Warga di kampung itu tiba-tiba menjadi heboh. Sepuluh tahun
mondok di pesantren, Jang Ridwan bukannya pulang membawa peti yang berisi
kitab-kitab kuning yang dipelajari seseorang yang biasanya sudah tamat belajar
mengaji. Anak ini ternyata malah membawa sebuah peti besar yang berisi wayang
golek. Bahkan dengan bangganya dia memaklumatkan dirinya telah berhasil lulus
menjadi seorang dalang.
Yang paling terpukul dengan sikap anak ini, kedua orang
tuanya tentu saja. Mereka mengantarkan anaknya ke pesantren, karena berharap
agar menjadi seorang anak yang saleh. Paling tidak bisa mendo’akannya apabila
telah meninggal dunia kelak. Syukur-syukur malah dapat menjadi seorang guru
ngaji. Bagaimanapun seorang guru ngaji, guru agama, akan mendapat kedudukan
lebih terhormat di tengah masyarakat.
Sungguh sayang seribu kali sayang. Jang Ridwan, anak semata
wayangnya malah menjadi dalang. Ayah dan ibunya merasa kecewa, tentu saja.
Bagaimanapun sikap Jang Ridwan di mata keluarga maupun warga
adalah sebagai sesuatu yang bertolak belakang memang. Seseorang yang yang
menjadi santri di pesantren, biasanya akan pulang dengan
mendapat sebutan ustaz, atawa guru agama yang di kampung itu lebih dikenal
dengan sebutan ajengan. Seorang ajengan adalah sosok terhormat. Dalam bahasa
Sunda, ajengan adalah kiayi yang memiliki ilmu agama yang tinggi, atawa secara
harfiah bisa juga bermakna sebagai orang yang diajeng-ajeng (ditunggu-tunggu)
dan dihormati. Dengan kata lain ajengan dianggap sebagai seorang penerang jalan bagi umat, dalam kehidupan di dunia ini dan kelak di akhirat. Sedangkan Jang Ridwan dianggap seolah telah mengobrak-abrik tatanan yang tertanam dalam kehidupan warga selama ini. Bahkan tak sedikit yang berbisik-bisik maupun dengan terang-terangan mengatakan kalau Jang Ridwan merupakan sosok Dajjal pembawa
sial. Bagaimanapun seorang dalang berikut pertunjukan wayang goleknya dianggap
sebagai penyebar kemaksiatan.
Betapa tidak. Dalam pertunjukan wayang golek yang biasanya
berlangsung semalam suntuk, selain disuguhi lakon yang konon berasal dari
keyakinan agama lain, juga senantiasa diiringi dengan kawih para pesinden yang
melantunkan tembang kasmaran, ditambah pula dengan tingkah pesinden itu dengan
menari jaipongan yang terkadang mengundang rangsang penontonnya membayangkan
hal yang bukan-bukan. Ya, goyang pinggul dan kerling mata pesinden dengan
dandanan menor itu seringkali dipandang sebagai pembangkit berahi lelaki.
Saya pun jadi penasaran dengan fenomena yang terjadi di
kampung itu, dan suatu ketika berkesempatan bertemu dan berbincang dengan Jang
Ridwan. Mengorek lebih dalam motivasi calon ajengan yang malah menjadi dalang
itu.
Adalah suatu kebetulan saat perayaan Agustusan, yaitu peringatan
HUT kemerdekaan RI tahun lalu, remaja Karang Taruna kampung Margaluyu, desa
Sukamaju, kecamatan Pagerageung, kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat,
menggelar pertunjukan wayang golek dengan dalang salah satu anggota Karang
Taruna itu sendiri, yaitu Jang Ridwan, atawa lengkapnya Muhammad Ridwan itu.
Dengan panjang lebar Jang Ridwan pun menjelaskan, saat
menjadi santri dirinya biasa berziarah ke makam para Wali. Bahwa menurut
sahibu hikayat, pertunjukan wayang golek pertama kali digelar oleh para Wali yang
dinamakan Walisanga. Tujuannya tidak lain merupakan upaya mereka dalam rangka
menyebarkan syiar agama Islam di tengah penduduk Jawa, khususnya di tatar Sunda
yang kala itu masih menganut agama lain.
Dengan dakwah melalui pendekatan seni budaya pertunjukan
wayang golek itu pula warga tatar Sunda menjadi tertarik untuk berpindah
keyakinannya, menjadi penganut agama Islam seperti yang kita saksikan sekarang.
Oleh karena itu, menurut keyakinan Jang Ridwan, apa salahnya
kalau dirinya mengikuti jejak para pendahulunya, para Wali itu, berdakwah
dengan wayang golek sebagai sarananya. Apa lagi kondisi masyarakat sekarang
ini, dianggap Jang Ridwan membutuhkan sebuah pendekatan yang berbeda dari
biasanya. Tidak hanya dakwah yang berbentuk khotbah, orasi, atawa
pidato yang acapkali membuat pendengarnya jenuh. Dan menganggapnya suatu hal
yang membosankan.
Disebutkannya kreasi dakwah melalui pertunjukan seni wayang
golek telah dirintis oleh mendiang Asep Sunandar Sunarya, salah seorang dalang
wayang golek terkenal di Jawa Barat, yang juga dianggap sebagai sosok yang
mengilhami dirinya.
Akan halnya ada anggapan pertunjukan wayang golek dekat
dengan maksiat, anak itu dengan bijak mengelak. sebab hal itu tergantung dari
sudut mana memandangnya. Menurut keyakinannya semuanya kembali lagi kepada
niat. Malah justru sebaliknya, melalui pertunjukan wayang golek pula, Jang
Ridwan punya niat untuk merubah stigma yang berkembang di tengah masyarakat.
Dia berharap dengan cara itu dakwahnya dapat diterima oleh semua kalangan. Baik
mereka yang mengaku dirinya sebagai umat yang taat beribadat, maupun orang yang
telah dicap sebagi penjahat.
“Selain itu, niat saya yang sudah bulat ini, paling tidak
untuk melestarikan kebudayaan tradisional yang sekarang ini telah hampir
dilupakan,” cetusnya dengan wajah sumringah.
Mendengar panjang lebar penuturan Jang Ridwan, terutama pada
kalimat terahirnya, sungguh saya jadi malu sendiri. Sekarang ini jarang sekali
mendengar orang yang merasa bangga dengan warisan leluhurnya. Mereka malah
lebih tertarik dengan kebudayaan yang datang dari luar, padahal belum tentu
sesuai dengan kepribadiannya.
Sungguh. Saya malu sekali dengan anak muda yang satu ini.
***
Postingan ini menjadi pemenang lomba Blog Figur Inspiratif di: https://indonesiana.tempo.co/lomba/figur-inspiratif/pemenang
dan menjadi headline di: http://www.kompasiana.com/arsudradjat/calon-ustadz-yang-berubah-haluan_56b93ce38e7a6163048b4570
0 comments:
Post a Comment