Pak Kadar sadar,
sikap berseberangan dengan warga yang selama ini dilakukannya, tampaknya malah
akan menjadi bumerang. Bisa-bisa warga yang selama ini masih setia ada di
belakangnya, satu per satu akan meninggalkannya. Kemudian berpindah tempat,
berada tepat di belakang Pak RT yang sejak Pilkarut (Pemilihan Ketua Rukun
Tetangga) adalah musuh besarnya.
Warga tak cukup
diberi sebungkus rokok kretek, dan segelas kopi saja ternyata - untuk menjadi
pendukung setianya, tentu saja. Kecuali si Bohim yang memang sejak lama
merupakan pembantunya. Sejak Pak Kadar masih anak-anak, Si Bohim sudah serumah
dengannya. Karena kedua orang tua Si bohim adalah pembantu di rumah orang tua
Pak Kadar. Keduanya sepantaran usianya. Jadi sejak kecil keduanya selalu
bersama-sama. Si Bohim selalu berada di dekat Kadar kecil. Melayani segala
kebutuhannya. Demikian juga saat keduanya meningkat remaja. Si Bohim semakin
lengket saja di dekat Pak Kadar. Kalau ada pemuda yang mengganggu majikannya,
maka Si Bohim akan tampil ke depan untuk mempertaruhkan nyawa, demi membela
anak majikannya itu. begitu pula ketika Kadar remaja naksir seorang gadis, maka
Si Bohim memiliki peran ganda, selain sebagai pengawal, dia pun akan menjadi
tukang pos, pengantar surat cinta. Ketika Kadar berumah tangga, Si Bohim pun
diboyongnya, sebagai pembantu setia keluarga muda itu. sehingga tak disangsikan
lagi kesetian Si bohim terhadap dirinya. Mustahil pembantunya itu akan
ikut-ikutan membelot ke Pak RT seperti warga yang lain.
Memang benar.
Warga tidak cukup disuguhi rokok dan kopi saja. Bahkan amplop berisi uang
sebesar sepuluh ribu rupiah pun belum cukup mengikat hatinya untuk bersikap
setia. Apalagi ditambah dengan tak diterimanya saran dan masukan mereka oleh
dirinya, maka tak pelak lagi esok harinya mereka pun akan angkat kaki, dantak
pernah menginjak rumahnya lagi. Dan yang paling menyakitkan ya itu tadi, mereka
berbondong-bondong membelot ke Pak RT yang telah mengalahkannya saat pemilihan
ketua RT (Pilkarut) dua tahun lalu.
“Aku selama ini
egois memang. Keras kepala. Tak pernah mendengar saran dan pendapat orang-orang
di sekelilingku,” gumam Pak Kadar sembari menatap sawahnya yang sedang ditanami
padi.
“Semua orang
pergi meninggalkanku. Sehingga kesempatan untuk maju lagi Dalam Pilkarut tiga
tahun mendatang, harapan untuk menang akan semakin hilang saja...”
Di kejauhan
dilihatnya bayangan Si Bohim memanggul cangkul menuju ke arahnya.
“Dari mana saja,
Him, dari tadi baru kelihatan ?”
“Anu Den, saya
sejak pagi membetulkan saluran air di hulunya yang tertimbun longsoran tebing,
“ sahut Si Bohim sambil mengusap-usap mulutnya.
“Ya, pantesan
airnya kecil. Kalau begitu ayo kita istirahat di saung sambil ngopi.”
Majikan dan
pembantunya itu jalan beriringan di pematang menuju saung (dangau) di tengah
areal sawah.
***
Sambil menikmati
kopi panas, Pak Kadar membuka pembicaraan. Jelasnya mengeluarkan segala
uneg-uneg yang menggelayut dalam dadanya.
“Coba bagaimana
pendapatmu, Him tentang masalah ini ?”
Mendapat
pertanyaan demikian, Si Bohim melengos, bibirnya bergerak-gerak menahan tawa
yang hampir saja meledak. Tumben majikanku ini minta saran dariku. Padahal
sebelumnya belum pernah sekalipun aku mendengarnya permintaan semacam itu,
celoteh dalam hatinya.
“Tidak salah tuh
Aden minta saran dari saya ? Rasa-rasanya orang bodoh macam saya mana bisa
ngasih saran sama Aden yang pintar dan kaya.”
“Sudahlah, Him.
Aku tadi sudah katakan, aku sadar. Orang-orang pada menjauhiku karena aku
selama ini selalu mengabaikan saran dan pendapat mereka. Sehingga sampai hari
ini tinggal kamu seorang yang masih setia. Oleh karena itu tak ada salahnya aku
minta saran dan pendapat kamu, bagaimana caranya agar aku dapat kembali merebut
dukungan warga, agar dalam Pilkarut nanti aku dapat mengalahkan rivalku ?”
“Aden ingat tidak
waktu cinta Aden ditolak Marni dulu?”
“Lha koq malah
bicara masa lalu, Him, bagaimana maksudmu ini ?”
“Justru karena
masa lalu dapat dijadikan cermin untuk langkah kita di waktu yang akan datang.”
“Terus ?”
“Waktu itu Aden kan marah besar. Malah sawah
yang dipiara bapaknya Marni mau Aden cabut. Tapi karena saya tahu Aden sangat
penasaran pada Marni, dan ingin sekali memilikinya, saya melarang Aden bersikap
kasar. Malah saya meminta Aden untuk memperlihatkan hati yang ikhlas atas
penolakan Marni. Lalu terhadap orang tua Marni saya menyuruh Aden untuk
memberikan perhatian lebih dari biasanya. Nah, ahirnya – meskipun rada lama
juga, malah Marni yang tergila-gila sama Aden.”
“Lalu apa
hubungannya dengan masalah yang aku hadapi sekarang ?”
“Aduh, gimana
Aden ini !” Si Bohim menepuk jidatnya sendiri, “Sikap Aden itu. menghadapi
masalah ini pun sepertinya Aden perlu bersikap seperti menghadapi Marni dulu.
Begitu. Aden pura-pura ikhlas, pura-pura menyayangi kedua orang tua Marni,
ahirnya kan Marni dapat ditaklukan juga. Persoalan dikawin tidaknya kan
persoalan lain lagi.”
Pak Kadar
terbahak. Dan merasa paham dengan maksud Si Bohim.
“Jadi sekarang
aku harus mendekati RT. Malah harus paling sangat dekat dari yang paling dekat.
Mendukung semua programnya. Bahkan kalau perlu aku harus mendukung dengan
harta, tenaga, maupun pikiran untuk suksesnya semua program RT.”
“Apa boleh buat,
Him. Untuk mengalahkan seorang musuh, sebaiknya tidak perlu dengan pertarungan,
sepertinya dengan tipu-tipu seperti itu merupakan pilihan paling jitu...”
“Betul-betul-betul...”
Si Bohim mengacungkan kedua jempolnya.
***
Hanya saja niat
Pak Kadar untuk mendekati Pak RT kemungkinan besar tidak akan kesampaian.
Karena ketika majikan dengan pembantunya itu sedang asyik bicara, di belakang
dangau yang memang terhalang dinding bambu, seorang gembala bebek dengan
jelasnya mendengar semua pembicaraan keduanya.
Ada pun
penggembala bebek itu merupakan pendukung setia Pak RT. Tanpa menunggu waktu
lama lagi, sore harinya dia langsung bertandang ke rumah Pak RT. Menyampaikan
hasil temuannya itu.
“Sebaiknya Bapak menolak kehadiran Pak Kadar
bila nanti datang. Saya khawatir dengan niatnya itu.”
Pak RT tertawa.
“Orang yang
datang ke rumah kita masa ditolak. Itu tidak baik. Sebagai tuan rumah aku akan
menerimanya dengan tangan terbuka. Sementara untuk masalah selanjutnya, apalagi
menyangkut hajat hidup orang banyak, lain lagi masalahnya , tentu saja.” ***
0 comments:
Post a Comment