Berbagi Sebening Hati

Showing posts with label Jurnalis warga. Show all posts
Showing posts with label Jurnalis warga. Show all posts

Sunday, 1 May 2016

Inilah Pelajaran Berharga dari Yusril Ihza Mahendra


Postingan ini terkait dengan bahasan sebelumnya, yaitu bagaimana setiap jurnalis harus memiliki semangat dan sikap sebagai “cub reporter.” Karakter dari “cub”, yakni anak singa yang lincah loncat sana loncat sini sebagaimana telah saya jelaskan, harus dijadikan “ethos” kerja wartawan, bahkan bagi wartawan senior sekalipun.
Namun demikian, menjadi “cub reporter” saja tidaklah cukup. Lincah saja tidak cukup. Bagaimana mungkin kelincahan dimiliki tetapi saat berhadapan dengan narasumber si wartawan lincah itu langsung diam seribu bahasa? Jangan sampai prilaku memalukan ini terjadi saat bekerja di lapangan.
Apa yang harus dilakukan seorang jurnalis agar tidak terdiam seribu bahasa saat menghadapi narasumber yang berhasil dikejar atau ditangkapnya?
Pengetahuan! Ya, pengetahuan.
Izinkan saya menulis sebagaimana judul tulisan ini, yakni tentang pelajaran menulis berita dari Yusril Ihza Mahendra. Apa kaitannya Yusril dengan dunia jurnalistik? Apa kaitannya profesor hukum tata negara itu dengan pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang wartawan?
Izinkan saya bercerita.....
Pada kurun waktu 1997-1998, sesaat setelah pemerintah Soeharto tumbang, dipersiapkanlah seperangkat undang-undang oleh orang-orang orde reformasi. Bukan hanya itu, bahkan "babon"-nya undang-undang, yakni konstitusi yang dikenal sebagai Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) -yang sebelumnya “sakral” untuk disentuh (diubah) seperti halnya kitab suci— turut diubah juga. Sesuatu yang luar biasa saat itu.
Sebagai jurnalis, saya kemudian bersinggungan dengan draft perubahan atau amandment konstitusi ini. Demikian alot pergulatannya, sampai-sampai ada partai yang menghendaki 7 kata dalam Piagam Jakarta pun dimasukkan kembali. Sekadar mengingatkan, makna dari “tujuh kata” ini adalah, sistem politik dan pemerintahan NKRI dijalankan beradasarkan syariat Islam.
Pergulatannya memang ada di tingkat Panja maupun Pansus, tetapi kandas sebelum masuk Sidang Paripurna. Akan tetapi yang jelas, harapan ini kandas karena mayoritas anggota MPR belum menghendakinya. Sebagai sebuah perjuangan dari kalangan umat Islam, ini juga tercermin dalam amandment konstitusi itu.
Ups... tulisan ini tidak bermaksud berpanjang-panjang menjelaskan soal konstitusi, tetapi kembali ke cerita awal, bahwa pada kurun waktu itu, yakni 1997-1998, saya banyak bersinggungan dengan sejumlah pakar, khususnya hukum tata negara, dan dalam kaitan inilah saya mengenal Profesor Yusril Ihza Mahendra.
Saat kran pendirian parpol dibuka, tersebutlah 48 partai politik yang berhak ikut Pemilu 1999. Yusril adalah salah satu pendiri dan bahkan ketua Partai Bulan Bintang. Tetapi sekali lagi, persinggungan saya dengan Yusril lebih banyak soal hukum tatanegara tinimbang personanya sebagai petinggi partai politik.
Dari persinggungan itu, Yusril adalah pakar hukum tata negara yang secara tidak langsung mengajarkan saya tentang satu hal; PERSIAPAN!
Saya tidak tahu, mungkin juga tidak terlalu peduli, apakah rekan-rekan wartawan dari media lain yang berkerubung di Gedung MPR-DPR itu “ngeh” dengan “ajaran” Yusril yang tak nampak (invisible) ini, tetapi bagi saya itu nyata. Saya bahkan sampai ambil kesimpulan saat itu; jangan sekali-kali bertanya tentang hukum tata negara untuk kepentingan amandment konstitusi kalau kita tidak siap dan tidak punya persiapan!
Ciri khas Yusril sebagai pakar hukum tata negara adalah “balik bertanya” kepada wartawan yang mencecarnya tetapi dengan catatan, cecaran si wartawan itu dilihatnya sebagai peluru hampa. Yusril akan dengan mudah menangkap pertanyaan keliru wartawan, baik secara historis berupa gejala anakronisme, etika, maupun butir-butir pasal dan kaitannya dengan turunan Tap MPR dan Undang-undang.
Sebagai contoh, jangan bertanya apakah Tap MPR yang dianggap sebagai pembenaran rezim untuk hal-hal yang luput diatur konstitusi perlu didihapus atau tidak. Salah-salah Yusril akan balik bertanya, “Menurut Saudara sendiri (wartawan), apakah Tap MPR masih perlu dipertahankan atau dihapus?”
Inilah ciri khas Yusril. Kalau saya selaku wartawan tidak siap dengan jawaban itu, mau ditaruh di mana wajah saya ini! Ketika Yusril sebagai narasumber meminta wartawan menjawabnya, secara etis wartawan juga harus mampu menjelaskannya. Kepada Yusril, tidak bisa berapologi, “Lho saya ‘kan wartawan, tugas saya ‘kan bertanya!”
Tidak. Itu tidak berlaku bagi Yusril. Dia tahu wartawan sedang mencari isu. Lalu pertanyaan yang paling gampang disampaikan meski tanpa persiapan alias hanya berbekal “peluru hampa” adalah soal perlunya Tap MPR dipertahankan atau sebaliknya dihapus. Yusril tahu, jawaban “ya” atau “tidak” darinya akan disusul kembali oleh pertanyaan wartawan, “mengapa ‘ya’ atau mengapa ‘tidak’”.
Bagi Yusril, pekerjaan wartawan bukan jadi “penadah” muntahan omongan orang, kendati itu omongan profesor sekalipun. Wartawan bukanlah “ember” penampung omongan orang. Juga bukan “tape recorder” atau aplikasi perekam suara. Bagi Yusril, wartawan adalah “teman diskusi” dan hasil chit-chat itulah yang bakal dijadikan isu, kemudian ditulis di media pada keesokan harinya.
Inilah yang dimaksud isi kepala tidak boleh kosong, harus selalu terisi ilmu pengetahuan. Jadi “cub reporter” yang lincah saja tidaklah cukup. Jika kepala sudah terisi mengenai pengetahuan ketatanegaraan, misalnya, pertanyaan yang memancing jawaban “ya” atau “tidak” mungkin tidak akan disampaikan.
Format pertanyaan dengan jawaban “ya” atau “tidak” perlu dihindarkan. Berbeda misalnya jika pertanyaan wartawan dibungkus seperti dialog dengan sedikit memberi “repertoir” (pembuka) sebagai berikut:
“Tap MPR selama pemerintahan Orde Baru sering dijadikan alat kekuasaan. Ada wacana menghapus seluruh Tap MPR, padahal secara hierarkis Tap MPR berada di bawah konstitusi dan beberapa di antaranya diperlukan untuk mengatur ketatanegaraan sebagai penjabaran konstitusi. Apakah Tap MPR memang sudah tidak diperlukan lagi untuk kondisi sekarang ini?”
Sebagai pakar hukum tatanegara, Yusril akan menjelaskan konsekuensi kalau sebuah Tap MPR/MPRS dihapus. Misalnya Tap MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran PKI dihapus, konsekuensinya PKI bisa hidup kembali di Indonesia. Bukankah ini berita besar?
Dari wawancara ini saja wartawan kira-kira bisa menangkap isu besar atas apa yang ditanyakannya kepada Yusril selaku narasumber. Isu PKI masih dianggap “seksi”, apalagi saat kran reformasi dibuka, seolah-olah partai politik berhaluan komunis itu bisa hidup lagi, apalagi dengan “mengakali” penghapusan Tap MPRS yang terkait pemburannya.
Sekarang, Yusril, pakar hukum tata negara yang sedang saya ceritakan ini, tengah berjuang untuk bisa menjadi calon gubernur DKI Jakarta. Itu urusannyalah, yang pasti tulisan ini bukan mengenai politik.
Tulisan ini semata-mata mengenai dunia kepenulisan dan jurnalistik yang kebetulan sosok Yusril telah menginspirasi saya selaku jurnalis lapangan. Bahwa di luar ada sekelompok orang tidak menyukai sepak terjangnya, membenci sikapnya yang katanya "nyinyir", saya harus mengatakan “It’s none of my business”. Ini soal dunia tulis-menulis!
Okay... pada kesempatan berikutnya saya akan membahas bagaimana cara “mengisi” atau “men-charge” kepala jurnalis dengan “vitamin” yang bermutu itu, agar saat ditanya balik oleh narasumber seperti Yusril wartawan tidak gelagapan...
Share:

Thursday, 21 April 2016

Dasar-Dasar Jurnalisme Warga (Citizen Journalism)

Semua Orang adalah Pewarta Warga (Citizen Journalist)
Era ketertutupan sudah tamat. Sekarang eranya keterbukaan. Kalau puluhan tahun silam, orang yang bisa menulis di surat kabar hanyalah para wartawan dan penulis terkenal. Kalau dulu yang bisa menyiarkan berita di televisi hanyalah wartawan televisi. Jika dahulu kala yang hanya bisa menyiarkan berita di radio hanyalah para wartawan radio. Kini zaman telah berubah. Semua surat kabar, radio dan televisi sejak tahun 2005 silam memberikan ruang seluas-luasnya kepada setiap pembaca, pemirsa dan pendengar berbagai media cetak dan elektronik untuk menyiarkan informasi atau berita yang dimiliki.
Contoh sederhana, stasiun televisi swasta nasional bernama Metro TV memberikan kesempatan kepada masyarakat umum untuk menayangkan video hasil rekaman mereka. Stasiun televisi milik Surya Paloh itu bahkan berani tampil dengan program acara “Wideshot” yang dihelat setiap hari Senin-Jumat pukul 13.00 – 17.00 WIB. Dan jauh hari sebelumnya, berbagai surat kabar juga memberikan ruang khusus kepada para pembaca untuk menuangkan gagasan mereka. Dan hal ini menjadi kesempatan emas bagi masyarakat menjadi pewarta warga alias pewarta rakyat.
Itulah tren bermedia dewasa ini. Di mana para pemilik modal media massa berlomba-lomba menggaet para pembaca, pemirsa dan pendengar dengan melibatkan mereka melalui pemuatan karya jurnalistik mereka. Harapannya, dengan cara demikian, loyalitas para pembaca, pemirsa dan pendengar terhadap sebuah media massa dapat terjaga dengan baik.
Nah, pelibatan masyarakat umum untuk menampilkan karya-karya jurnalistik di berbagai media massa cetak dan elektronik semacam itulah yang sesungguhnya disebut sebagai sistem jurnalisme warga. Di mana para pemilik modal memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk menyiarkan informasi atau berita yang dimiliki. Dan pada saat yang bersamaan, warga masyarakat juga memiliki kesadaran diri dalam menyiarkan informasi atau berita.
Sejatinya, siapakah pewarta warga alias citizen journalist bin citizen reporter atau ada juga yang menyebutnya grassroot journalist dan ada pula yang menamai participatory journalist, dan netizen itu? Apakah pewarta warga bisa juga dikatakan sebagai profesi, mata pencaharian dan bisa menghasilkan uang; sebagaimana profesi PNS, wartawan, polisi, guru, tentara, ustad dan lain sebagainya? Toh kalaupun pewarta warga bisa menjadi profesi, apakah hak dan kewajibannya sama dengan wartawan atau penulis profesional?
Jelaslah selama ini, publik masih banyak yang merasa asing dengan profesi wartawan, apalagi dengan profesi pewarta warga. Coba saja tanyakan pada sekian ribu anak SD di Jakarta sana atau di Papua sana sekalian, adakah satu anak SD saja dari sekian ribu anak itu yang bercita-cita ingin menjadi pewarta warta ataupun wartawan? Sebab profesi yang disebutkan di atas masih sangat asing di tengah mata masyarakat pedesaan, pegunungan, pinggiran kota; hingga anak-anak SD-SMA sama sekali belum pernah mendengar orang yang menyebutkan kata wartawan atau pewarta warga pada mereka.
Penulis amat yakin seyakin-yakinnya, dari sekain ribu anak SD itu, pastilah menjawab vulgar bahwa ia berkeinginan kelak jika besar akan lebih memilih cita-cita menjadi tentara, guru, pedagang, presiden, gubernur, pengusaha, polisi dan profesi yang tampak sudah baku lainnya. Propaganda mengenai apa itu pewarta warga di tengah masyarakat juga masih minus. Dengan demikian, butuh kesadaran banyak kalangan untuk mempublis urgensitas kehadiran pewarta warga bagi negeri tercinta ini.
Pada dasarnya, pewarta warga adalah jurnalisme akar rumput yang timbul dan tumbuh dari bawah ke atas (bottom-up) dan bukan dari atas ke bawah (top-down). Mereka bisa menuturkan secara menyeluruh peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya dan ini bukan sekedar dalam bentuk berita saja. Mereka menghayati dan menjiwai benar apa-apa yang mereka ceritakan, sebab hal itu adalah hasil pengamatan ataupun pengalaman mereka sendiri. Jadi bukan hanya sekedar berita yang ditawar melainkan berita yang ditulis dengan penuh perasaan, penuh data dan penuh analisa yang jeli.
Secara struktural, pewarta warga tak terikat dengan atau oleh media massa elektronik (online) dan atau media massa cetak jenis manapun juga. Dengan begitu, mereka bisa jauh lebih bebas (leluasa) mengungkapkan pendapat maupun pikiran mereka masing-masing. Dalam sistem pewarta warga, posisi pembaca adalah raja, karena merekalah juga yang sekaligus menjadi penulis.
Menurut pemikiran kritis penulis, pewarta warga adalah orang-orang biasa (sipil) yang berkomitmen serius ingin mencerdaskan masyarakat luas melalui sharing berbagai informasi. Ia lebih merupakan sebuah kegiatan ranah/bidang jurnalistik, di mana masyarakat (umum, dari berbagai strata sosial) yang secara formal bukanlah seorang jurnalis (konvensional-profesional), akan tetapi mereka secara aktif memainkan peran layaknya seorang wartawan atau melakukan kegiatan jurnalistik. Yakni berpartisipasi memberikan kontribusi untuk mengumpulkan informasi, menulis berita, mengeditnya, menganalisis, melaporkan, dan menyiarkannya agar bisa dikonsumsi oleh publik.
Penulis pribadi lebih nyamleng menamai pewarta warga adalah pewarta rakyat, sebuah profesi yang patut disandang oleh para relawan yang secara ikhlas turut aktif dalam mengembangkan model jurnalisme yang mengedepankan hati nurani dan kejujuran (the soul and honest journalism).
Menurut Jay Rosen, citizen reporter (pewarta warga) adalah kalangan masyarakat yang pada mulanya hanya sebagai pendengar an sich. Pihak yang hanya sebagai penerima pesan dari sistim media massa yang berlangsung satu arah saja, dalam bentuk media-media penyiaran dengan biaya tinggi dan media-media tersebut berlomba bersuara selantang-lantangnya, sementara para pendengar terisolasi satu sama lain.
Situasi itu saat ini telah berubah total, drastis. Kondisi masyarakat sudah berubah lebih progresif, masyarakat yang lebih dinamis dan memiliki kemampuan berpikir logis-analitis yang mampu menentukan jalan hidupnya sendiri. Intinya, kemajuan peradaban yang menyertai kemajuan zaman manusia dari masa ke masa telah melahirkan sebuah pola interaksi antar manusia yang berbeda antara zaman dulu dengan zaman sekarang. Hal ini tidak luput terjadi juga di dunia media massa cetak dan elektronik. Dari hanya satu arah menjadi multiarah, multidimensional. Dari hanya sebagai pembicara dan pendengar menjadi diskusi-interaktif, tanya-jawab, memberi-menerima (take and give) dan seterusnya.

Peran informasi, dalam bentuk yang sesederhana apapun adanya, tidak pelak merupakan penentu keberhasilan usaha apapun yang dilakukan manusia. Kemenangan dan kegagalan dalam sebuah peperangan amat ditentukan oleh kehandalan agen spionase dan intelijen yang tugas utamanya mengumpulkan informasi dari musuh masing-masing pihak yang bertikai. Kemajuan penjualan produk sebuah perusahaan, yang menjadi tumpuan mati-hidupnya perusahaan itu, sangat tergantung kepada peran promosi dan iklan yang tidak lain berisi informasi tentang produk dan proses menginformasikannya kepada calon konsumen. Keberhasilan pendidikan tiada terlepas dari kualitas informasi dan metode transformasi informasi tentang ilmu pengetahuan antara pengajar dan pembelajar di lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan keberhasilan pertanian di masyarakat tradisional di zaman prasejarah juga ditentukan oleh ketersediaan informasi yang umumnya didapatkan dari tanda-tanda alam seperti bintang, arah angin, bunga tumbuhan tertentu hingga suara dan gerak khusus binatang sekitar.... (Bersambung)

Sumber: Kompasiana

Share: