Berbagi Sebening Hati

Monday 11 April 2016

Sebuah Konspirasi




Pak Kadar sadar, sikap berseberangan dengan warga yang selama ini dilakukannya, tampaknya malah akan menjadi bumerang. Bisa-bisa warga yang selama ini masih setia ada di belakangnya, satu per satu akan meninggalkannya. Kemudian berpindah tempat, berada tepat di belakang Pak RT yang sejak Pilkarut (Pemilihan Ketua Rukun Tetangga) adalah musuh besarnya.
Warga tak cukup diberi sebungkus rokok kretek, dan segelas kopi saja ternyata - untuk menjadi pendukung setianya, tentu saja. Kecuali si Bohim yang memang sejak lama merupakan pembantunya. Sejak Pak Kadar masih anak-anak, Si Bohim sudah serumah dengannya. Karena kedua orang tua Si bohim adalah pembantu di rumah orang tua Pak Kadar. Keduanya sepantaran usianya. Jadi sejak kecil keduanya selalu bersama-sama. Si Bohim selalu berada di dekat Kadar kecil. Melayani segala kebutuhannya. Demikian juga saat keduanya meningkat remaja. Si Bohim semakin lengket saja di dekat Pak Kadar. Kalau ada pemuda yang mengganggu majikannya, maka Si Bohim akan tampil ke depan untuk mempertaruhkan nyawa, demi membela anak majikannya itu. begitu pula ketika Kadar remaja naksir seorang gadis, maka Si Bohim memiliki peran ganda, selain sebagai pengawal, dia pun akan menjadi tukang pos, pengantar surat cinta. Ketika Kadar berumah tangga, Si Bohim pun diboyongnya, sebagai pembantu setia keluarga muda itu. sehingga tak disangsikan lagi kesetian Si bohim terhadap dirinya. Mustahil pembantunya itu akan ikut-ikutan membelot ke Pak RT seperti warga yang lain.
Memang benar. Warga tidak cukup disuguhi rokok dan kopi saja. Bahkan amplop berisi uang sebesar sepuluh ribu rupiah pun belum cukup mengikat hatinya untuk bersikap setia. Apalagi ditambah dengan tak diterimanya saran dan masukan mereka oleh dirinya, maka tak pelak lagi esok harinya mereka pun akan angkat kaki, dantak pernah menginjak rumahnya lagi. Dan yang paling menyakitkan ya itu tadi, mereka berbondong-bondong membelot ke Pak RT yang telah mengalahkannya saat pemilihan ketua RT (Pilkarut) dua tahun lalu.
“Aku selama ini egois memang. Keras kepala. Tak pernah mendengar saran dan pendapat orang-orang di sekelilingku,” gumam Pak Kadar sembari menatap sawahnya yang sedang ditanami padi.
“Semua orang pergi meninggalkanku. Sehingga kesempatan untuk maju lagi Dalam Pilkarut tiga tahun mendatang, harapan untuk menang akan semakin hilang saja...”
Di kejauhan dilihatnya bayangan Si Bohim memanggul cangkul menuju ke arahnya.
“Dari mana saja, Him, dari tadi baru kelihatan ?”
“Anu Den, saya sejak pagi membetulkan saluran air di hulunya yang tertimbun longsoran tebing, “ sahut Si Bohim sambil mengusap-usap mulutnya.
“Ya, pantesan airnya kecil. Kalau begitu ayo kita istirahat di saung sambil ngopi.”
Majikan dan pembantunya itu jalan beriringan di pematang menuju saung (dangau) di tengah areal sawah.
***
Sambil menikmati kopi panas, Pak Kadar membuka pembicaraan. Jelasnya mengeluarkan segala uneg-uneg yang menggelayut dalam dadanya.
“Coba bagaimana pendapatmu, Him tentang masalah ini ?”
Mendapat pertanyaan demikian, Si Bohim melengos, bibirnya bergerak-gerak menahan tawa yang hampir saja meledak. Tumben majikanku ini minta saran dariku. Padahal sebelumnya belum pernah sekalipun aku mendengarnya permintaan semacam itu, celoteh dalam hatinya.
“Tidak salah tuh Aden minta saran dari saya ? Rasa-rasanya orang bodoh macam saya mana bisa ngasih saran sama Aden yang pintar dan kaya.”
“Sudahlah, Him. Aku tadi sudah katakan, aku sadar. Orang-orang pada menjauhiku karena aku selama ini selalu mengabaikan saran dan pendapat mereka. Sehingga sampai hari ini tinggal kamu seorang yang masih setia. Oleh karena itu tak ada salahnya aku minta saran dan pendapat kamu, bagaimana caranya agar aku dapat kembali merebut dukungan warga, agar dalam Pilkarut nanti aku dapat mengalahkan rivalku ?”
“Aden ingat tidak waktu cinta Aden ditolak Marni dulu?”
“Lha koq malah bicara masa lalu, Him, bagaimana maksudmu ini ?”
“Justru karena masa lalu dapat dijadikan cermin untuk langkah kita di waktu yang akan datang.”
 “Terus ?”
 “Waktu itu Aden kan marah besar. Malah sawah yang dipiara bapaknya Marni mau Aden cabut. Tapi karena saya tahu Aden sangat penasaran pada Marni, dan ingin sekali memilikinya, saya melarang Aden bersikap kasar. Malah saya meminta Aden untuk memperlihatkan hati yang ikhlas atas penolakan Marni. Lalu terhadap orang tua Marni saya menyuruh Aden untuk memberikan perhatian lebih dari biasanya. Nah, ahirnya – meskipun rada lama juga, malah Marni yang tergila-gila sama Aden.”
“Lalu apa hubungannya dengan masalah yang aku hadapi sekarang ?”
“Aduh, gimana Aden ini !” Si Bohim menepuk jidatnya sendiri, “Sikap Aden itu. menghadapi masalah ini pun sepertinya Aden perlu bersikap seperti menghadapi Marni dulu. Begitu. Aden pura-pura ikhlas, pura-pura menyayangi kedua orang tua Marni, ahirnya kan Marni dapat ditaklukan juga. Persoalan dikawin tidaknya kan persoalan lain lagi.”
Pak Kadar terbahak. Dan merasa paham dengan maksud Si Bohim.
“Jadi sekarang aku harus mendekati RT. Malah harus paling sangat dekat dari yang paling dekat. Mendukung semua programnya. Bahkan kalau perlu aku harus mendukung dengan harta, tenaga, maupun pikiran untuk suksesnya semua program RT.”
“Apa boleh buat, Him. Untuk mengalahkan seorang musuh, sebaiknya tidak perlu dengan pertarungan, sepertinya dengan tipu-tipu seperti itu merupakan pilihan paling jitu...”
“Betul-betul-betul...” Si Bohim mengacungkan kedua jempolnya.
***
Hanya saja niat Pak Kadar untuk mendekati Pak RT kemungkinan besar tidak akan kesampaian. Karena ketika majikan dengan pembantunya itu sedang asyik bicara, di belakang dangau yang memang terhalang dinding bambu, seorang gembala bebek dengan jelasnya mendengar semua pembicaraan keduanya.
Ada pun penggembala bebek itu merupakan pendukung setia Pak RT. Tanpa menunggu waktu lama lagi, sore harinya dia langsung bertandang ke rumah Pak RT. Menyampaikan hasil temuannya itu.
 “Sebaiknya Bapak menolak kehadiran Pak Kadar bila nanti datang. Saya khawatir dengan niatnya itu.”
Pak RT tertawa.
“Orang yang datang ke rumah kita masa ditolak. Itu tidak baik. Sebagai tuan rumah aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Sementara untuk masalah selanjutnya, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak, lain lagi masalahnya , tentu saja.” ***
Share:

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive