Sebuah Avanza hitam berhenti tepat di depan warung kopi.
Semua mata di dalam warung pun langsung mengarah pada mobil itu. Ketika kaca
pintu di samping pengemudi terbuka, hampir serempak mereka mengucap salam.
“Assalamu’alaikum, Pak Ustadz...”
“Wa ‘alaikum salam
warahmatullahi wabarakatuh... Masih pada begadang nih ?” sahut pengemudi yang ternyata Ustadz Salim, pimpinan pondok
pesantren di kampung kami.
“Iya, Pak Ustadz. Sekalian siskamling. Supaya kampung kita
aman, tidak kemasukan maling,” kata Mang Udin sambil tertawa. “Habis dari mana
malam-malam begini,Pak Ustadz. Apa tidak ngopi bareng dulu ?”
“Biasa, dari pengajian di masjid DKM Al Ikhlas,” jawab
ustadz sambil tangannya tak hemti mengusap-usap pintu mobilnya. “Terima kasih.
Sudah malam. Lain kali saja.”
Ustadz Salim menyalakan mobilnya. Lalu pamitan sebelum
berjalan. Ketika Ustadz dan mobilnya
ditelan tikungan, suasana di warung pun ramai kembali. Dan kali ini justru
Ustadz yang baru saja lewat tadi dijadikan bahan gunjingan.
“Hebat ya ustadz kita itu. dalam satu tahun ini sudah tiga
kali ganti kendaraan. Pertama dia membeli sedan tua. Tak lama kemudian sedan
itu dijualnya. Lalu diganti dengan mobil Kijang. Eh, sekarang sudah diganti
lagi dengan Avanza...” Mang Udin ternyata yang memulainya.
“Itu artinya ustadz Salim termasuk orang yang sukses, Mang!”
kata pemilik warung.
“Tapi selama ini kita semua tahu. Ustadz itu tidak punya
pekerjaan lain selain mengajar ngaji para santri, dan memberi tausyiah di
majelis taklim saja. Di luar itu paling menggarap sawah wakaf yang luasnya
tidak seberapa. Hasil panennya pun hanya cukup untuk makan sekeluarga sampai
musim panen berikutnya.”
“Siapa tahu setiap menerima infaq, shodaqoh, dan zakat selalu ditabungkannya.”
“Bisa jadi begitu. Tapi kabar angin yang aku dengar, karena ustadz kita itu belakangan ini sering mengirim proposal ke
Pemda, dan Kantor Kemeterian Agama. Bukankah pondok pesantrennya yang santrinya
anak-anak kampung kita saja, dan tak pernah mondok karena memang belum ada
pondoknya itu sudah berbentuk yayasan...”
“Memangnya kenapa kalau sudah jadi sebuah yayasan ?”
“Katanya sih, kalau sudah berbentuk yayasan, maka akan
gampang untuk dapat bantuan.”
“Masak pemerintah mau memberi bantuan untuk membeli
kendaraan pribadi. Ah, yang benar saja, Mang ?”
“Memang sih, masih katanya, dalam proposal itu dicantumkan
permintaan bantuan untuk pembangunan sarana dan prasarana pendidikan misalnya,
atawa ada pula untuk sarana keagamaan.”
“Tapi mengapa kenyataannya malah digunakan untuk membeli
mobil ?”
“Entahlah... Eh, tapi kendaraan pun setidaknya menjadi
penunjang ustadz kita itu untuk berdakwah.”
“Tapi di proposalnya tidak tercantum untuk membeli kendaraan
‘kan ?!” ***
Selengkapnya: http://www.kompasiana.com/arsudradjat/ustadz-dan-proposal_56bb703d23afbd890bc66e2d
Selengkapnya: http://www.kompasiana.com/arsudradjat/ustadz-dan-proposal_56bb703d23afbd890bc66e2d
0 comments:
Post a Comment