahnya seraya tersenyum kecut. 

Entah apa yang menjadi daya tarik sinetron itu. Saya sendiri belum pernah sekalipun melihatnya. Sampai hari ini saya masih mencoba bertahan dengan nasihat Stephen King soalnya.  Ya, penulis terkenal dari Amerika Serikat dengan karyanya seperti  The Shinning, Children of The Corn, Carrie, dan banyak lagi yang beberapa di antaranya diadaptasi menjadi film box office, mengatakan:  Jika Anda ingin mulai menulis, maka televisi adalah benda yang harus Anda jauhi. "Benda itu (televisi) bisa meracuni kreativitas Anda," ujar King. Maka, sebagai penulis haruslah fokus pada apa yang akan ia tulis dan hidup di dalam alam imajinasi sepenuhnya. Untuk memperoleh imajinasi tersebut, penulis harus banyak membaca.

"Jika Anda ingin menjadi seorang penulis, ada dua hal utama yang harus Anda lakukan: banyak membaca dan banyak menulis," tambahnya. 

Hanya saja yang jelas, fenomena yang terjadi di kampung kami belakangan ini, dengan munculnya tayangan sinetron Anak Jalanan itu, ana-anak muda banyak yang memodifikasi sepeda motornya, seperti sepeda motor Si Boy – pemeran utama sinetron Anak Jalanan, aku mereka. Bocah kecil maupun remaja  ABG apabila saya di dekat mereka seringkali menyenandungkan lagu soundtrack-nya. Demikian juga bila kebetulan menemukan ibu-ibu sedang ngerumpi di depan rumah, sinetron itu pun seringkali jadi bahan pembicaraannya.

Lalu adakah nilai positif yang diserap dari sinetron itu bagi warga, misalnya menjadi produktif , atawa anak-anak sekolah menjadi rajin belajarnya ? 

Sepertinya tidak ada sama sekali. Yang terlihat malah justru sebaliknya. Warga semakin konsumtif saja tampaknya. Aksesori yang berhubungan dengan sinetron merupakan salah satu buktinya. Dan itu harus dibeli untuk memilikinya. Masih mending jika keluarga itu memiliki penghasilan lebih. Sedangkan kebanyakan warga di kampung kami kehidupannya rata-rata hanyalah buruh tani. Sementara anak-anak cenderung menjadi malas untuk belajar ngaji, karena waktu ngaji bertabrakan dengan jam tayang sinetron itu.

Ah, tapi sudahlah. Saya tak berhak men-justice-nya. Masalah yang ada kaitan dengan televisi ‘kan sudah ada KPI... ***

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arsudradjat/ketika-wabah-anak-jalanan-melanda-pedesaan_568d099af17e61ec088b456c
Share:

0 comments:

Post a Comment